Istilah yang sering digunakan dalam pengembangan budaya perusahaan adalah transformasi, yang merujuk pada makna perubahan menyeluruh dan fundamental. Seperti pada umumnya, pasti ada pihak yang menyambut perubahan dengan baik, ada juga yang resah, bahkan menolak. Pertama, kita harus mengakui bahwa tidak semua orang akan cocok dengan budaya yang dibangun. Beberapa akan gugur sebelum bergabung, sebagian lagi bisa rontok dalam proses transformasi tersebut. Namun, harus kita pahami bahwa selain sebagai pengikat, budaya sejatinya memiliki sebuah fungsi sebagai filter. Ya, sebagai penyaring! Mereka yang tidak sesuai dengan budaya dan nilai-nilai yang dibangun, akan terpisah dari mereka yang selaras.
Model pengembangan budaya disebut dengan kerangka kerja 4R, yang digunakan dalam membangun budaya perusahaan yang relevan secara sistematis. 4R adalah kepanjangan dari Rephrase, Reach, Rituals dan Rules, berikut penjelasannya:
- REPHRASE
Tahap kita menetapkan tolok ukur keberhasilan, menerjemahkan budaya yang diinginkan ke dalam pernyataan nilai-nilai inti (core values), dan mengenali citra manajemen. Identifikasi citra manajemen dalam benak para karyawan perlu dilakukan untuk mengukur jarak antara karakter personal para pemimpin dengan budaya yang akan dibangun. Jika jarak yang ditemukan terlalu jauh, maka akan semakin banyak pula tugas yang harus dilakukan. Rephrase adalah satu-satunya fase yang wajib dilakukan di awal, sebagai permulaan keseluruhan program kerja pengembangan budaya kita. Namun ketiga R selanjutnya dapat kita laksanakan secara paralel sesuai dengan kapasitas dan prioritas masing-masing perusahaan.
- REACH
Setelah kita mengidentifikasi core values dan perilakunya, kini tugas berikutnya adalah mengomunikasikannya. Hal ini penting karena kita tahu bahwa sebuah perilaku dapat terbentuk jika kita terus-menerus menyampaikannya. Kami selalu mengatakan bahwa tahap ini kurang lebih sama dengan filosofi pemasaran; dalam pemasaran kita mempersuasi konsumen untuk beralih pada produk kita. Intinya adalah mengubah perilaku orang lain dengan persuasi. Demikian juga, kita mengomunikasikan nilai-nilai inti (core values) dan perilaku yang diinginkan dalam perusahaan. Mengomunikasikan nilai-nilai inti ini tentu membutuhkan strategi yang tepat, media yang relevan, dan komunikator yang efektif. Mengapa 3 hal ini penting dalam mengomunikasikan nilai inti kita? Karena budaya bukan milik satu level atau unit tertentu saja, kita ingin seluruh komponen perusahaan dapat merefleksikan nilai-nilai inti dalam setiap kegiatannya. Karena itu, setiap level dan unit bisa saja membutuhkan pendekatan yang berbeda.
- RITUALS
Sebuah budaya tidak bisa dilepaskan dari rangkaian aktivitas yang secara konsisten dilakukan secara berkala. Ini yang disebut dengan ritual. Ritual selain memiliki fungsi untuk mengaktifkan nilai-nilai inti, juga sebagai kegiatan monumental yang menjadi pengingat.
Ritual juga menjadi penanda bahwa budaya itu ada untuk menunjukkan:
- apa yang kita anggap penting
- apa yang kita hargai
- apa yang kita ingin semua orang miliki
Aktivitas yang dapat dijadikan ritual contohnya: pelatihan, induksi, perayaan, pertemuan-pertemuan, dan masih banyak lagi. Selanjutnya, bagaimana ritual diterjemahkan menjadi berbagai kegiatan menarik yang akan mengernyitkan dahi para pemimpin bisnis yang masih berpola pikir konservatif.
- RULES
Sebuah budaya pasti memiliki norma. Norma berbicara tentang apa yang boleh dan tidak boleh, apa yang pantas dan yang tidak. Sebagaimana sebuah norma, ada yang dituangkan secara tertulis dalam peraturan, namun ada juga yang tidak tertulis. Norma juga menunjukkan standar kepantasan, misalnya pria berumur 30 tahun seharusnya sudah memiliki pekerjaan tetap. Demikian juga dalam konteks budaya perusahaan, apa standar kepantasan yang semestinya diraih seseorang jika sebuah nilai inti benar-benar terwujud dalam aktivitasnya? Outcome dari RULES adalah peraturan, prosedur, target pekerjaan, dan berbagai management tools yang banyaknya lagi-lagi akan disesuaikan dengan kapasitas dan prioritas masing-masing perusahaan.