TIGA KESALAHAN UTAMA DALAM PROGRAM
DIVERSITY, EQUITY, & INCLUSIVITY

Diversity, Equity, dan Inclusivity (DEI) menjadi fokus di tempat kerja sejak beberapa tahun belakangan ini. Penelitian McKinsey (2021) menunjukkan bahwa 51% alasan karyawan meninggalkan pekerjaannya adalah karena kurangnya rasa memiliki atau engaged terhadap perusahaan. Alasan ini lebih sering didapati pada karyawan yang identitasnya kurang terwakili di perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan perlu meningkatkan engagement dengan cara menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh karyawannya.

Diversity

Diversity (keberagaman) merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Perbedaan di dalam keberagaman meliputi perbedaan sosial secara horizontal, seperti ciri fisik, etnis, ras, agama, gender, bahasa, hingga kewarganegaraan, dan juga perbedaan secara vertikal, seperti status sosial maupun ekonomi. Perbedaan ini sering kali sulit diubah dan tidak dapat dipisahkan dari setiap individu. Karena itu, perbedaan di antara setiap karyawan perlu dihargai.

Perusahaan sendiri ingin menciptakan keberagaman di tempat kerja dengan tujuan membangun beragam perspektif yang mampu mendorong kreativitas dan inovasi. Selain itu, karyawan yang merepresentasikan berbagai kelompok dari target pasar juga dapat memberikan wawasan yang berharga bagi bisnis yang lebih kompetitif dan menguntungkan. Dalam hal koneksi maupun keterampilan bahasa lokal, kepekaan budaya dapat mendorong perkembangan bisnis di tingkat lokal hingga internasional secara cepat. Dengan demikian, strategi pemasaran dapat didesain lebih akurat untuk menyasar target tertentu.

Equity

“Equity,” dalam Bahasa Indonesia berarti keadilan atau kewajaran. Menurut Universitas IOWA, equity merupakan praktik dan peraturan yang adil serta tidak memihak sehingga memberikan kesempatan yang sama bagi setiap individu. Untuk mencapai kesetaraan dan mempromosikan rasa saling menghargai, perusahaan biasanya menjalankan program DEI, seperti penggunaan survei anonim sehingga mendorong karyawan mempertanyakan apapun yang ada di pikiran mereka dengan tujuan menciptakan pemahaman terhadap perspektif dan preferensi kelompok yang beragam. Survei semacam ini akan membantu karyawan dari berbagai latar belakang untuk membantu mengatasi rasa takut salah dalam bertindak.

Inclusivity

Inclusivity merupakan praktik untuk memastikan bahwa karyawan mempunyai rasa memiliki di tempat kerja. Secara sederhana, inklusif juga dapat diartikan sebagai kerendahan hati atau kesederhanaan. Faktanya, semua orang ingin mengakui bahwa mereka memilikinya, namun sesungguhnya tidak. Menurut survei Delloitte (2017), 80% karyawan mempertimbangkan inklusivitas sebagai faktor penting dalam memilih perusahaan.

Menciptakan tempat kerja yang inklusif sangat berbeda dari hanya sekadar menciptakan budaya perusahaan yang beragam. Keberagaman di tempat kerja bisa dicapai dengan memiliki karyawan dari berbagai jenis kelamin, ras, dan etnis, namun inklusif berbicara tentang menghilangkan bias yang tidak disadari di lingkungan kerja. Jika inklusivitas dapat dicapai, karyawan akan merasa diikutsertakan terlepas dari siapa atau sebagai apa mereka mengidentifikasi dirinya.

Dalam rangka meningkatkan budaya DEI di tempat kerja, program yang dirancang dan diimplementasikan dengan efektif merupakan kunci utamanya. Meski sudah memberikan investasi yang cukup signifikan, banyak organisasi terjebak dalam kesalahan yang sama. Menurut McKinsey, berikut tiga kesalahan utama organisasi dalam membangun budaya DEI:

  1. Terlalu fokus pada peningkatan awareness, tetapi melupakan objektif yang lebih luas.

    Organisasi biasanya memulai program pelatihan DEI dengan serangkaian topik pengenalan atas isu-isu DEI. Memang program ini memberikan sense of awareness bagi karyawan, tetapi tidak ada aksi yang nyata akan terwujud jika hanya melalui sesi-sesi tersebut. Untuk mengatasi hal ini, organisasi perlu memberikan program lanjutan.

    Setelah sesi pelatihan, mulai pahami perilaku yang akan diubah dan bagaimana perilaku saat ini memengaruhi pengalaman inklusi. Untuk mendapatkan wawasan dengan lebih akurat, perusahaan dapat melaksanakan survei karyawan tentang penilaian inklusi yang komprehensif atau melalui wawancara dengan tujuan agar memahami kesenjangan saat ini. Setelah itu, tentukan prioritas terbesar dan gabungkan umpan balik tersebut dengan program DEI yang dirancang khusus untuk mengajarkan perilaku agar lebih inklusif.

  1. Memaksa semua karyawan menghadiri setiap pelatihan DEI secara mandatori.

    Kewajiban menghadiri pelatihan biasanya merupakan strategi organisasi untuk mengajak setiap karyawan memahami pentingnya mempromosikan DEI di tempat kerja. Dengan menggunakan kehadiran sebagai Key Indicator Performance (KPI), karyawan akan merasa hak pilih mereka berkurang. Peserta yang merasa dipaksa untuk terlibat dalam topik DEI mungkin merasa kesal dan tidak dapat menyerap materi dengan baik.

    Beberapa program mungkin wajib dihadiri untuk beberapa peran tertentu, tetapi beberapa pelatihan DEI lainnya mungkin dapat didesain sebagai kehadiran opsional. Tujuannya adalah untuk menciptakan kebebasan partisipasi pada program lainnya. Daripada menggunakan kehadiran sebagai KPI, perusahaan dapat mengevaluasi keberhasilan berdasarkan dampak dan perubahan perilaku yang terukur.

  1. Menggunakan pendekatan business-as-usual sehingga fokus berkurang pada perubahan dari sisi kemanusiaan.

    Membahas kesetaraan dan inklusi terkadang bisa menjadi rumit dan tidak nyaman, namun organisasi sering merancang program yang minim interaksi dan tidak didukung oleh fasilitator yang mumpuni. Selain itu, waktu untuk melakukan eksplorasi dan mempraktikkan perilaku DEI juga tidak dialokasikan dengan cukup. Karyawan hanya diinformasikan bahwa mereka perlu berubah, tanpa ada diskusi dan eksplorasi mendalam tentang bagaimana perubahan perilaku dapat memberikan manfaat bagi orang lain dan pengalaman mereka sendiri.

    Organisasi perlu merancang sesi yang lebih singkat dalam frekuensi yang sering untuk memberikan ruang refleksi, diskusi, dan berlatih dalam kelompok kecil. Sesi mikro ini dapat mempertahankan momentum tanpa membebani audiens. Di sisi lain, organisasi juga harus menemukan fasilitator yang memiliki pengetahuan mendalam tentang DEI, bersedia berbagi pengalaman, dan mampu menciptakan ruang yang aman untuk refleksi yang rentan secara emosional.

Program membangun DEI mungkin terasa menantang dan kompleks, tetapi bukanlah tidak mungkin untuk dicapai. Program DEI yang sukses dapat mendorong pertukaran informasi yang lebih terbuka dan berani sehingga menghasilkan engagement yang lebih tinggi dan mengubah budaya organisasi. Dengan mengetahui kesalahan umum yang sering dilakukan, organisasi dapat selangkah lebih maju dalam mencapai keberhasilan membangun budaya yang lebih beragam, setara, dan inklusif.

 

Referensi:

https://www.hult.edu/blog/benefits-challenges-cultural-diversity-workplace/
https://www.qualtrics.com/au/experience-management/employee/dei/
https://www.mckinsey.com/business-functions/people-and-organizational-performance/our-insights/the-organization-blog/dont-train-your-employees-on-de-and-i-build-their-capabilities
https://diversity.uiowa.edu/resources/dei-definitions
https://www.snapcomms.com/blog/diversity-program-ideas
https://blog.vantagecircle.com/inclusion-at-the-workplace/

Recommended Posts