PENTINGNYA KEBAHAGIAAN KARYAWAN SAAT BEKERJA

Studi Work Options (2009) menunjukkan bahwa 72% karyawan cenderung merasa pekerjaan mereka membuat stres dan 50% dari mereka kesulitan mengelola stres tersebut. Berdasarkan studi tersebut, stres menyebabkan kerugian hingga $300 miliar dolar per tahun, termasuk hilangnya produktivitas, kompensasi lebih bagi karyawan, dan cuti. Ketidakmampuan dalam mengelola stres menyebabkan kinerja karyawan menjadi rendah sehingga membawa dampak buruk bagi kinerja organisasi. Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk memperhatikan kebahagiaan karyawan yang didukung oleh budaya organisasi dan pemenuhan fasilitas pendukung kerja.

Kebahagiaan karyawan tidak hanya berbicara mengenai perasaan senang, namun juga perasaan positif tentang pekerjaan. Menurut Keser (2016), kebahagiaan karyawan adalah pola pemikiran yang membantu seseorang untuk bekerja secara maksimal. Terdapat beberapa faktor yang memengaruhi kebahagiaan kerja, seperti peran yang jelas, suasana tim, work life balance, penghargaan, dan adanya peluang peningkatan karier dan perkembangan individu dari segi kompetensi. Jika dikaitkan, antara kinerja dan kebahagiaan akan menimbulkan pertanyaan krusial: mana yang lebih tepat, bahagia menghasilkan kinerja yang tinggi atau kinerja tinggi membuat karyawan bahagia atas prestasinya?

Penelitian MIT Sloan (2022) menunjukkan bahwa anggota militer yang bahagia empat kali lebih mungkin menerima penghargaan dibandingkan mereka yang tidak bahagia sejak awal. Bahkan, karyawan yang bahagia 12% lebih produktif dari pada karyawan yang tidak bahagia (Snack Nation, 2022). Artinya, kebahagiaan datang lebih dulu dari pada kinerja karyawan sehingga penting bagi organisasi untuk mengembangkan kebahagiaan karyawan sebelum mengharapkan kinerja karyawan yang tinggi, khususnya di tengah krisis ini.

(BACA JUGA: Merasa Berarti Itu Perlu)

Ada banyak cara bagi para pemimpin dan organisasi untuk memengaruhi kebahagiaan karyawan di tempat kerja, yaitu dengan:

  • Mengukur kebahagiaan karyawan

    Setiap karyawan memiliki ukuran kebahagiaannya masing-masing sehingga kebahagiaan karyawan bersifat relatif. Organisasi perlu mengukur kebahagiaan masing-masing karyawan dengan survei atau diskusi mendalam. Berikan pertanyaan seputar kebutuhan, tantangan, dan harapan mereka terhadap organisasi. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi: apakah pemenuhan kebutuhan dan harapan merupakan satu-satunya faktor yang memengaruhi kebahagiaan karyawan? Penting bagi pemimpin untuk mengetahui pola pikir dan pandangan karyawan tentang kebahagiaan.

  • Merealisasikan kebahagiaan karyawan

    Setelah mengetahui ukuran kebahagiaan karyawan, organisasi dapat membantu merealisasikannya. Realisasi ini dapat berupa pemenuhan kebutuhan, harapan, dan bantuan untuk mengatasi tantangan yang sedang dihadapi. Kegiatan ini dilakukan sebagai bentuk kepedulian organisasi terhadap karyawan sehingga mereka tetap merasa diperhatikan. Umumnya, karyawan akan merasa nyaman tinggal dalam organisasi yang memperhatikan detail karyawan, seperti jenjang karier, kesehatan, dan kebutuhan mereka.

  • Mempertahankan karyawan yang bahagia

    Penelitian militer MIT Sloan (2022) menunjukkan bahwa organisasi harus menginginkan karyawan yang bahagia. Karyawan yang bahagia dapat memengaruhi, mengajak, dan memotivasi rekan kerjanya untuk merasakan kebahagiaan pula. Pada intinya, karyawan yang bahagia memberikan manfaat lebih bagi organisasi baik dari segi kinerja maupun atmosfer kantor yang lebih sehat.

Kebahagiaan karyawan adalah kewajiban yang perlu diperhatikan di dalam bisnis. Menurut Forbes (2017), banyak perusahaan yang terlalu fokus pada hasil pencapaian tim, tetapi mengabaikan siapa yang melakukan pekerjaan tersebut. Perusahaan lupa bagaimana dan mengapa karyawannya melakukan pekerjaan itu. Untuk memperbaikinya, perusahaan dapat memperhatikan keamanan kerja dan kesempatan untuk menggunakan keterampilan di tempat kerja. Intinya adalah karyawan perlu terus bertumbuh agar tetap terlibat dan produktif.

Referensi
http://eprints.ums.ac.id/70918/3/BAB%20I.pdf
https://engagedly.com/what-is-employee-happiness-and-why-is-it-important-for-your-company/
https://sloanreview.mit.edu/article/top-performers-have-a-superpower-happiness/
https://snacknation.com/blog/employee-happiness/
https://worldhappiness.report/ed/2021/work-and-well-being-during-covid-19-impact-inequalities-resilience-and-the-future-of-work/
https://www.corporatewellnessmagazine.com/article/employee-happiness-to-greater-success
https://www.oecd.org/employment/covid-19.htm
https://www.smallbizgenius.net/by-the-numbers/job-satisfaction-statistics/
https://www.worth.com/what-impacts-employee-happiness-in-2021/

LEADERSHIP: THE MORE HAPPY, THE MORE TRUST

Dalam sebuah forum diskusi Ted X, Simon Sinek, pengarang buku bestsellerStart With Why: How Great Leaders Inspire Everyone to Take Action”, memberikan sebuah perumpamaan dan gambaran mengenai gaya kepemimpinan manajemen yang cenderung tragis, namun sangat relevan dengan keadaan sekarang ini. Sinek menjelaskan, bagaimana dalam gaya kepemimpinan militer bahwa orang yang rela berkorban agar orang lain mendapat untung akan diberi penghargaan. Sementara dalam bisnis, sering kali pemimpin ‘memberikan penghargaan’ pada orang-orang yang mengorbankan orang lain agar dirinya bisa mendapat untung. Konsep ini kemudian mendorong orang-orang bisnis untuk berkompetisi satu sama lain, tidak memercayai satu sama lain, dan cenderung saling menjatuhkan.

Dalam konteks manajemen, karyawan yang kurang memiliki kepercayaan dengan sesamanya akan berusaha mempertahankan diri, bagaimanapun caranya. Secara alamiah, manusia membutuhkan rasa aman dan akan berusaha melakukan segala hal untuk mencapainya. Bahkan dari zaman primitif, manusia berusaha mempertahankan diri dari ancaman eksternal dengan membuat peralatan tarung.

Pemikiran mengenai upaya pertahanan diri kemudian mengalami pengembangan. Untuk mempermudah dan memperkuat upaya pertahanan diri, manusia membentuk sebuah kelompok masyarakat yang terdiri dari beberapa orang. Orang-orang tersebut adalah orang-orang yang saling memercayai sesamanya untuk mempertahankan dirinya saat ia sedang dalam bahaya. Konsep ini mengangkat sebuah kesimpulan bahwa dengan gotong royong, lebih banyak keuntungan yang bisa didapat. Permasalahannya adalah, saat seseorang dalam kelompok—secara sengaja ataupun tidak sengaja—berbuat sesuatu yang merusak kepercayaan dalam kelompok. Akhirnya, manusia kembali bergantung pada dirinya sendiri untuk mempertahankan keberadaannya. Sering kali dalam manajemen, lingkungan sesama karyawan tidak memberikan support yang dibutuhkan seorang karyawan sehingga karyawan merasa ‘harus berupaya mempertahankan diri’ dari faktor-faktor yang dapat membahayakan keberadaannya. Dalam beberapa kasus yang sering terjadi, ancaman itu malah datang dari kelompok karyawan sendiri sehingga karyawan tidak memercayai rekan kerjanya.

The Science of Trust

Secara ilmiah, ada sebuah hormon yang diproduksi otak untuk mendorong seseorang untuk memercayai orang lain. Hormon ini disebut oxytocin, diproduksi dalam hypothalamus, dan disimpan dalam bagian otak depan atas (posterior pituitary gland). Fungsi hormon oxytocin yang terkenal adalah untuk membantu proses persalinan, namun ternyata hormon ini juga berfungsi mendorong seseorang untuk dapat memercayai orang lain. Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Michael Kosfeld dari UC Berkeley, orang-orang yang diinjeksi dengan ekstra oxytocin menunjukkan perilaku “percaya” yang lebih tinggi dibanding normalnya, meskipun dalam konsekuensi dan resiko yang sama dengan orang yang tidak menerima ekstra oxytocin. Kosfeld menyimpulkan bahwa oxytocin mendorong orang untuk lebih “rela” percaya pada orang lain. Oxytocin tidak membuat orang menjadi semakin optimis terhadap peluang yang ada di hadapannya, namun memberikan rasa “aman” saat mereka memutuskan untuk memercayai orang lain. Saat oxytocin bereaksi, oxytocin membantu amygdala, bagian otak yang berfungsi mendeteksi bahaya agar lebih tenang. Dengan begitu, seorang individu akan merasa lebih mampu untuk memercayai orang lain. Karena itu juga, hormon oxytocin juga dikenal dengan sebutan “the love hormone” karena hormon oxytocin cenderung naik saat adanya sebuah interaksi sosial yang positif dengan manusia lain.

Ada banyak cara untuk menaikkan kadar oxytocin dan banyak di antaranya merupakan hal-hal sederhana yang sering dilupakan. Padahal hal-hal sepele ini ternyata banyak digunakan para marketer untuk meningkatkan kepercayaan pelanggan pada mereka. Contohnya seperti senyuman dan sentuhan. Jabat tangan memang terlihat sepele, namun ternyata dapat meningkatkan kesan “dapat dipercaya” pada orang yang melakukannya. Dalam lingkungan kerja, dukungan, motivasi, dan pujian juga berpengaruh untuk meningkatkan kadar oxytocin. Peran pemimpin adalah untuk memastikan setiap anggota timnya mampu percaya dengan sesamanya. Kegiatan di luar kantor seperti team bulding dan team bonding juga efektif untuk meningkatkan rasa percaya pada karyawan. Dengan begitu, budaya kerja sama juga bisa dipupuk sedari dini sehingga atmosfir kantor dapat memberikan rasa aman dan nyaman bagi setiap karyawan.