Employer Branding
Kita semua tahu bahwa sebuah perusahaan yang memiliki citra yang besar akan secara otomatis menarik perhatian talent candidate. Seorang talent candidate tidak akan sembarang memilih tempat kerja, melainkan mencari target perusahaan yang bersedia memberikan kesempatan dan akomodasi untuk mengembangkan talenta tersebut. Karena itulah, bagaimana perusahaan membentuk citranya di masyarakat sebagai tempat kerja (bukan sebagai produsen produk) juga sangat penting untuk diperhatikan. Usaha penyampaian citra perusahaan sebagai tempat/pemberi kerja disebut juga dengan employer branding.
Namun sebaik apapun citra perusahaan sebagai pemberi kerja yang ada di benak masyarakat, citra tersebut bisa hancur apabila experience yang diterima masyarakat tidak sesuai dengan image perusahaan. Dalam konteks pekerjaan, hal ini bisa terjadi ketika seorang kandidat sudah memiliki ekspektasi tinggi terhadap perusahaan yang dilamar, namun pewawancara yang menyambut kandidat tersebut tidak mencerminkan citra perusahaan yang dibayangkan. Contohnya, ketika seorang kandidat melamar di sebuah perusahaan produk kecantikan, namun pewawancara yang menyambutnya berpenampilan porak-poranda, tentu saja citra perusahaan produk kecantikan tersebut sudah berbeda di benak si kandidat. Atau ketika seorang kandidat melamar perusahaan furnitur ternama, namun kondisi kantor tempat wawancaranya tampak berantakan, image perusahaan tentu akan rusak di benak kandidat. Hal ini dapat mengancam kesempatan perusahaan untuk menarik sebanyak mungkin calon karyawan yang memiliki talenta.
The Front Liners
Kesalahan fatal yang membuat perusahaan sering kali gagal menjaring talenta biasanya terletak di garis terdepan, yaitu pewawancara. Sebaik apapun image perusahaan yang beredar di masyarakat, seorang pewawancara yang tidak mampu mencerminkan image tersebut akan memberikan kesan yang berbeda. Karena itu penting bagi manajemen untuk mempertimbangkan the front liners, orang-orang yang berhubungan langsung dengan orang luar perusahaan. Front liners sangat penting perannya karena front liners adalah perwakilan perusahaan dalam bentuk yang nyata dan hidup, sehingga kesan yang ditinggalkan front liners akan lebih real dibanding image perusahaan yang sifatnya abstrak di dalam pikiran dan tidak dirasakan langsung oleh kandidat.
How They Look
Penampilan, kerapihan, personal grooming, dan kesesuaian dresscode merupakan hal paling instan yang dapat dijadikan bahan pertimbangan kandidat. Normalnya, seseorang akan langsung dapat memberikan penilaian terhadap seseorang yang lain hanya dari melihat penampilan luarnya. Memang penampilan luar pewawancara belum tentu merepresentasikan secara tepat tentang bagian dalam perusahaan ataupun personality dari pewawancara itu sendiri. Namun sayangnya, inilah yang disebut dengan the power of first impression. Tidak ada seorangpun yang bisa terlewat dari first look judgement termasuk manajemen tingkat teratas sekalipun sehingga penampilan tetap harus diperhatikan.
(BACA JUGA: You Are Judged by Your Cover)
What They Say
Selanjutnya, citra perusahaan juga bisa dibentuk dari kata-kata yang disampaikan oleh pewawancara. Kesalahan pemilihan kata juga dapat membuat kandidat tersinggung, sehingga pewawancara perlu memerhatikan penataan bahasanya. Sebaliknya, pewawancara bisa mengemukakan statement yang menekankan nilai dan budaya perusahaan yang positif, seperti; “Kami sangat menjunjung tinggi transparansi dan kejujuran,” atau “Kami mencari kandidat yang kreatif dan berpengetahuan yang luas,” dan lain-lain. Pewawancara sebaiknya menghindari kalimat informal dan tetap mempertahankan profesionalitas dengan memakai bahasa yang baik dan sopan. Hal yang sama juga berlaku apabila wawancara dilakukan dengan bahasa asing. Pewawancara mungkin memiliki agenda tersendiri untuk menggali informasi dan merilekskan kandidat yang tegang, namun ada baiknya pewawancara tetap mengguanakan bahasa yang sopan dan menghindari penggunaan slang atau bahasa gaul dalam bentuk apapun.
What They Do
Ketiga, perilaku pewawancara juga mempengaruhi kesan kandidat. Meskipun statement yang disampaikan pewawancara merupakan statement yang baik tentang perusahaan, namun apabila perilaku dan gerak-gerik pewawancara tidak mencerminkan nilai yang sama, maka kesan pertama kandidat bisa saja negatif. Uniknya, perilaku negatif tidak hanya dapat dibaca pada saat kontak langsung (wawancara) namun bahkan jauh sebelum proses wawancara dimulai. Misalnya, tingkat responsifitas contact person, proses follow up yang cepat/lambat, dan komunikasi tanya jawab sebelum hari H wawancara dimulai mempengaruhi citra pemberi kerja secara keseluruhan. Seorang kandidat yang telah mengirimkan lamaran kerjanya dan tidak kunjung menerima tanggapan akan mulai beralih untuk melamar ke perusahaan lain.
Sementara sewaktu wawancara, perilaku pewawancara yang terlalu menyombongkan perusahaan juga berkesan tidak baik bagi kandidat. Pencetusan statement yang baik memang perlu, namun pewawancara juga harus mengetahui kapan ia harus berhenti mempromosikan perusahaannya. Bila dilakukan secara berlebihan, perusahaan akan terkesan ‘murahan’ dan ‘sangat membutuhkan karyawan’. Sebaliknya, apabila pewawancara menyombongkan perusahaan dengan menganggap remeh kandidat, perusahaan akan terkesan ‘sok’ dan ‘tidak ramah’. Sebaiknya, pewawancara juga harus penempatkan diri dan memiliki antusiasme terhadap kandidat, sehingga kandidat lebih merasa dihargai. Setelah proses wawancarapun, pewawancara harus menjaga interaksinya dengan kandidat tetap komunikatif, meskipun hasilnya mungkin tidak menyenangkan untuk salah satu pihak.