What is Continuous Improvement?

Continuous improvement adalah kerangka kerja yang mendorong organisasi untuk melakukan perubahan atau perbaikan kecil, namun dilakukan secara berkelanjutan demi kemajuan organisasi. Kerangka ini bermula dari masalah – masalah yang timbul di lingkungan organisasi, baik internal maupun eksternal. Aspek internal dipengaruhi oleh Voice of Business, yaitu masalah yang timbul karena kebutuhan internal operasional bisnis, sedangkan aspek eskternal dipengaruhi oleh Voice of Customer, yaitu masalah yang timbul karena keluhan dan kebutuhan pelanggan. Dari masalah tersebut, organisasi dapat mengidentifikasi akar masalah dan membuat langkah-langkah untuk menyelesaikannya.

Menganalisis Problem –>  Mengidentifikasi Root Cause –>  Membuat Action Plan

Continuous improvement didasari oleh salah satu filosofi Jepang, yaitu Kaizen (改善) yang berasal dari dua kata bahasa Jepang, yaitu Kai (perubahan) dan Zen (baik) sehingga diterjemahkan menjadi perubahan untuk menciptakan kebaikan. Dalam bisnis, Kaizen mengacu pada aktivitas yang terus melakukan peningkatan pada semua fungsi bisnis. Dalam penerapannya, Kaizen berfokus pada melakukan perubahan kecil setiap hari untuk menghasilkan peningkatan besar di masa depan. Dari perubahan tersebut, karyawan diharapkan mampu memperbaiki kinerjanya dengan tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.

Berikut manfaat continuous improvement bagi organisasi:

  1. Meningkatkan kualitas produk atau layanan. Continuous improvement menuntut organisasi untuk terus berkembang mengikuti tren dan melakukan perbaikan untuk area-area tertentu sehingga organisasi dapat terus meningkatkan kualitas produknya untuk memuaskan serta menjawab kebutuhan pelanggan.
  1. Produk yang lebih relevan. Continuous improvement ditetapkan berdasarkan masalah – masalah yang ada, khususnya masalah eksternal, yaitu kebutuhan dan keluhan pelanggan. Setelah mengetahui masalah yang dialami pelanggan, organisasi dapat meperbaiki, mengubah, atau menciptakan produk baru yang sesuai dengan tren dan kebutuhan pelanggan sehingga menjaga eksistensi dan mendorong pertumbuhan bisnis.
  1. Mendukung inovasi. Continuous improvement mendorong bisnis untuk proaktif dan responsif terhadap perubahan kondisi pasar, permintaan pelanggan, dan kemajuan teknologi sehingga organisasi harus bereksperimen dengan ide atau proses baru yang mengarah kepada kinerja yang lebih baik. Perbaikan terus menerus adalah cikal bakal dan sangat dapat mendorong proses inovasi yang berkelanjutan.
  2. Pertumbuhan berkelanjutan. Continuous improvement adalah pendekatan pembangunan bisnis jangka panjang. Dengan kerangka ini, organisasi perlu konsisten (menjadi budaya) mencari peluang untuk pertumbuhan serta perbaikan sehingga organisasi dapat terus bertumbuh dan bertahan di lingkungan bisnis yang terus berubah.

 

Referensi:

https://www.productplan.com/glossary/continuous-improvement/#:~:text=What%20Is%20Continuous%20Improvement%3F,opportunities%20to%20cut%20unproductive%20work.

https://www.planview.com/resources/articles/lkdc-importance-continuous-improvement/

 

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Tantangan dalam Mengimplementasikan Performance Appraisal

Performance Appraisal (PA) merupakan salah satu tahapan dalam performance management yang berfungsi untuk memberikan informasi mengenai kekuatan, kelemahan, serta kebutuhan setiap karyawan. PA biasanya dilakukan oleh pemimpin secara langsung kepada karyawan melalui dialog, namun terdapat beberapa metode lain, seperti penilaian diri sendiri, penilaian oleh rekan kerja, tes, dan ulasan pelanggan (biasanya dilakukan oleh perusahaan jasa). Jika tidak dilakukan dengan tepat, PA tidak akan menghasilkan informasi yang akurat dan hanya membuang waktu, tenaga, dan biaya.

Berikut 5 tantangan dalam PA:

  1. Tidak ada tujuan yang jelas. Jika hanya dilakukan sebatas formalitas, maka PA tidak akan maksimal karena hasilnya tidak akan memberikan pengaruh apapun terhadap kinerja karyawan. Tanpa tujuan yang jelas, pemimpin akan menjalankan proses PA dengan asal-asalan karena tujuanlah yang menjadi dasar untuk menyusun ukuran keberhasilan.
  1. Penilaian yang kurang objektif. Salah satu masalah PA adalah keyakinan karyawan bahwa mereka tidak dinilai secara adil. Karyawan merasa tidak dinilai melalui kinerja, melainkan dari latar belakang, ras, suku, golongan, atau agamanya. Selain itu, konflik dan bias pemimpin juga sering kali memengaruhi mereka dalam melakukan penilaian sehingga hasil PA tidak akurat.
  1. Membandingkan karyawan dengan rekan kerjanya. Harvard Business Review menyatakan bahwa karyawan menganggap PA tidak akurat dan tidak adil jika pemimpin membandingkan kinerja mereka dengan rekan kerjanya. Karyawan berpendapat bahwa setiap orang memiliki kapasitas dan kemampuannya masing-masing sehingga mereka merasa kurang nyaman jika PA didasarkan dengan “perbandingan kinerja”. Walaupun penilaian artinya membandingkan, perbandingan yang benar adalah dengan standard kinerja, bukan dengan sesama karyawan.
  1. Perbedaan pendapat antara pemimpin dan karyawan. Karyawan cenderung ingin mendengarkan evaluasi yang baik tentang kinerjanya dalam periode tertentu, sedangkan PA biasanya cenderung menjelaskan aspek-aspek yang perlu mereka tingkatkan sehingga ada proses PA tidak terjadi sesuai dengan harapan mereka. Di sini atasan harus berani menyampaikan umpan balik secara jujur dan tegas sehingga harapan kinerja yang diinginkan dapat terpenuhi oleh karyawan bersangkutan.
  1. Tidak memberikan solusi. Setelah hasil penilaian keluar, seharusnya pemimpin dapat memberikan solusi atas kelemahan atau kebutuhan karyawan. Sering kali, pemimpin hanya memberikan kritik dan mengutarakan harapannya saja tanpa mendengarkan kesulitan atau tantangan yang dihadapi karyawan sehingga mereka merasa PA dilakukan hanya untuk menghakimi.Faktanya, PA dilakukan untuk mengelola dan meningkatkan kinerja karyawan, bukan alat penghakiman.
Referensi:
https://smallbusiness.chron.com/challenges-performance-appraisal-1262.html
https://talygen.com/blogdetail/5-major-challenges-of-performance-review–appraisals-in-organizations
https://kissflow.com/hr/performance-management/employee-performance-appraisal-method/

 

Tiga Manfaat Performance Appraisal

Performance appraisal (PA) merupakan salah satu tahapan dalam performance management yang berfungsi untuk menilai kinerja karyawan pada periode tertentu dan bertujuan untuk memberikan umpan balik kepada karyawan tentang pekerjaan mereka. Biasanya PA dilakukan secara berkala, misalnya tahunan atau triwulanan. Walaupun PA memiliki beberapa tantangan seperti keengganan para manajer dan karyawan dalam melaksanakan atau tidak adanya tindak lanjut atas hasil PA, berikut ini adalah tiga manfaat pasti ketika perusahaan melaksanakan PA:

  1. Administration. PA mengumpulkan dan mengolah seluruh data kinerja individu dalam perusahaan yang nantinya diaplikasikan untuk talent management, yaitu pada proses identifikasi talenta. Data kinerja ini secara langsung digunakan sebagai dasar dalam penetapan promosi, rotasi, dan demosi. Semua dinamika pergerakan karyawan ini (employee relation) adalah tindak lanjut PA yang relevan dan bisa dipertanggungjawabkan dalam organisasi. Jadi, walau terkesan administratif, proses HRM modern tidak bisa berjalan tanpa ada data kinerja yang dihasilkan oleh PA.
  1. Legal. Data kinerja dari PA bersifat legal dan dapat digunakan untuk kegiatan industrial relation. Pada aspek ini, hasil PA dapat digunakan sebagai dasar dalam menetapkan reward and punishment bagi setiap karyawan. Hasil PA yang cenderung konsisten rendah selama beberapa waktu atau periode menyebabkan perusahaan harus memberikan pembinaan dalam bentuk teguran dan surat peringatan agar karyawan dapat memperbaiki kinerjanya. Jika tidak ada perubahan, maka perusahaan dapat melakukan tindakan tegas seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Untuk maksud tersebut, penting bagi perusahaan menetapkan berbagai kebijakan dan prosedur pembinaan. Bila sampai berhubungan dengan pengadilan hubungan industrial, data kinerja akan memegang peranan penting untuk menghasilkan keputusan yang objektif bagi kedua belah pihak.
  1. Culture. PA yang efektif diharapkan mampu menciptakan budaya kinerja yang tinggi. Artinya perusahaan akan memberikan apresiasi kepada karyawan berkinerja tinggi dan menyediakan bantuan dan fasilitas kepada karyawan yang membutuhkan sehingga mereka juga berprestasi. Budaya ini akan memberikan motivasi yang besar kepada semua karyawan untuk memberikan kontribusi. PA yang efektif akan memberikan pengalaman yang luar biasa kepada karyawan sehingga mereka merasa terlibat dan pada akhirnya akan memberikan upaya terbaiknya kepada organisasi dan mendorong organisasi mencapai keunggulan kompetitifnya.

 

Referensi:
http://performance-appraisal.com/legalaspects.htm
https://www.sesamehr.com/blog/the-most-notable-benefits-of-performance-appraisal/
https://www.simplilearn.com/what-is-performance-appraisal-methods-process-article#what_is_a_performance_appraisal
https://www.investopedia.com/what-is-a-performance-appraisal-4586834

 

 

Performance Appraisal vs Performance Management

Sering kali perusahaan menganggap performance appraisal dan performance management adalah dua hal yang sama. Performance appraisal merupakan penilaian formal untuk mengevaluasi kinerja karyawan, mengidentifikasi kelebihan dan area pengembangan, serta menetapkan tujuan untuk kinerja masa depan; sedangkan performance management adalah proses manajemen yang jauh lebih luas dan lebih komprehensif karena dilengkapi dengan kegiatan komunikasi yang berkelanjutan antara pemimpin dan karyawan untuk mendukung pencapaian sasaran strategis organisasi. Proses komunikasi ini bertujuan untuk mengklarifikasi harapan, prioritas, dan perencanaan pengembangan yang berkelanjutan sehingga mampu mengoptimalkan kinerja individu.

 

Perbedaan Utama

 

Performance Appraisal

Performance Management

Merupakan bagian dari Performance Management yang menekankan pada kegiatan penilaian dan administrasinya. Merupakan kegiatan pengelolaan kinerja yang terintegrasi, mulai dari perencanaan, eksekusi, dan evaluasi atau penilaian.
Hanya mengevaluasi kinerja karyawan secara objektif untuk tahun tersebut dan memberikan umpan balik akhir. Memastikan bahwa karyawan telah mencapai tujuan yang ditetapkan.
Mengevaluasi kesalahan karyawan dan memberikan solusi untuk mengatasinya Membimbing dan memperlengkapi karyawan agar mereka dapat bekerja lebih baik di masa depan.
Dilakukan tidak lebih dari dua kali dalam setahun. Proses berkelanjutan yang mungkin menjadi bagian dari dialog sehari-hari antara manajer dan karyawan.
Tidak fleksibel karena mengikuti kebijakan dan prosedur yang sudah ditetapkan. Fleksibel karena pada proses pencapaian sasaran dan target kinerja, atasan dan bawahan akan bekerja sama dan menyesuaikan diri dengan kondisi internal dan eksternal.

Persamaan

Pada dasarnya, performance management dan performance appraisal memiliki fokus yang sama yaitu kinerja karyawan. Berikut beberapa persamaan lainnya:

  • Memiliki target dan harapan yang jelas
  • Memiliki tolok ukur keberhasilan
  • Bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan terhadap pola kerja yang tidak efektif
  • Menjadi dasar untuk kegiatan HR lainnya, di antaranya adalah pelatihan, penghargaan, perekrutan, dan hubungan industrial.

 

Hubungan Performance Appraisal dan Performance Management

Performance management merupakan konsep yang lebih luas dibandingkan performance appraisal karena performance management mencakup seluruh kegiatan untuk meningkatkan kinerja karyawan di masa depan, sedangkan performance appraisal merupakan salah satu tahapan dalam performance management yang berfungsi untuk menilai kinerja dan memberikan informasi terkait kebutuhan dan kelemahan karyawan yang perlu ditingkatkan. Jadi, performance appraisal merupakan bagian dari performance management.

BACA JUGA: PERFORMANCE MANAGEMENT MASA KINI

 

Referensi:
https://www.simplilearn.com/performance-management-vs-performance-appraisal-article#:~:text=Performance%20management%20is%20the%20process,employee’s%20performance%20and%20gives%20feedback.https://www.synergita.com/blog/differentiate-employee-performance-management-and-performance-appraisal/

Sejarah OKR

Objective and Key Results (OKR) merupakan alat manajemen kinerja yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan maupun individu. OKR memiliki dua komponen, yaitu Objective, yaitu deskripsi kualitatif tentang apa yang ingin dicapai perusahaan. Objective sebaiknya singkat, inspirasional, dan memotivasi tim. Objective dapat disebut sebagai sasaran strategis yang ingin dicapai perusahaan. Komponen kedua adalah Key Results, yaitu serangkaian deskripsi kuantitatif yang mengukur kemajuan perusahaan menuju Objective. KRs dapat diartikan sebagai ukuran keberhasilan yang menunjukkan kemajuan perusahaan menuju Objective. KRs harus berbentuk kuantitatif, spesifik, dapat diukur, dan dapat diraih.

OKR pertama kali dicetuskan oleh Andy Grove, CEO Intel pada tahun 1970-an untuk mengukur kinerja perusahaannya. Andy Grove menyaring ide cemerlang Manajemen by Objectives (MBO) milik Peter Drucker dan mengembangkannya menjadi konsep Key Results. Idenya sederhana, bahwa KR berperan untuk mengukur dan memfasilitasi pencapaian Objective dan perlu ada beberapa, tidak hanya satu saja, mengingat pentingnya Objective tersebut.

Peter Drucker dan MBO, 1954

Pada tahun 1954 Drucker menerbitkan buku “The Practice of Management“, yang memicu gagasan bahwa Objective atau sasaran itu penting sebagai dasar untuk menilai kinerja. Lalu, Drucker mengusulkan sistem manajemen kinerja yang disebut Management by Objectives (MBO) yang kemudian menginspirasi munculnya OKR. Dalam prakteknya, MBO dipandang memiliki beberapa kelemahan, seperti:

  • Menetapkan sasaran dengan ukuran tertentu yang ternyata memicu cara kerja yang tidak berkualitas.
  • Tujuan perusahaan tidak secara otomatis selaras dengan tujuan karyawannya.

Andy Grove dan OKRs, tahun 1970-an

Sebagai CEO di Intel, Andy Grove mengambil ide MBO oleh Peter Drucker dan mengembangkannya menjadi OKR. Dengan OKR, Objective memiliki beberapa Key Results yang memastikan tim bergerak ke arah yang benar dengan pengukuran yang tepat. Beberapa KRs ini dipandang sebagai peta jalan menuju pada pencapaian sasaran.

John Doerr dan Google, 1999

Saat 1999 Kleiner Perkins berinvestasi di Google dan John Doerr didaulat menjadi penasihat Google. Sebagai penasihat, Doerr memperkenalkan OKR ke Google sehingga Larry Page dan Sergey Brin selaku pendiri Google mengadopsinya di seluruh tim (sekitar 30 karyawan pada waktu itu).

Larry Page: “OKRs have helped lead us to 10x growth, many times over. They’ve helped make our crazily bold mission of “organizing the world’s information” perhaps even achievable. They’ve kept me and the rest of the company on time and on track when it mattered the most.”

OKR Setelah Google, 2010+

Pertumbuhan Google menjadi salah satu fenomena atau model yang mempopulerkan konsep OKR. Google meluncurkan resource re:Work untuk membagikan prinsip OKR-nya. Selain itu, John Doerr juga menerbitkan sebuah buku tentang OKRs “Measure What Matters” sehingga sejak saat itu banyak perusahaan mulai mengadopsi kerangka kerja OKR, seperti Airbnb, LinkedIn, Dropbox, Spotify, Netflix, Amazon, Facebook, Gap, Lear, Deloitte, dan Adobe.

 

Referensi:
https://www.leapsome.com/blog/the-rise-of-okrs-a-short-history-of-objectives-and-key-results
https://www.perdoo.com/okr-guide/#:~:text=OKR%20has%20a%20long%20history,OKR%20during%20his%20time%20there.
https://okrframework.org/en/okr-blog/okr-history
https://www.talbit.io/blogs/brief-history-of-okrs
Tedja, Wirawan. (2021). Objective & Key Results. Jakarta: Samahita Wirotama

Employer Branding A to Z

Employer Brand merupakan reputasi perusahaan sebagai tempat kerja. Reputasi inilah yang menjadi salah satu pertimbangan kandidat melamar di perusahaan tersebut sehingga mengembangkan employer branding mulai menjadi salah satu fokus utama bagi sebagian besar perusahaan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Career Arc, ditemukan setidaknya terdapat 96% perusahaan yang mempercayai bahwa employer brand dapat secara positif maupun negatif mempengaruhi kinerja perusahaan. Hal tersebut juga didukung oleh studi Aldousari, et. al. (2017) yang menemukan bahwa perusahaan yang memiliki strategi employer branding yang efektif memiliki kinerja yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan sejenis yang tidak mengelola employer branding. Dengan membangun employer branding, perusahaan dapat membentuk persepsi bahwa mereka adalah tempat yang cocok untuk bekerja bagi target kandidat maupun karyawan.

Pada umumnya, perusahaan melakukan strategi employer branding dengan tujuan untuk:

1. Merekrut kandidat berkualitas

Perusahaan manapun menginginkan kandidat yang berkualitas, namun mereka juga harus bersaing dengan kompetitor. Di sisi lain, kandidat yang diinginkan tidak selalu tersedia di pasar tenaga kerja. Lebih lanjut, menurut studi TalentNow, 84% pencari kerja menyatakan bahwa reputasi perusahaan sebagai employer merupakan hal yang penting. Oleh karena itu, perusahaan membutuhkan strategi employer branding yang tepat untuk menciptakan citra perusahaan yang positif sehingga dapat menarik kandidat potensial untuk bergabung.

2. Meningkatkan retensi karyawan

Selain membangun citra secara eksternal, perusahaan juga perlu memastikan citranya sebagai employer juga positif di mata karyawan yang ada di perusahaan saat ini. Dengan membangun citra yang positif secara internal, karyawan juga akan lebih memilih untuk tinggal di perusahaan daripada pindah ke perusahaan lainnya karena mungkin akan terdapat switching cost yang cukup besar. Misalkan, perusahaan lain mungkin tidak memberikan fasilitas atau kenyamanan yang sama seperti perusahaannya saat ini.

3. Meningkatkan employee engagement

Komponen dalam membangun Employer Brand meliputi reputasi perusahaan, Employee Value Proposition (EVP), serta Employee Experience (EX) (Adams, 2022). Dari ketiga komponen tersebut, EX merupakan komponen yang secara langsung mempengaruhi tingkat employee engagement karena berkaitan dengan bagaimana perusahaan memberikan EVP pada karyawannya. Jika karyawan menunjukkan tingkat employee engagement yang tinggi, maka mereka akan menunjukkan perilaku-perilaku yang dapat berkontribusi pada peningkatan kinerja, seperti merekomendasikan perusahaannya, menjadi bagian dari organisasi, serta memberikan upaya dan waktu yang ekstra untuk bekerja bagi perusahaan (Markos, 2010).

Jadi, proses implementasi employer branding memiliki fokus secara eksternal dan internal. Secara eksternal, perusahaan fokus pada kegiatan promosi untuk meningkatkan citra perusahaan dan mendapatkan lebih banyak kandidat yang berkualitas. Secara internal, perusahaan fokus mengelola budaya dan ekspektasi karyawan agar dapat mempertahankan mereka. Kedua proses tersebut penting bagi perusahaan untuk mempertahankan sumber daya manusia yang berkualitas dan sesuai dengan misi, visi, dan values perusahaan.

Referensi

Referensi Adams, B. (2022, Feb 8). Make Your Employer Brand Stand Out in the Talent Marketplace. Harvard Business Review from https://hbr.org/2022/02/make-your-employer-brand-stand-out-in-the-talent-marketplace Aldousari, A. A., Robertson, A., Yajid, M. S. A., & Ahmed, Z. U. (2017). Impact of employer branding on organization’s performance. Journal of Transnational Management, 22(3), 153–170. doi: 10.1080/15475778.2017.1335125 Backhaus, K., & Tikoo, S. (2004). Conceptualizing and researching employer branding. Career Development International, 9(5), 501-517. David, T. (2017, Nov 13). 29 Surprising Stats on Employer Branding – Infographic. From CareerArc: https://www.careerarc.com/blog/employer-branding-study-infographic/ Markos, S. (2010). Employee Engagement: The Key to Improving Performance. International Journal of Business and Management, 5(12), 89-96. From https://www.auxiliumadviesgroep.nl/files/visuals/onderzoek_marc_artikel_actueel.pdf

3 KONTRAK YANG MEMPENGARUHI EMPLOYEE EXPERIENCE

Proses Onboarding merupakan salah satu peluang pertama dalam memberikan kesan yang baik tentang perusahaan. Ini adalah touchpoint awal karyawan berinteraksi dengan perusahaan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BambooHR (2018), 31% karyawan baru meninggalkan pekerjaan mereka dalam kurun waktu enam bulan, yang disebabkan oleh kurang optimalnya proses orientasi karyawan baru.

(BACA JUGA: Elemen Employee Experience: Employee Journey & Employee Touchpoint)

Untuk mempertahankan karyawannya, manajemen perlu memahami ekspektasi karyawan dari awal mereka bergabung dengan perusahaan. Maylett, dkk. (2017) menjelaskan bahwa terdapat tiga kontrak yang mempengaruhi Employee Experience. Berikut penjelasannya:

 

The Brand Contract

The Brand Contract merupakan kontrak pertama yang berhubungan dengan karyawan. Brand Contract didefinisikan sebagai semua janji tersirat yang ditujukan untuk semua orang yang berhubungan dengan brand. Kontrak ini memainkan peran penting dalam mengelola keinginan calon karyawan baru untuk bergabung dengan organisasi Anda. Salah satu bentuk nyata Brand Contract adalah Employee Value Proposition.

Jika perusahaan memiliki segmentasi pelanggan berusia muda dan berkarakteristik trendi, setidaknya perusahaan harus menarik karyawan semacam itu juga. Fasilitas, manfaat, dan reputasi merupakan sebagian aspek yang digunakan untuk menciptakan suasana tersebut. Brand Contract Anda, baik yang berlaku di seluruh organisasi atau di dalam tim Anda sendiri, harus sejalan dengan pelanggan yang dilayani, talenta yang ingin ditarik, dan jenis layanan atau produk yang ingin diberikan.

 

The Transactional Contract

Jika Brand Contract bersifat intangible, Transactional Contract bersifat tangible. Transactional Contract adalah perjanjian yang diterima bersama, timbal balik, dan eksplisit antara dua entitas atau lebih yang mendefinisikan ketentuan operasi dasar hubungan. Pada umumnya kontrak ini berupa tulisan (dokumen kontrak), ataupun lisan. Sederhananya, kontrak ini berisikan janji perusahaan atas kompensasi terhadap pekerjaan dan dedikasi karyawan.

Dalam membuat Transactional Contract, perusahaan perlu memerhatikan dua faktor berikut:

  1. Berwawasan ke depan dan antisipatif. Transactional Contract ditawarkan sebagai syarat kerja dan harapan untuk masa depan. Ini adalah titik awal yang ditandai secara resmi.
  2. Syarat, ketentuan, persyaratan, dan reward. Transactional Contract adalah satu-satunya dari tiga subkontrak yang harus sepenuhnya sepenuhnya eksplisit. Oleh karena itu, perusahaan perlu mendefinisikannya secara jelas dan lugas.

 

The Psychological Contract

Jika Brand Contract dan Transactional Contract membahas harapan karyawan yang biasanya jelas dan terbuka, sebaliknya, Psychological Contract adalah tentang harapan lainnya yang seringkali bersifat terselubung dan tidak jelas. Beberapa hal yang tersembunyi di dalam hati karyawan adalah ide, harapan, dan impian yang benar-benar mendefinisikan diri karyawan. Dengan kata lain, Psychological Contract merupakan seperangkat harapan dan kewajiban yang tidak tertulis dan implisit yang mendefinisikan ketentuan pertukaran dalam suatu hubungan

Tantangan pemimpin dalam mengimplementasikan Psychological Contract adalah pada memahami dan mengelola sesuatu yang bergantung pada elemen-elemen seperti perasaan, persepsi, budaya, ingatan, dan dinamika kognitif lainnya. Faktor-faktor ini biasanya sulit didefinisikan atau diukur. Meski organisasi memiliki Employee Value Proposition yang menarik, reputasi yang hebat (Brand Contract), dan setumpuk kontrak karyawan (Transactional Contract), tetapi tanpa Psychological Contract, perusahaan tidak akan tahu apakah karyawan puas dan memiliki harapan yang selaras dengan tujuan perusahaan.

 

Kontrak memperjelas harapan, baik dari sisi karyawan maupun organisasi. Tanpa memahami ketiga kontrak ini, masing-masing dapat menimbulkan kesalahpahaman dan miskomunikasi. Memahami keberadaan kontrak merupakan salah satu cara untuk meningkatkan ekspektasi masing-masing pihak. Dengan demikian, Employee Experience yang didesain dapat lebih tepat sasaran sesuai dengan nilai perusahaan dan aspirasi karyawannya.

(BACA JUGA: 5 Atribut untuk Mendesain Employee Experience)

 

Referensi:

Maylett, T., Wride, M. Patterson, K. (2017). The Employee Experience How to Attract Talent, Retain Top Performers, and Drive Result. Wiley
https://www.reworked.co/employee-experience/improve-your-onboarding-for-a-better-employee-experience/
https://teambuilding.com/blog/employee-turnover-statistics

5 Atribut untuk Mendesain Employee Experience

Persepsi karyawan terhadap perusahaan tercipta dari serangkaian pengalaman yang dilalui selama berada di dalam perusahaan. Survei IDC (2021) menemukan bahwa 85% responden setuju bahwa Employee Experience (EX) yang positif dan Employee Engagement yang tinggi akan menghasilkan Customer Experience (CX) yang lebih baik. Dalam praktiknya, EX bukan hanya tentang milestone Sumber Daya Manusia (seperti: rekrutmen, onboarding, perkembangan karier, dan pensiun), tetapi EX adalah tentang bagaimana setiap persepsi yang dimiliki karyawan dalam menghadapi tanggung jawab, interaksi, dan hubungan antara pekerjaan dan kehidupan mereka sehari-hari.

(BACA JUGA: MENCIPTAKAN PUSAT EMPLOYEE EXPERIENCE)

Menurut IBM (n.d.), fokus untuk mendesain EX menjadi lebih penting dari sebelumnya. Beberapa ahli mengangkat topik-topik EX, seperti mengaitkan EX dengan budaya organisasi, mendorong komunitas yang kolaboratif, serta membangun nilai dan tujuan di dalam pekerjaan. Hal ini didorong oleh beberapa tren yang muncul, seperti:

  • War of talent yang sedang berjalan semakin sengit. Perusahaan-perusahaan mulai menyadari pentingnya untuk mempertahankan talenta terbaik mereka.
  • Pola pikir generasi milenial mempengaruhi seluruh lingkungan kerja. Mereka memiliki ekspektasi terhadap fleksibilitas, penggunaan alat/teknologi untuk bekerja, dan membutuhkan umpan balik kinerja yang lebih baik.
  • Karyawan menginginkan pengalaman yang sama seperti pelanggan mereka, seperti teknologi yang lebih sederhana, kemampuan untuk membagikan pendapat, dan akses ke pembuat keputusan.
  • Organisasi mulai mengenali keterkaitan antara EX dan CX. Banyak peneliti menemukan bahwa perusahaan yang menawarkan CX yang positif juga memiliki lingkungan kerja di mana karyawan dapat mengerjakan pekerjaan mereka secara efektif.
(BACA JUGA: TEKNOLOGI DALAM PEKERJAAN)

Pengalaman perlu didesain dengan intensitas dan tipe yang berbeda-beda agar karyawan menjadi lebih fokus pada apa yang baik dan tidak mendapatkan informasi yang berlebihan. Dalam bukunya, Rossman & Duerden (2019) memberikan lima atribut untuk mendesain sebuah pengalaman:

  1. Frequency and Impact

    Di dalam perjalanan karier, karyawan akan lebih sering mengalami pengalaman yang tidak bermakna daripada pengalaman yang transformasional. Untuk merancang pengalaman yang baik, diperlukan kemampuan untuk menentukan takaran yang tepat tentang kapan frekuensi dan dampak digunakan. Perlu digarisbawahi juga bahwa frekuensi dan dampak memiliki hubungan yang terbalik. Semakin besar frekuensi, semakin kecil dampaknya, begitu pula sebaliknya.

  1. Novelty (kebaruan)

    Tingkat kebaruan sangat terikat dengan frekuensi. Semakin sering kita melakukan sesuatu, semakin jarang kita menaruh perhatian terhadap hal itu. Itulah mengapa pengalaman dapat berubah seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, kebaruan dibutuhkan untuk membuat pengalaman menjadi lebih menarik.

  1. Engagement (keterlibatan)

    Setiap pengalaman membutuhkan perbedaan tingkat keterlibatan setiap peserta. Tingkat keterlibatan ini dibedakan menjadi tiga fase, yaitu:

    • Fase 1: individu menjadi sadar dan memerhatikan pengalamannya.
    • Fase 2: individu mulai memikirkan dan menyiapkan respon atas pengalamannya.
    • Fase 3: individu merespon dan mempertahankan keberlangsungan pengalamannya.

    Ketika karyawan masuk dalam fase ketiga, maka mereka akan benar-benar terlibat (engage).

  1. Required Energy

    Setiap pengalaman memiliki “biaya” emosional, mental, dan fisik untuk partisipasinya. Saat berpartisipasi dalam pengalaman yang memiliki dampak tinggi, biasanya kita membutuhkan waktu “istirahat” untuk memproses dan memaknai pengalaman tersebut. Dalam penelitian Duerden (2012), ditemukan bahwa pertukaran pelajar membutuhkan waktu lebih untuk beristirahat dan mencerna pengalaman lintas budaya untuk benar-benar memaknai pengalamannya. Di sisi lain, pelajar yang tidak memiliki waktu untuk memproses pengalaman tersebut cenderung melewatkan pengenalan akan dampak pengalaman tersebut di dalam hidup mereka. Oleh karena itu, perusahaan perlu mengidentifikasi energi yang dibutuhkan di setiap pengalaman yang didesain.

  1. Results

    Pengalaman yang baik memerlukan tujuan atau hasil yang spesifik. Sering kali terdapat ekspektasi yang tidak realistis atas pengalaman sehingga menimbulkan kekecewaan. Seligman dalam bukunya “Authentic Happiness,” ada dua kategori hasil pengalaman yang positif, yaitu kesenangan dan kepuasan.

Dampak EX yang sesungguhnya terbentuk ketika karyawan merasa dihargai dan terkoneksi dengan perusahaan. Hal tersebut berarti bahwa EX adalah tentang sebuah maraton, bukan sprint. Tugas seorang pemimpin adalah membuat maraton tersebut menarik bagi karyawannya. Pada akhirnya, organisasi akan memperoleh dampak positif berupa tingkat retensi yang lebih baik sehingga berdampak pada peningkatan profitabilitas.

(BACA JUGA: SUASANA DAN RASA DI TEMPAT KERJA)

Referensi:

Rossman, J. & Duerden, M. (2019). Designing Experiences. Columbia Business School Publishing
https://www.forbes.com/sites/forbescommunicationscouncil/2022/02/08/how-to-design-an-amazing-employee-experience/?sh=6d5901911f7b
https://www.ibm.com/downloads/cas/zend5pm6

LIMA MANFAAT KOLABORASI DI TEMPAT KERJA

Kolaborasi merupakan praktik kerja di mana setiap individu bekerja sama dengan menggunakan kemampuan dan pengetahuannya untuk mencapai satu tujuan yang sama. Saat ini, kolaborasi dapat diwujudkan dengan dua cara yaitu, sinkronus dan asinkronus. Sinkronus artinya setiap orang berinteraksi secara real-time, seperti rapat online, pesan instan, atau zoom, sedangkan asinkronus merupakan interaksi yang dilakukan secara tidak real-time, misalnya karyawan dapat berinteraksi atau berdiskusi melalui platform tertentu, antara lain chat atau forum. Meskipun terlihat sepele, kolaborasi dapat memberikan dampak yang signifikan kepada perusahaan. Penelitian Zippia (2022) menyatakan bahwa perusahaan yang memprioritaskan kolaborasi di tempat kerja, memiliki tingkat kinerja lima kali lebih tinggi daripada perusahaan yang tidak memprioritaskan kolaborasi.

Berikut beberapa manfaat lain dari lingkungan kerja kolaboratif:

  1. Problem-solving

    Karyawan mungkin membutuhkan bantuan dari rekan kerjanya dalam menyelesaikan suatu masalah, bahkan dari divisi lain. Dengan berdiskusi, bertukar pikiran, dan meminta pendapat dari rekan kerja, bahkan tim, karyawan bisa mendapatkan pencerahan yang digunakan sebagai solusi masalah yang ada.

  1. Komunikasi yang terbuka

    Kolaborasi mendorong setiap anggota dalam tim untuk berkomunikasi dalam bentuk bertukar pikiran, brainstorming, dan menyampaikan pendapat. David Hassel mengatakan: “mempertahankan komunikasi langsung yang teratur dengan anggota tim membantu perusahaan memperoleh wawasan tentang cara operasi setiap departemen sehingga dapat menyelesaikan masalah dengan cepat.” Selain itu, komunikasi membuat hubungan karyawan menjadi lebih dekat satu dengan yang lain.

  1. Skill-sharing

    Kolaborasi dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan keterampilan antarkaryawan dengan berbagi pengalaman atau pengetahuan. Karyawan harus meminta umpan balik, pendapat, berbagi pengetahuan, dan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang cara kerja rekan mereka. Belajar dari rekan kerja bukan hanya manfaat dari kolaborasi, namun ini adalah langkah pertama membangun budaya kerja yang berpusat pada learning and development.

  1. Pencapaian tujuan

    Karyawan perlu bekerja sama dengan rekan kerja mereka untuk mencapai tujuan individu maupun perusahaan. Dengan kolaborasi, hubungan antarkaryawan akan dipererat sehingga memiliki rasa kepemilikan yang sama dalam mencapai sebuah tujuan tertentu.  Untuk mencapainya, karyawan dapat menggabungkan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga tujuan lebih mudah diraih. Oleh karena itu, pemimpin perlu menyelaraskan tujuan sehingga setiap anggota memiliki pandangan dan tujuan yang sama.

  1. Peningkatan keterlibatan

    Kolaborasi mampu meningkatkan hubungan antarkaryawan sehingga karyawan merasa nyaman dan puas dalam bekerja. Rasa nyaman membuat karyawan merasa lebih bebas menyampaikan pendapat serta ide yang menjadi salah satu bentuk keterlibatan. Di sisi lain, keterlibatan mampu meningkatkan aspek bisnis lainnya, seperti peningkatan produktivitas, profitabilitas, retensi, serta kebahagiaan karyawan.

Membangun kolaborasi menjadi salah satu tantangan bagi HR leaders karena tren kerja jarak jauh menyebabkan karyawan harus berinteraksi secara tidak langsung. Untuk mengatasi fenomena ini, HR leaders dapat memanfaatkan beberapa platform komunikasi secara rutin, seperti Zoom, Googlemeet, dan Skype. Selain itu, HR leaders dapat meluangkan waktu singkat untuk melakukan brainstorming bersama anggota tim sehingga karyawan dapat membangun hubungan dengan berbagi ide atau pandangan.

Referensi:

https://www.zippia.com/advice/workplace-collaboration-statistics/
https://hbr.org/2007/11/eight-ways-to-build-collaborative-teams
https://www.beekeeper.io/blog/benefits-collaboration-business/
https://americassbdc.org/8-reasons-to-consider-collaborating-with-another-small-business/
https://blog.jostle.me/blog/why-collaboration-is-important
https://blog.flock.com/benefits-team-collaboration-work

TIGA KESALAHAN UTAMA DALAM PROGRAM
DIVERSITY, EQUITY, & INCLUSIVITY

Diversity, Equity, dan Inclusivity (DEI) menjadi fokus di tempat kerja sejak beberapa tahun belakangan ini. Penelitian McKinsey (2021) menunjukkan bahwa 51% alasan karyawan meninggalkan pekerjaannya adalah karena kurangnya rasa memiliki atau engaged terhadap perusahaan. Alasan ini lebih sering didapati pada karyawan yang identitasnya kurang terwakili di perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan perlu meningkatkan engagement dengan cara menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh karyawannya.

Diversity

Diversity (keberagaman) merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Perbedaan di dalam keberagaman meliputi perbedaan sosial secara horizontal, seperti ciri fisik, etnis, ras, agama, gender, bahasa, hingga kewarganegaraan, dan juga perbedaan secara vertikal, seperti status sosial maupun ekonomi. Perbedaan ini sering kali sulit diubah dan tidak dapat dipisahkan dari setiap individu. Karena itu, perbedaan di antara setiap karyawan perlu dihargai.

Perusahaan sendiri ingin menciptakan keberagaman di tempat kerja dengan tujuan membangun beragam perspektif yang mampu mendorong kreativitas dan inovasi. Selain itu, karyawan yang merepresentasikan berbagai kelompok dari target pasar juga dapat memberikan wawasan yang berharga bagi bisnis yang lebih kompetitif dan menguntungkan. Dalam hal koneksi maupun keterampilan bahasa lokal, kepekaan budaya dapat mendorong perkembangan bisnis di tingkat lokal hingga internasional secara cepat. Dengan demikian, strategi pemasaran dapat didesain lebih akurat untuk menyasar target tertentu.

Equity

“Equity,” dalam Bahasa Indonesia berarti keadilan atau kewajaran. Menurut Universitas IOWA, equity merupakan praktik dan peraturan yang adil serta tidak memihak sehingga memberikan kesempatan yang sama bagi setiap individu. Untuk mencapai kesetaraan dan mempromosikan rasa saling menghargai, perusahaan biasanya menjalankan program DEI, seperti penggunaan survei anonim sehingga mendorong karyawan mempertanyakan apapun yang ada di pikiran mereka dengan tujuan menciptakan pemahaman terhadap perspektif dan preferensi kelompok yang beragam. Survei semacam ini akan membantu karyawan dari berbagai latar belakang untuk membantu mengatasi rasa takut salah dalam bertindak.

Inclusivity

Inclusivity merupakan praktik untuk memastikan bahwa karyawan mempunyai rasa memiliki di tempat kerja. Secara sederhana, inklusif juga dapat diartikan sebagai kerendahan hati atau kesederhanaan. Faktanya, semua orang ingin mengakui bahwa mereka memilikinya, namun sesungguhnya tidak. Menurut survei Delloitte (2017), 80% karyawan mempertimbangkan inklusivitas sebagai faktor penting dalam memilih perusahaan.

Menciptakan tempat kerja yang inklusif sangat berbeda dari hanya sekadar menciptakan budaya perusahaan yang beragam. Keberagaman di tempat kerja bisa dicapai dengan memiliki karyawan dari berbagai jenis kelamin, ras, dan etnis, namun inklusif berbicara tentang menghilangkan bias yang tidak disadari di lingkungan kerja. Jika inklusivitas dapat dicapai, karyawan akan merasa diikutsertakan terlepas dari siapa atau sebagai apa mereka mengidentifikasi dirinya.

Dalam rangka meningkatkan budaya DEI di tempat kerja, program yang dirancang dan diimplementasikan dengan efektif merupakan kunci utamanya. Meski sudah memberikan investasi yang cukup signifikan, banyak organisasi terjebak dalam kesalahan yang sama. Menurut McKinsey, berikut tiga kesalahan utama organisasi dalam membangun budaya DEI:

  1. Terlalu fokus pada peningkatan awareness, tetapi melupakan objektif yang lebih luas.

    Organisasi biasanya memulai program pelatihan DEI dengan serangkaian topik pengenalan atas isu-isu DEI. Memang program ini memberikan sense of awareness bagi karyawan, tetapi tidak ada aksi yang nyata akan terwujud jika hanya melalui sesi-sesi tersebut. Untuk mengatasi hal ini, organisasi perlu memberikan program lanjutan.

    Setelah sesi pelatihan, mulai pahami perilaku yang akan diubah dan bagaimana perilaku saat ini memengaruhi pengalaman inklusi. Untuk mendapatkan wawasan dengan lebih akurat, perusahaan dapat melaksanakan survei karyawan tentang penilaian inklusi yang komprehensif atau melalui wawancara dengan tujuan agar memahami kesenjangan saat ini. Setelah itu, tentukan prioritas terbesar dan gabungkan umpan balik tersebut dengan program DEI yang dirancang khusus untuk mengajarkan perilaku agar lebih inklusif.

  1. Memaksa semua karyawan menghadiri setiap pelatihan DEI secara mandatori.

    Kewajiban menghadiri pelatihan biasanya merupakan strategi organisasi untuk mengajak setiap karyawan memahami pentingnya mempromosikan DEI di tempat kerja. Dengan menggunakan kehadiran sebagai Key Indicator Performance (KPI), karyawan akan merasa hak pilih mereka berkurang. Peserta yang merasa dipaksa untuk terlibat dalam topik DEI mungkin merasa kesal dan tidak dapat menyerap materi dengan baik.

    Beberapa program mungkin wajib dihadiri untuk beberapa peran tertentu, tetapi beberapa pelatihan DEI lainnya mungkin dapat didesain sebagai kehadiran opsional. Tujuannya adalah untuk menciptakan kebebasan partisipasi pada program lainnya. Daripada menggunakan kehadiran sebagai KPI, perusahaan dapat mengevaluasi keberhasilan berdasarkan dampak dan perubahan perilaku yang terukur.

  1. Menggunakan pendekatan business-as-usual sehingga fokus berkurang pada perubahan dari sisi kemanusiaan.

    Membahas kesetaraan dan inklusi terkadang bisa menjadi rumit dan tidak nyaman, namun organisasi sering merancang program yang minim interaksi dan tidak didukung oleh fasilitator yang mumpuni. Selain itu, waktu untuk melakukan eksplorasi dan mempraktikkan perilaku DEI juga tidak dialokasikan dengan cukup. Karyawan hanya diinformasikan bahwa mereka perlu berubah, tanpa ada diskusi dan eksplorasi mendalam tentang bagaimana perubahan perilaku dapat memberikan manfaat bagi orang lain dan pengalaman mereka sendiri.

    Organisasi perlu merancang sesi yang lebih singkat dalam frekuensi yang sering untuk memberikan ruang refleksi, diskusi, dan berlatih dalam kelompok kecil. Sesi mikro ini dapat mempertahankan momentum tanpa membebani audiens. Di sisi lain, organisasi juga harus menemukan fasilitator yang memiliki pengetahuan mendalam tentang DEI, bersedia berbagi pengalaman, dan mampu menciptakan ruang yang aman untuk refleksi yang rentan secara emosional.

Program membangun DEI mungkin terasa menantang dan kompleks, tetapi bukanlah tidak mungkin untuk dicapai. Program DEI yang sukses dapat mendorong pertukaran informasi yang lebih terbuka dan berani sehingga menghasilkan engagement yang lebih tinggi dan mengubah budaya organisasi. Dengan mengetahui kesalahan umum yang sering dilakukan, organisasi dapat selangkah lebih maju dalam mencapai keberhasilan membangun budaya yang lebih beragam, setara, dan inklusif.

 

Referensi:

https://www.hult.edu/blog/benefits-challenges-cultural-diversity-workplace/
https://www.qualtrics.com/au/experience-management/employee/dei/
https://www.mckinsey.com/business-functions/people-and-organizational-performance/our-insights/the-organization-blog/dont-train-your-employees-on-de-and-i-build-their-capabilities
https://diversity.uiowa.edu/resources/dei-definitions
https://www.snapcomms.com/blog/diversity-program-ideas
https://blog.vantagecircle.com/inclusion-at-the-workplace/