Persepsi karyawan terhadap perusahaan tercipta dari serangkaian pengalaman yang dilalui selama berada di dalam perusahaan. Survei IDC (2021) menemukan bahwa 85% responden setuju bahwa Employee Experience (EX) yang positif dan Employee Engagement yang tinggi akan menghasilkan Customer Experience (CX) yang lebih baik. Dalam praktiknya, EX bukan hanya tentang milestone Sumber Daya Manusia (seperti: rekrutmen, onboarding, perkembangan karier, dan pensiun), tetapi EX adalah tentang bagaimana setiap persepsi yang dimiliki karyawan dalam menghadapi tanggung jawab, interaksi, dan hubungan antara pekerjaan dan kehidupan mereka sehari-hari.
(BACA JUGA: MENCIPTAKAN PUSAT EMPLOYEE EXPERIENCE)
Menurut IBM (n.d.), fokus untuk mendesain EX menjadi lebih penting dari sebelumnya. Beberapa ahli mengangkat topik-topik EX, seperti mengaitkan EX dengan budaya organisasi, mendorong komunitas yang kolaboratif, serta membangun nilai dan tujuan di dalam pekerjaan. Hal ini didorong oleh beberapa tren yang muncul, seperti:
- War of talent yang sedang berjalan semakin sengit. Perusahaan-perusahaan mulai menyadari pentingnya untuk mempertahankan talenta terbaik mereka.
- Pola pikir generasi milenial mempengaruhi seluruh lingkungan kerja. Mereka memiliki ekspektasi terhadap fleksibilitas, penggunaan alat/teknologi untuk bekerja, dan membutuhkan umpan balik kinerja yang lebih baik.
- Karyawan menginginkan pengalaman yang sama seperti pelanggan mereka, seperti teknologi yang lebih sederhana, kemampuan untuk membagikan pendapat, dan akses ke pembuat keputusan.
- Organisasi mulai mengenali keterkaitan antara EX dan CX. Banyak peneliti menemukan bahwa perusahaan yang menawarkan CX yang positif juga memiliki lingkungan kerja di mana karyawan dapat mengerjakan pekerjaan mereka secara efektif.
(BACA JUGA: TEKNOLOGI DALAM PEKERJAAN)
Pengalaman perlu didesain dengan intensitas dan tipe yang berbeda-beda agar karyawan menjadi lebih fokus pada apa yang baik dan tidak mendapatkan informasi yang berlebihan. Dalam bukunya, Rossman & Duerden (2019) memberikan lima atribut untuk mendesain sebuah pengalaman:
Frequency and Impact
Di dalam perjalanan karier, karyawan akan lebih sering mengalami pengalaman yang tidak bermakna daripada pengalaman yang transformasional. Untuk merancang pengalaman yang baik, diperlukan kemampuan untuk menentukan takaran yang tepat tentang kapan frekuensi dan dampak digunakan. Perlu digarisbawahi juga bahwa frekuensi dan dampak memiliki hubungan yang terbalik. Semakin besar frekuensi, semakin kecil dampaknya, begitu pula sebaliknya.
Novelty (kebaruan)
Tingkat kebaruan sangat terikat dengan frekuensi. Semakin sering kita melakukan sesuatu, semakin jarang kita menaruh perhatian terhadap hal itu. Itulah mengapa pengalaman dapat berubah seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, kebaruan dibutuhkan untuk membuat pengalaman menjadi lebih menarik.
Engagement (keterlibatan)
Setiap pengalaman membutuhkan perbedaan tingkat keterlibatan setiap peserta. Tingkat keterlibatan ini dibedakan menjadi tiga fase, yaitu:
- Fase 1: individu menjadi sadar dan memerhatikan pengalamannya.
- Fase 2: individu mulai memikirkan dan menyiapkan respon atas pengalamannya.
- Fase 3: individu merespon dan mempertahankan keberlangsungan pengalamannya.
Ketika karyawan masuk dalam fase ketiga, maka mereka akan benar-benar terlibat (engage).
Required Energy
Setiap pengalaman memiliki “biaya” emosional, mental, dan fisik untuk partisipasinya. Saat berpartisipasi dalam pengalaman yang memiliki dampak tinggi, biasanya kita membutuhkan waktu “istirahat” untuk memproses dan memaknai pengalaman tersebut. Dalam penelitian Duerden (2012), ditemukan bahwa pertukaran pelajar membutuhkan waktu lebih untuk beristirahat dan mencerna pengalaman lintas budaya untuk benar-benar memaknai pengalamannya. Di sisi lain, pelajar yang tidak memiliki waktu untuk memproses pengalaman tersebut cenderung melewatkan pengenalan akan dampak pengalaman tersebut di dalam hidup mereka. Oleh karena itu, perusahaan perlu mengidentifikasi energi yang dibutuhkan di setiap pengalaman yang didesain.
Results
Pengalaman yang baik memerlukan tujuan atau hasil yang spesifik. Sering kali terdapat ekspektasi yang tidak realistis atas pengalaman sehingga menimbulkan kekecewaan. Seligman dalam bukunya “Authentic Happiness,” ada dua kategori hasil pengalaman yang positif, yaitu kesenangan dan kepuasan.
Dampak EX yang sesungguhnya terbentuk ketika karyawan merasa dihargai dan terkoneksi dengan perusahaan. Hal tersebut berarti bahwa EX adalah tentang sebuah maraton, bukan sprint. Tugas seorang pemimpin adalah membuat maraton tersebut menarik bagi karyawannya. Pada akhirnya, organisasi akan memperoleh dampak positif berupa tingkat retensi yang lebih baik sehingga berdampak pada peningkatan profitabilitas.
(BACA JUGA: SUASANA DAN RASA DI TEMPAT KERJA)
Referensi:
Rossman, J. & Duerden, M. (2019). Designing Experiences. Columbia Business School Publishing
https://www.forbes.com/sites/forbescommunicationscouncil/2022/02/08/how-to-design-an-amazing-employee-experience/?sh=6d5901911f7b
https://www.ibm.com/downloads/cas/zend5pm6