TIGA PRIORITAS UTAMA DALAM REKRUTMEN

Recruiter & Employer Sentiment Survey MRI Network (2016) menyatakan bahwa 56% perusahaan melakukan proses rekrutmen dengan prosedur yang rumit. Sebenarnya, fenomena ini dapat diatasi dengan membuat prioritas rekrutmen yang relevan dengan keadaan bisnis saat ini. Dengan menentukan prioritas, perusahaan dapat melakukan rekrutmen sesuai dengan tingkat urgensinya sehingga perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk merekrut posisi yang penting dan mendesak. Untuk melakukan rekrutmen yang efektif, perusahaan dapat mengidentifikasi critical roles, membangun candidate pipeline, serta mengutamakan diversity, equity, and inclusion (DEI) di lingkungan kerja.

  1. Mengidentifikasi Critical Roles

    Critical roles merupakan posisi penting yang sangat berdampak pada perusahaan sehingga harus diisi oleh orang yang tepat. Untuk mengidentifikasinya, perusahaan dapat menilai dampak signifikan yang ditimbulkan jika terjadi kekosongan posisi. Critical roles tidak selalu mengarah pada posisi level atas, namun dapat dilihat dari peran dalam proses bisnis. Berikut beberapa pertanyaan yang dapat membantu perusahaan dalam menganalisis ciritical roles:

  • Apakah ini pekerjaan inti atau posisi kepemimpinan kunci?
  • Apakah posisi tersebut memiliki dampak yang tinggi pada produk atau proyek penting?
  • Seberapa besar tekanan yang diberikan peran terbuka pada staf atau departemen yang tersisa?
  • Apakah lowongan tersebut secara langsung mempengaruhi pendapatan perusahaan?
  • Apakah itu posisi yang selalu Anda rekrut?
  1. Membangun candidate pipeline yang kuat

    Mengumpulkan kandidat-kandidat potensial mampu menghemat waktu dan sumber daya perusahaan. Penelitian Beamery (2018) menyatakan bahwa 83% perusahaan secara proaktif mencari kandidat terlepas dari lowongan mereka saat ini. Memiliki database kandidat yang dapat ditelusuri sebelumnya akan membuat proses rekrutmen lebih mudah untuk dikelola. Database kandidat ini dapat dikumpulkan melalui media sosial seperti LinkedIn atau Facebook. Selain itu, database kandidat juga dapat diperoleh melalui rekomendasi dari karyawan. Di sisi lain, perusahaan dapat mengumpulkan database dari kandidat yang sudah pernah melamar ke perusahaan. Terdapat beberapa kandidat yang memiliki budaya atau nilai yang cocok dengan perusahaan, namun kurang cocok untuk posisi yang dilamar sehingga perusahaan dapat mempertimbangkan apakah kandidat tersebut mampu mengisi posisi kosong yang dibutuhkan.

  1. Memprioritaskan DEI

    Diversity, equity, inclusion (DEI) merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada proses rekrutmen karena kandidat lebih tertarik bergabung dengan perusahaan yang memiliki keberagaman yang tinggi. Menurut Glassdoor (2020), 3 dari 4 (76%) kandidat merasa tempat kerja yang beragam merupakan faktor penting dalam penilaian mereka terhadap perusahaan. Glassdoor juga menyatakan bahwa hampir sepertiga (32%) kandidat tidak akan melamar pekerjaan di perusahaan yang tidak memiliki keragaman di tempat kerja. Keragaman mengacu pada perbedaan yang dimiliki oleh setiap karyawan dalam perusahaan, baik ras, etnis, agama, budaya, dll. Sedangkan inklusi mengacu pada perasaan dihargai, dihormati, diterima, dan didorong untuk berpartisipasi penuh dalam perusahaan. Untuk mencapai inklusi, perusahaan perlu mendorong ekuitas untuk memastikan kesetaraan dan keadilan di tengah perbedaan.

Dengan penggunaan teknologi digital yang lebih baik lagi, perusahaan tidak perlu bergantung pada metode perekrutan tradisional untuk menarik dan mempertahankan talenta berkualitas. Sebaliknya, perusahaan bisa berfokus pada pengembangan dan implementasi strategi rekrutmen yang terdefinisi dengan baik untuk hasil perekrutan yang lebih efektif dan optimal.

 

Referensi:

https://zety.com/blog/hr-statistics
https://www.aihr.com/blog/hiring-priorities/
https://www.glassdoor.com/employers/blog/diversity/

STRATEGI MEMBANGUN DIVERSITY, EQUITY, & INCLUSIVITY (DEI) DALAM ORGANISASI

Isu di dalam Diversity, Equity, & Incusivity (DEI) mulai mendapatkan perhatian dunia seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang keberagaman. Muncul beberapa gerakan sosial di Amerika Serikat, seperti Women’s Right Movement (tahun 1960-an), Black Lives Matter (sejak tahun 2013), hingga Stop Asian Hate (sejak 2021), yang turut memberikan aksi nyata dalam membangun kesadaran atas keberagaman. Ini bukan saatnya perusahaan menutup mata, melainkan mengambil posisi untuk mendorong DEI melalui inisiatif, program, dan budaya untuk menangkap manfaat bagi kinerja perusahaan.

(BACA JUGA: TIGA KESALAHAN UTAMA DALAM PROGRAM DIVERSITY, EQUITY, DAN INCLUSIVITY (DEI))

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang mengelola keberagaman di dalamnya membuat lebih banyak keuntungan dan bernilai di mata investor. Menurut penelitian Roberson (2007), rata-rata investor lebih memilih perusahaan yang memiliki keragaman di tingkat pemimpin, terutama senior manajemen. Manajemen keberagaman dinilai sebagai sinyal positif tentang bagaimana perusahaan akan menghasilkan pendapatan di masa depan. Dengan demikian, ada kesan bahwa perusahaan memiliki risiko keuangan yang lebih kecil, seperti kurangnya pendapatan dan risiko pengembalian dividen, karena tidak mengelola keberagaman. Di sisi lain, diversity leader juga dipandang sebagai intangible asset yang memiliki future economic value.

(BACA JUGA: KERAGAMAN DAN INKLUSI DI TEMPAT KERJA)

Strategi Membangun DEI di Tempat Kerja

  1. Menetapkan sasaran pencapaian DEI

    Pertama, tentukan alasan mengapa organisasi ingin berkomitmen di dalam DEI, seperti menanamkan budaya kerja yang lebih produktif dan engaging, meningkatkan pengalaman pelanggan, atau menciptakan output dan kinerja yang lebih baik. Jika organisasi tidak memiliki komitmen yang jelas, sasaran inisiatif DEI tidak akan terdefinisi dengan baik. Selain itu, untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi, organisasi perlu menentukan Key Performance Indicator (KPI) yang selaras dengan sasaran di tingkat tertinggi organisasi untuk menentukan keberhasilan perencanaan strategis DEI.

  1. Dapatkan komitmen senior leader

    Agar strategi DEI berjalan, kepemimpinan perlu menjadi model perilaku, nilai, dan norma yang mendorong tempat kerja adil dan inklusif. Secara historis, inisiatif DEI selalu menjadi daftar terbawah dalam tingkat prioritas di dalam organisasi. Kurangnya sumber daya dan dukungan dari pemimpin menjadikan inisiatif DEI sulit untuk diimplementasikan. Oleh karena itu, untuk memastikan keberhasilan DEI, penting untuk mengambil pendekatan top-down agar mendorong komitmen, kepatuhan, dan investasi, baik dalam hal sumber daya dan waktu. Dengan dukungan para pemimpin senior, karyawan memahami pentingnya DEI dan perannya dalam strategi bisnis secara keseluruhan.

  1. Memberikan Behavior Based Training

    Fokus terbesar di dalam program DEI adalah perubahan perilaku dan kebiasaan karyawan di tempat kerja. Pelatihan ini bukan hanya tentang meningkatkan kesadaran akan pentingnya DEI, melainkan tentang praktik perilaku tepat yang mampu mendorong DEI. Organisasi juga dapat memanfaatkan teknologi untuk mengurangi aktivitas administrasi DEI melalui otomatisasi, kurasi data benchmark, dan mempermudah karyawan untuk saling terhubung. Teknologi dan kemampuan seperti ini dapat meningkatkan partisipasi dan wawasan untuk membantu memaksimalkan inisiatif karyawan.

  1. Gabungkan Anggota Tim

    Pemahaman dan pembelajaran yang berasal dari beragam pendapat, pengalaman, keyakinan, dan budaya memacu kreativitas dalam tim. Untuk memastikan keberhasilan inisiatif DEI, gabungkan berbagai macam latar belakang anggota untuk menghasilkan berbagai perspektif, menginspirasi pemikiran yang segar, dan pendekatan yang berbeda untuk pemecahan masalah. Organisasi juga dapat membentuk Employee Resource Group (ERG), yaitu kelompok yang bersifat sukarela, serta dibangun dengan tujuan berbagi dan mendukung satu sama lain dalam konteks profesional maupun personal, sambil membangun persahabatan. Menurut Harvard Business Review (2020), ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh perusahaan bila memiliki ERG, di antaranya adalah meningkatkan retensi, mengidentifikasi dan mengembangkan pemimpin dari internal organisasi, serta pendidikan karyawan yang lebih baik.

  1. Ukur Kemajuan

    Selain memantau kemajuan melalui dashboard KPI, organisasi dapat membagikan survei employee engagement untuk mengukur persepsi karyawan tentang DEI dan psychological safety. Dengan membandingkan hasil survei dengan tolok ukur, organisasi dapat mengidentifikasi titik masalah yang perlu menjadi fokus pembenahan selama inisiatif DEI berlangsung. Focus Group Discussion (FGD), Employee Resource Group (ERG), dan percakapan berkelanjutan adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengumpulkan informasi kualitatif tentang tren data dan pengalaman kelompok tertentu.

Pada akhirnya, kesuksesan perusahaan dalam mengeksekusi strategi DEI tidak akan lepas dari komitmen senior leaders, sehingga setiap individu akan terlibat dan mengambil peran dalam membangun budaya organisasi secara kolektif yang dapat dibanggakan oleh semua orang.

 

Referensi:
https://hbr.org/2020/06/what-black-employee-resource-groups-need-right-now
https://www.brighterstrategies.com/blog/starting-your-dei-strategy/
https://www.communityboost.org/digital-marketing-blog/how-to-create-a-dei-strategy-in-2022/
https://www.ghjadvisors.com/blog/how-to-implement-a-successful-dei-program
https://www.ghjadvisors.com/blog/how-to-implement-a-successful-dei-program
https://www.td.org/atd-blog/4-ways-to-build-a-successful-dei-strategy
https://www.traliant.com/blog/6-actions-to-build-a-diversity-equity-inclusion-dei-program-for-your-organization/
Roberson, Q. M., & Jeong, H. (2007). Examining the Link Between Diversity and Firm Performance: The Effects of Diversity Reputation and Leader Racial Diversity. Group & Organization Management, 32(5), 548–568. https://doi.org/10.1177/1059601106291124

TIGA KESALAHAN UTAMA DALAM PROGRAM
DIVERSITY, EQUITY, & INCLUSIVITY

Diversity, Equity, dan Inclusivity (DEI) menjadi fokus di tempat kerja sejak beberapa tahun belakangan ini. Penelitian McKinsey (2021) menunjukkan bahwa 51% alasan karyawan meninggalkan pekerjaannya adalah karena kurangnya rasa memiliki atau engaged terhadap perusahaan. Alasan ini lebih sering didapati pada karyawan yang identitasnya kurang terwakili di perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan perlu meningkatkan engagement dengan cara menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh karyawannya.

Diversity

Diversity (keberagaman) merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Perbedaan di dalam keberagaman meliputi perbedaan sosial secara horizontal, seperti ciri fisik, etnis, ras, agama, gender, bahasa, hingga kewarganegaraan, dan juga perbedaan secara vertikal, seperti status sosial maupun ekonomi. Perbedaan ini sering kali sulit diubah dan tidak dapat dipisahkan dari setiap individu. Karena itu, perbedaan di antara setiap karyawan perlu dihargai.

Perusahaan sendiri ingin menciptakan keberagaman di tempat kerja dengan tujuan membangun beragam perspektif yang mampu mendorong kreativitas dan inovasi. Selain itu, karyawan yang merepresentasikan berbagai kelompok dari target pasar juga dapat memberikan wawasan yang berharga bagi bisnis yang lebih kompetitif dan menguntungkan. Dalam hal koneksi maupun keterampilan bahasa lokal, kepekaan budaya dapat mendorong perkembangan bisnis di tingkat lokal hingga internasional secara cepat. Dengan demikian, strategi pemasaran dapat didesain lebih akurat untuk menyasar target tertentu.

Equity

“Equity,” dalam Bahasa Indonesia berarti keadilan atau kewajaran. Menurut Universitas IOWA, equity merupakan praktik dan peraturan yang adil serta tidak memihak sehingga memberikan kesempatan yang sama bagi setiap individu. Untuk mencapai kesetaraan dan mempromosikan rasa saling menghargai, perusahaan biasanya menjalankan program DEI, seperti penggunaan survei anonim sehingga mendorong karyawan mempertanyakan apapun yang ada di pikiran mereka dengan tujuan menciptakan pemahaman terhadap perspektif dan preferensi kelompok yang beragam. Survei semacam ini akan membantu karyawan dari berbagai latar belakang untuk membantu mengatasi rasa takut salah dalam bertindak.

Inclusivity

Inclusivity merupakan praktik untuk memastikan bahwa karyawan mempunyai rasa memiliki di tempat kerja. Secara sederhana, inklusif juga dapat diartikan sebagai kerendahan hati atau kesederhanaan. Faktanya, semua orang ingin mengakui bahwa mereka memilikinya, namun sesungguhnya tidak. Menurut survei Delloitte (2017), 80% karyawan mempertimbangkan inklusivitas sebagai faktor penting dalam memilih perusahaan.

Menciptakan tempat kerja yang inklusif sangat berbeda dari hanya sekadar menciptakan budaya perusahaan yang beragam. Keberagaman di tempat kerja bisa dicapai dengan memiliki karyawan dari berbagai jenis kelamin, ras, dan etnis, namun inklusif berbicara tentang menghilangkan bias yang tidak disadari di lingkungan kerja. Jika inklusivitas dapat dicapai, karyawan akan merasa diikutsertakan terlepas dari siapa atau sebagai apa mereka mengidentifikasi dirinya.

Dalam rangka meningkatkan budaya DEI di tempat kerja, program yang dirancang dan diimplementasikan dengan efektif merupakan kunci utamanya. Meski sudah memberikan investasi yang cukup signifikan, banyak organisasi terjebak dalam kesalahan yang sama. Menurut McKinsey, berikut tiga kesalahan utama organisasi dalam membangun budaya DEI:

  1. Terlalu fokus pada peningkatan awareness, tetapi melupakan objektif yang lebih luas.

    Organisasi biasanya memulai program pelatihan DEI dengan serangkaian topik pengenalan atas isu-isu DEI. Memang program ini memberikan sense of awareness bagi karyawan, tetapi tidak ada aksi yang nyata akan terwujud jika hanya melalui sesi-sesi tersebut. Untuk mengatasi hal ini, organisasi perlu memberikan program lanjutan.

    Setelah sesi pelatihan, mulai pahami perilaku yang akan diubah dan bagaimana perilaku saat ini memengaruhi pengalaman inklusi. Untuk mendapatkan wawasan dengan lebih akurat, perusahaan dapat melaksanakan survei karyawan tentang penilaian inklusi yang komprehensif atau melalui wawancara dengan tujuan agar memahami kesenjangan saat ini. Setelah itu, tentukan prioritas terbesar dan gabungkan umpan balik tersebut dengan program DEI yang dirancang khusus untuk mengajarkan perilaku agar lebih inklusif.

  1. Memaksa semua karyawan menghadiri setiap pelatihan DEI secara mandatori.

    Kewajiban menghadiri pelatihan biasanya merupakan strategi organisasi untuk mengajak setiap karyawan memahami pentingnya mempromosikan DEI di tempat kerja. Dengan menggunakan kehadiran sebagai Key Indicator Performance (KPI), karyawan akan merasa hak pilih mereka berkurang. Peserta yang merasa dipaksa untuk terlibat dalam topik DEI mungkin merasa kesal dan tidak dapat menyerap materi dengan baik.

    Beberapa program mungkin wajib dihadiri untuk beberapa peran tertentu, tetapi beberapa pelatihan DEI lainnya mungkin dapat didesain sebagai kehadiran opsional. Tujuannya adalah untuk menciptakan kebebasan partisipasi pada program lainnya. Daripada menggunakan kehadiran sebagai KPI, perusahaan dapat mengevaluasi keberhasilan berdasarkan dampak dan perubahan perilaku yang terukur.

  1. Menggunakan pendekatan business-as-usual sehingga fokus berkurang pada perubahan dari sisi kemanusiaan.

    Membahas kesetaraan dan inklusi terkadang bisa menjadi rumit dan tidak nyaman, namun organisasi sering merancang program yang minim interaksi dan tidak didukung oleh fasilitator yang mumpuni. Selain itu, waktu untuk melakukan eksplorasi dan mempraktikkan perilaku DEI juga tidak dialokasikan dengan cukup. Karyawan hanya diinformasikan bahwa mereka perlu berubah, tanpa ada diskusi dan eksplorasi mendalam tentang bagaimana perubahan perilaku dapat memberikan manfaat bagi orang lain dan pengalaman mereka sendiri.

    Organisasi perlu merancang sesi yang lebih singkat dalam frekuensi yang sering untuk memberikan ruang refleksi, diskusi, dan berlatih dalam kelompok kecil. Sesi mikro ini dapat mempertahankan momentum tanpa membebani audiens. Di sisi lain, organisasi juga harus menemukan fasilitator yang memiliki pengetahuan mendalam tentang DEI, bersedia berbagi pengalaman, dan mampu menciptakan ruang yang aman untuk refleksi yang rentan secara emosional.

Program membangun DEI mungkin terasa menantang dan kompleks, tetapi bukanlah tidak mungkin untuk dicapai. Program DEI yang sukses dapat mendorong pertukaran informasi yang lebih terbuka dan berani sehingga menghasilkan engagement yang lebih tinggi dan mengubah budaya organisasi. Dengan mengetahui kesalahan umum yang sering dilakukan, organisasi dapat selangkah lebih maju dalam mencapai keberhasilan membangun budaya yang lebih beragam, setara, dan inklusif.

 

Referensi:

https://www.hult.edu/blog/benefits-challenges-cultural-diversity-workplace/
https://www.qualtrics.com/au/experience-management/employee/dei/
https://www.mckinsey.com/business-functions/people-and-organizational-performance/our-insights/the-organization-blog/dont-train-your-employees-on-de-and-i-build-their-capabilities
https://diversity.uiowa.edu/resources/dei-definitions
https://www.snapcomms.com/blog/diversity-program-ideas
https://blog.vantagecircle.com/inclusion-at-the-workplace/

KERAGAMAN DAN INKLUSI DI TEMPAT KERJA

Bank Dunia memperkirakan bahwa kesenjangan gender menyebabkan hilangnya pendapatan rata-rata 15% di negara-negara anggota OECD, 40% diantaranya disebabkan oleh entrepreneurship gaps.  Permasalahan mengenai kesetaraan gender di tempat kerja telah mengangkat kembali isu upaya pemberdayaan keragaman dan inklusi di tempat kerja. Terlebih lagi, fakta bahwa Indonesia memiliki 34 propinsi yang terdiri lebih dari 700 kelompok etnis yang berbeda-beda, menyebabkan isu keragaman semakin membawa ancaman bagi perusahaan.

Keragaman di tempat kerja merupakan kondisi di mana anggota perusahaan yang terlibat dapat memahami, menerima, dan menghargai perbedaan yang mereka miliki. Di sisi lain, inklusi merupakan lingkungan di mana hubungan antar rekan kerja bersifat kolaboratif, suportif, dan saling menghormati sehingga terjadi peningkatan partisipasi dan kontribusi oleh semua karyawan. Oleh karena itu, keragaman dan inklusi dapat digambarkan sebagai misi, strategi, dan praktik perusahaan untuk mendukung tempat kerja yang beragam dan mendapatkan manfaat dari efek keragaman tersebut agar perusahaan dapat mencapai keunggulan bisnis yang kompetitif. Berbeda dengan program keragaman yang tradisional, program keragaman dan inklusi lebih berfokus terhadap penguatan keyakinan tiap individu dibandingkan dengan pelatihan softskill mereka.

Forbes Insight menemukan bahwa 65% eksekutif senior percaya bahwa divisi SDM-lah yang seharusnya bertanggung jawab untuk mengimplementasikan program keragaman dan inklusi, sementara 35% lainnya mengatakan bahwa itu adalah tanggung jawab para pemimpin senior dalam unit atau divisi bisnis. Mengapa program keragaman dan inklusi ini penting? Survei yang sama menemukan bahwa 56% perusahaan menyatakan bahwa program keragaman dan inklusi ini dapat mendorong inovasi.

Terdapat beberapa alasan penerapan program keragaman dan inklusi lainnya, seperti:
  1. Keragaman dan inklusi adalah hal yang sudah sepatutnya untuk dilakukan
  2. Memberikan peluang yang sama bagi karyawan dan mendorong mereka untuk maju
  3. Perusahaan yang merangkul keragaman dan memiliki inklusi mendapatkan pangsa pasar yang lebih tinggi dan keunggulan kompetitif dalam mengakses pasar baru
  4. Membantu perusahaan untuk menemukan talent yang tepat
  5. Mendorong karyawan untuk melihat dari berbagai persepsi, belajar dari satu sama lain, dan mengembangkan kinerja mereka sehingga performa perusahaan juga ikut meningkat
  6. Mendorong pertumbuhan ekonomi negara

Berikut praktik terbaik untuk menerapkan program keragaman dan inklusi:

  1. Membangun sense of belonging untuk semua orang

    Memahami keragaman dan membangun budaya inklusi agar setiap anggota organisasi merasa bahwa mereka dapat menjadi dirinya sendiri ketika berada di kelompok atau organisasi tersebut.

  1. Kepemimpinan dengan empati

    Setiap pemimpin perlu memahami value of belonging baik secara intelektual maupun emosional. Mereka perlu mengerti dan memberi alasan mengapa mereka peduli.

  1. Pendekatan top-down tidak cukup

    Mengidentifikasi perbedaan dalam employee experience dan nilai-nilai yang dipegang setiap karyawan sehingga perubahan dapat dibuat relevan bagi setiap orang. Perubahan yang berjangka panjang perlu diterapkan dalam berbagai bentuk sistem (top-down, bottom-up, dan middle-out).

  1. Kuota tidak membuat inklusi menjadi otomatis

    Memberi tujuan dalam meningkatkan jumlah keragaman tidak cukup untuk membangun budaya inklusi. Pimpinan perlu melakukan promosi inklusi setiap hari dengan menciptakan kondisi di mana karyawan dapat berkontribusi dengan keunikannya serta merancang cara untuk mengukur dampaknya.

  1. Inklusi terus berlangsung – bukan hanya pelatihan yang terjadi sekali

    Membantu individu untuk membangun kebiasaan atau microbehaviors (tindakan keseharian yang dapat dilaksanakan dan diukur) baru sehingga terbentuklah lingkungan kerja yang lebih positif.

  1. Maksimalkan rasa senang dan meminimalkan rasa takut

    Rasa takut hanya membuat orang untuk berpikir lebih sempit. Sebaliknya, rasa senang akan mendorong perubahan yang lebih positif seperti menceritakan pengalaman dan merayakan kesuksesan sehingga terciptalah tempat kerja yang lebih inklusi.

 

Referensi:
https://ideal.com/diversity-and-inclusion/
https://www.kemenkeu.go.id/publikasi/berita/kesetaraan-gender-merupakan-isu-prioritas/
https://pwc.blogs.com/ceoinsights/2015/06/five-reasons-why-diversity-and-inclusion-matter.html
https://www.cio.com/article/3262704/diversity-and-inclusion-8-best-practices-for-changing-your-culture.html