PERAN PEMIMPIN DALAM MEMBENTUK BUDAYA PERUSAHAAN

Setiap hari pemimpin memiliki kemampuan untuk meningkatkan atau menghancurkan organisasinya. Melalui tindakan dan keputusan mereka, para pemimpin mengatur nada untuk budaya perusahaan. Tetapi seberapa berhargakah kepemimpinan efektif yang terkait dengan keberhasilan suatu perusahaan? Sebuah studi kepemimpinan yang dilakukan oleh Deloitte, berusaha mengungkapkan hal itu dengan mengukur secara kuantitatif kepemimpinan dalam hal ekuitas jangka panjang bagi suatu organisasi.

Untuk melakukan penelitian, Deloitte meminta analis untuk mengevaluasi kepemimpinan melalui kacamata tiga tanggung jawab utama: (i) menetapkan arah, (ii) melaksanakan strategi, dan (iii) menciptakan lingkungan untuk inovasi. Ditemukan bahwa kualitas kepemimpinan senior memiliki dampak yang terukur apakah perusahaan akan berhasil.

Rata-rata, organisasi yang dianggap memiliki kepemimpinan yang tidak efektif berada pada diskon ekuitas 19%. Perusahaan dengan kepemimpinan yang efektif, di sisi lain, memperlihatkan premi ekuitas hingga 15%. “Kami melihat kualitas manajemen [perusahaan] dan rekam jejak orang-orang yang memimpinnya dan apa yang telah mereka lakukan di masa lalu. Dapat dikatakan bahwa mereka mampu menambah 25-30% lagi nilai perusahaan,” kata seorang responden. Menurut analis, efektivitas kepemimpinan senior lebih penting daripada perkiraan pendapatan dan analisis rasio. Dan salah satu faktor terbesar yang dapat menghambat kemampuan pemimpin untuk secara efektif mendorong hasil adalah gagal dalam menyelaraskan, bertindak, atau menjunjung tinggi nilai-nilai organisasi.

Budaya, kepemimpinan, dan strategi adalah tiga serangkai yang diperlukan untuk hubungan kerja yang efektif dan mengarahkan organisasi menuju kesuksesan. Kepemimpinan dan budaya dapat memberikan keunggulan yang kompetitif bagi organisasi jika dapat dikoordinasikan dengan baik. Sebaliknya, kepemimpinan yang buruk dapat memperkuat nilai-nilai, perilaku, dan sikap yang salah, menciptakan gangguan yang dapat membentuk budaya beracun, serta menciptakan perselisihan antara citra dan operasional organisasi.

Di bawah ini adalah tiga hal utama yang mencerminkan perpaduan antara pemimpin dan budaya merupakan hal terpenting:

  • Seorang pemimpin perlu menyelaraskan diri dengan budaya dan model perilaku yang diinginkan

    Budaya organisasi tidak selalu “benar”, namun pendekatan seorang pemimpin juga tidak bisa salah. Perilaku pemimpin menentukan nada bagi organisasi. Nilai-nilai pemimpin, tindakan, dan pengembangan tim mereka perlu secara nyata memperkuat budaya organisasi. Melalui contoh yang mereka tetapkan, para pemimpin membentuk budaya dalam kata-kata dan tindakan mereka setiap hari. Tindakan ini kemudian menciptakan momentum melalui struktur dan kebijakan untuk membentuk cara karyawan beroperasi.

  • Seorang pemimpin perlu memahami kecocokannya dalam budaya dan menggunakan kesadaran itu untuk mendorong perubahan positif

    Beberapa pemimpin cenderung “mengikuti arus,” memanfaatkan saluran yang ada untuk menyelesaikan sesuatu. Yang lain cenderung bergerak di luar proses tradisional, memanfaatkan nilai atau perilaku yang berbeda untuk mencapai hasil. Para pemimpin yang menyadari tempat mereka dalam budaya yang ada mampu lebih efektif mendorong perubahan. Seorang pemimpin yang efektif menggunakan kesadaran diri ini untuk menginformasikan pendekatan yang disengaja ke arah pengambilan keputusan sehari-hari, mengarahkan bahwa setiap tindakan membentuk budaya di tempat mereka beroperasi.

  • Seorang pemimpin perlu terhubung dengan hati dan pikiran karyawan, serta selaras dengan tujuan bersama

    Seperti yang dibahas dalam pemikiran kepemimpinan yang ditampilkan di situs web CulturePath Deloitte, emosi adalah kekuatan pendorong dibalik perilaku manusia, lebih dari sekadar perhitungan rasional. Untuk membentuk dan mempertahankan budaya organisasi, para pemimpin perlu terhubung dengan sisi emosional tenaga kerja, menciptakan tujuan dan motivasi bersama.

 

Referensi:

https://www.chpso.org/post/role-leadership-shaping-culture

https://www.linkedin.com/pulse/role-leadership-shaping-organizational-culture-momen

https://qz.com/839382/three-ways-leaders-should-shape-culture/

DIMENSI DAN ELEMEN BUDAYA PERUSAHAAN

Edgar Schein menganalogikan budaya perusahaan sebagai gunung es, yang tampak hanya sebagian dari keseluruhan aspeknya. Apa yang kita lihat saat berinteraksi, poster-poster, dan kata-kata mutiara yang ditunjukkan di kantor merupakan sebagian kecil penanda budaya. Dalam beberapa kasus, ini bahkan hanya retorika. Kebanyakan perusahaan akan menuliskan tentang integritas, kerja sama tim, dan orientasi mereka pada kepuasan pelanggan. Jargon-jargon ini penting, bahkan sangat penting, namun budaya tidak berhenti sampai di situ.

Schein membagi budaya organisasi ke dalam 3 level, yaitu:

  1. Visible – terlihat. Dimensi budaya yang terlihat ditandai dengan segala hal yang dapat kita lihat dan rasakan oleh indera seperti: jargon perusahaan, pernyataan nilai-nilai inti, anthem atau lagu identitas perusahaan, desain kantor, seragam, dan visualisasi akan nilai-nilai yang dianut seperti poster dinding yang berisi kutipan inspiratif. Hal-hal tersebut disebut juga dengan artefak, atau komponen-komponen visual yang menunjukkan keunikan identitas suatu budaya dibandingkan dengan budaya lainnya.
  1. Invisible – Tidak terlihat. Prinsip, nilai, dan persepsi akan benar atau tidaknya suatu sikap dalam organisasi. Dimensi ini ditandai dengan gaya bicara atau berkomunikasi, peraturan-peraturan tidak tertulis, kebiasaan maupun peraturan tertulis yang mengatur seputar etika dan sikap kerja. Pada dimensi ini pula, nilai-nilai inti perusahaan atau core values dijabarkan menjadi definisi yang lebih elaborative dan perilaku-perilaku kunci.

 

  1. Subconscious – Di bawah kesadaran. Dimensi ini yang paling sulit didefinisikan, bahkan terkadang tidak disadari oleh si pemilik budaya. Sering kali sudah menjadi pola pikir tanpa perlu dipertanyakan. Schein menyebut dimensi ini sebagai asumsi dasar atau paradigma yang dimiliki setidaknya oleh orang-orang yang berpengaruh dalam organisasi tersebut. Ketidaksadaran ini menjadi sumber lahirnya visi, nilai, dan seluruh atribut budaya. Contoh asumsi dasar yang dimaksud seperti pandangan terhadap manusia atau karyawan. Beberapa orang melihat manusia sebagai entitas yang cenderung menyimpang jika tidak dikelola dengan keras. Sebagian lainnya melihat manusia sebagai entitas yang cenderung melakukan kebaikan, penuh potensi, dan memiliki naluri positif tanpa harus dikerasi.

Sekalipun budaya sering kali lahir tanpa terencana, pada dasarnya mereka terbentuk dari elemen yang sama. Yang menjadi tugas kita dalam mengembangkan budaya perusahaan adalah menyelaraskan semua elemen ini secara sistematis sesuai dengan budaya yang ingin kita bangun. Ada beberapa pendapat mengenai elemen yang mempengaruhi budaya, berikut ini adalah elemen inti yang menurut kami menjadi kunci dari budaya yang kuat:

  1. Tujuan (Purpose). Sering kali terdefinisikan dalam pernyataan visi dan misi. Untuk apa perusahaan atau organisasi ada? Perubahan apa yang ditawarkan oleh perusahaan ini? Atau, apa yang akan hilang dari dunia jika perusahaan ini berhenti beroperasi? Visi dan misi memberi arah yang jelas ke mana sebuah perusahaan bergerak, sekaligus sebagai dasar evaluasi apakah selama ini kita melakukan hal yang tepat. Visi dan misi yang jelas juga memberikan fokus pada apa yang penting dan tidak. Tanpa kejelasan visi dan misi sebagai panduan, sebuah perusahaan akan kehilangan identitasnya.
  1. Nilai-nilai inti (Core values). Tidak hanya serangkaian kata-kata yang terpasang di dinding sebagai artefak, namun prinsip dasar mengapa setiap orang dalam perusahaan menunjukkan perilaku tertentu. Nilai-nilai ini akan berperan sebagai penuntun yang jelas jika dilaksanakan dengan konsisten, khususnya jika diteladankan oleh para pemimpin. Sebaliknya, pernyataan nilai-nilai inti akan menjadi bumerang jika para pemimpin perusahaan dinilai tidak menghidupi nilai-nilai tersebut. Nilai-nilai inti perusahaan menjabarkan sebuah perilaku mulai dari tataran idealisme hingga tindakan yang teramati.

 

  1. Komunikasi (Communication). Bagaimana sebuah harapan, standar, dan tujuan dikomunikasikan menjadi sangat penting dalam membangun budaya. Tidak hanya tentang isi, namun juga bagaimana pesan tersebut disampaikan. Cara kita memberikan respons atau menyampaikan sesuatu dapat dengan mudah membentuk sebuah perilaku tertentu. Misalnya respons negatif ketika menanggapi gagasan yang di luar kebiasaan cenderung akan mengurangi inisiatif dan menghambat keterbukaan. Komunikasi yang dimaksud melingkupi konteks normal maupun informal. Pembicaraan yang hanya terfokus pada pekerjaan juga cenderung tidak memperkuat empati dan bonding antar karyawan.

 

  1. Hubungan (Relationship). Menjadi elemen yang krusial karena kualitas hubungan adalah salah satu hal yang kita kelola dalam bekerja, baik dengan sesama karyawan (peer), atasan, bawahan, dan pelanggan. Relasi yang sehat membangun budaya yang sehat pula. Rasa memiliki akan visi, misi, dan nilai-nilai inti perusahaan lebih mudah merata jika hubungan interpersonal dalam perusahaan terjalin dengan baik. Sebaliknya, jika kualitas hubungan buruk, maka fenomena yang kontraproduktif akan muncul seperti ego-sektoral, persaingan yang destruktif, dan terbentuknya “suku-suku” kecil yang merasa memiliki musuh bersama.

 

  1. Komitmen Pemimpin (Leadership). Melakukan transformasi budaya sering kali berarti menambah kebiasaan baru tanpa komitmen sehingga hal ini akan dianggap membuang-buang waktu. Pada elemen ini penting bagi seorang pemimpin menunjukkan standar tentang apa yang relevan. Jika seorang pemimpin memberikan kesan bahwa program-program budaya tidak terlalu penting, maka karyawan juga akan memberikan bobot yang ringan sehingga kegiatan-kegiatan yang berkaitan dengan pengembangan budaya tidak menjadi prioritas.

PENGARUH BUDAYA ORGANISASI DALAM PENINGKATAN KINERJA

Mengapa repot-repot menaruh perhatian pada budaya perusahaan? Bukankah bagaimanapun budaya sudah terbentuk?

Beberapa pemimpin perusahaan datang dengan pernyataan “Budaya kantor saya kurang bagus, perlu diperbaiki dan saya tidak tahu caranya”. Seperti biasa pernyataan ini muncul bahkan sebelum kami berbicara tentang definisi budaya organisasi. Artinya mereka sudah memiliki pemahaman sendiri tentang budaya. Ketika kami bertanya apa yang dimaksud dengan ‘budaya yang kurang bagus’? Pada dasarnya mereka mengaitkannya dengan etos kerja, inisiatif, terobosan, dan rasa memiliki. Lalu apa yang akan terjadi jika karyawan memiliki semua sikap itu? Semua berujung pada pencapaian perusahaan.

Jadi, secara mendasar para pemimpin atau pemilik perusahaan percaya bahwa budaya erat kaitannya dengan peningkatan kinerja. Lalu, bagaimana dengan pekerja?

Seperti pada kasus wawancara di atas, seorang pencari kerja mengutamakan lingkungan kerja yang sehat dalam memilih perusahaan. Mengapa mereka tidak mengutamakan gaji? Alasannya karena mereka percaya lingkungan kerja yang baik dapat membuat mereka bekerja dengan baik pula. Lagi-lagi kesimpulannya adalah kualitas kinerja.

Namun, apakah persepsi ini benar? Benarkah budaya perusahaan yang baik akan membuat perusahaan semakin produktif?

Sebuah penelitian, yang dirilis oleh Forbes, menyatakan bahwa turnover pada perusahaan dengan budaya yang buruk adalah 48%, sedangkan pada perusahaan dengan budaya yang baik hanya sebesar 14%. Di sisi lain, Willis Tower Watson menemukan dalam penelitiannya bahwa biaya untuk mengganti karyawan dengan performa yang baik pada titik ekstrimnya bisa mencapai 200 kali gaji orang tersebut. Ke mana saja biaya itu keluar? Bayangkan proses rekrutmen yang terus menerus, produktivitas yang berkurang, waktu beradaptasi, dan gagasan yang terbuang, bahkan ide yang menjadi milik perusahaan lain.

Kembali kepada penelitian yang dirilis Forbes, pekerja yang bahagia 12% lebih produktif dibandingkan karyawan yang ‘biasa-biasa’ saja, sementara pekerja yang yang tidak bahagia produktivitasnya lebih rendah 10%. Pada penelitian yang sama, karyawan dengan engagement yang lebih kuat rata-rata membuat pendapatan perusahaan meningkat sebesar 28%.

Menurut Willis Towers Watson Studies, 50% perusahaan di dunia mengalami kesulitan untuk mempertahankan talenta-talenta terbaiknya. Penelitian hayes.com menyatakan bahwa 43% talenta yang mengajukan pengunduran diri, memiliki alasan yang berkaitan dengan budaya perusahaan, sementara hanya 12% yang mengundurkan diri karena upah.

Beberapa penelitian di atas hanya sebagian dari berbagai temuan akademis yang menunjukkan kaitan budaya dengan performa perusahaan. Richard Branson pernah mengatakan “Create a workplace and company culture that will attract great talent. If you hire brilliant people, they will make work feel more like play”, artinya penting bagi kita membangun budaya perusahaan yang mampu menarik talenta-talenta hebat karena mereka akan memberikan kinerja yang luar biasa.

Tony Hsieh, CEO Zappos yang sering disebut sebagai revolusioner dalam budaya perusahaan mengatakan “Good service comes naturally from employee who embraced the company culture” atau pelayanan prima akan tersampaikan secara tulus kepada pelanggan oleh karyawan yang mencintai budaya perusahaannya. Lain lagi dengan Brian Chesky, pendiri airbnb, yang sukses melakukan disrupsi di industri perhotelan. Ia menyatakan bahwa “A Company’s culture is the foundation for future innovation. An entrepreneur job is to build the foundation”, maksudnya bahwa budaya perusahaan adalah fondasi inovasi masa depan dan tugas seorang entrepreneur adalah membangun fondasi tersebut.

Dari penelitian dan pendapat para pemimpin bisnis di atas, menunjukkan bahwa pendapat budaya organisasi memberikan pengaruh pada pencapaian perusahaan memang benar adanya. Singkatnya dapat diilustrasikan dengan alur sebagai berikut:

Budaya yang baik membantu orang-orang dalam perusahaan untuk bekerja lebih baik, talenta yang mencintai budaya perusahaan akan memiliki engagement yang aktif sehingga dapat memberikan kinerja yang produktif. Kita sudah menyinggung bagaimana budaya yang kuat dapat menarik talenta hebat dan mempertahankannya. Lalu, bagaimana dengan individu yang sudah telanjur berada dalam perusahaan, namun tidak memiliki sikap kerja yang sesuai dengan budaya yang akan kita bangun?

APA ITU BUDAYA ORGANISASI?

Budaya organisasi adalah pola perilaku kolektif individu-individu di dalam organisasi. Pola di sini berbicara mengenai sesuatu yang mudah dikenali, terprediksi, dan selaras. Pola apa saja yang dimaksud? Setidaknya ada 6 pola perilaku dalam konteks budaya. Berikut ini penjelasan dan contohnya:

  1. Working Habit – Kebiasaan kerja. Contohnya: bagaimana sebuah perusahaan bekerja dengan menjunjung kolektivitas dan kolaborasi, sementara yang lain percaya kemandirian lebih sesuai untuk mencapai efektivitas.

  1. Problem Solving – Pemecahan masalah. Contohnya: beberapa perusahaan mengedepankan gut feeling atau intuisi, lainnya mengedepankan etika, beberapa perusahaan mengandalkan ketersediaan data dan fakta, sedangkan yang lainnya berorientasi pada masa depan.

  1. Decision Making – Pengambilan keputusan. Beberapa perusahaan memerlukan tahapan yang kompleks untuk mengambil keputusan, beberapa lainnya sangat terpusat, sementara organisasi lain memberikan otoritas di berbagai level untuk mengambil keputusan secara mandiri.

  1. Communication Style – Gaya komunikasi. Perusahaan konservatif khususnya di Indonesia memegang standar sopan santun dalam berbicara, seperti menyebut jabatan atau menggunakan bahasa baku, sementara di perusahaan lain, karyawan bisa leluasa menyebut atasannya dengan nama saja tanpa rasa sungkan. Termasuk dalam berkoordinasi, banyak perbedaan gaya yang diterapkan di berbagai perusahaan berbeda.

  1. Reward & Punishment – Imbalan dan hukuman. Berbicara mengenai apa yang dihargai dan apa yang tidak bisa diterima, beberapa perusahaan melihat bahwa lembur adalah hal yang biasa dan cenderung menyenangkan, sedangkan di perusahaan lain malah menetapkan denda jika ada karyawan yang lembur.

 

  1. Acceptance & Rejection – Hal-hal yang diterima dan ditolak. Berbicara mengenai sikap yang dapat diterima maupun yang tidak, seperti bicara berdasarkan asumsi. Topik-topik percakapan yang dapat diterima dan tidak, bahkan skala “kecurangan” yang dapat ditoleransi atau tidak.

Budaya organisasi menjadi sebuah tema hangat yang sangat banyak dibahas saat ini. Munculnya beberapa perusahaan multi jutaan dolar yang masih berusia muda menjadi salah satu penggelitiknya. Mereka membuat kantor yang “berwarna” dengan fleksibilitas yang tidak dimiliki oleh perusahaan konvensional pada umumnya. Membuat kantin gratis dan memperlengkapi kantor mereka dengan ruang bermain, menyediakan kapsul tidur dan ruang pertemuan lesehan, dan bahkan tanpa kantor!

Gagasan-gagasan ini bukan hal yang murah, dan bahkan tidak lumrah untuk kebanyakan perusahaan. “Bagaimana kapsul tidur dapat meningkatkan produktivitas?” Di sinilah kita harus melihat dari perspektif yang lebih komplit. Beberapa perusahaan buru-buru mengadopsi gaya tersebut, dengan investasi yang tidak sedikit mereka merancang kantor yang “kreatif” lalu mengendurkan peraturan-peraturan yang mereka miliki seperti membebaskan jam kerja, bahkan membudayakan power nap. Sayangnya pada beberapa perusahaan, keputusan ini tidak meningkatkan produktivitas, tidak merangsang inovasi, bahkan tidak berkorelasi dengan employee engagement.

Apa yang salah? Pada kenyataannya, budaya bukan hanya tentang kantor yang menarik dan indah yang disertai berbagai fasilitas yang mengikutinya. Budaya adalah hal yang tidak terlihat, kadang sulit dipahami, namun ia ada. Budaya yang mempengaruhi apakah orang dapat bekerja dengan optimal atau tidak, apakah mereka akan terinspirasi dari apa yang mereka kerjakan atau tidak, dan apakah mereka dapat memberikan kontribusi yang signifikan atau tidak. Jadi jelas, sekalipun lingkungan fisik merupakan faktor yang signifikan, tidak serta merta dapat kita gunakan untuk menilai sebuah budaya.

Kenyataannya, tidak ada organisasi yang tidak memiliki budaya. Semua organisasi apapun bentuknya, profit – non profit, formal – non formal, besar – kecil, pasti memiliki budaya. Yang menjadi krusial adalah apakah budaya yang dimiliki relevan terhadap tantangan bisnis? Apakah selaras dengan visi dan misi perusahaan? Apakah terdefinisi dengan baik? Dan yang paling penting, apakah budaya yang ada saat ini produktif dan membawa pertumbuhan yang signifikan baik dalam hal finansial dan skala perusahaan?

Google dan Apple diawali dari sebuah garasi sebelum membangun kantor yang “super”. Tetapi visi dan budaya mereka yang tidak tergoyahkan, sekalipun kantornya berubah seolah tempat rekreasi bagi beberapa orang. Jadi jelas bahwa setiap perusahaan memiliki budaya. Jadi, bagaimana Anda mendefinisikan budaya di perusahaan tempat Anda bekerja?

MEMBANGUN BUDAYA WIRAUSAHA DALAM PERUSAHAAN

Budaya wirausaha (entrepreneurial culture) dalam perusahaan adalah budaya yang menghargai inovasi dan mendorong pengambilan risiko. Pemilik bisnis memberi karyawannya kelonggaran untuk mengambil risiko dan mencoba hal-hal baru. Perusahaan dengan budaya wirausaha akan dapat beradaptasi pada perubahan dan aktif mengejar peluang baru di pasar.

Berikut adalah langkah-langkah untuk menciptakan budaya wirausaha dalam perusahaan:

  • Merekrut karyawan yang berambisi tinggi

    Orang-orang dengan ambisi tinggi cenderung haus pengalaman dan melihat peluang di pasar yang tidak dilihat orang lain.

  • Membuat karyawan merasa seperti rekan

    Berikan semua orang di perusahaan kesetaraan dan motivasi mereka untuk melihat perusahaan sebagai perusahaan mereka sendiri.

  • Mendorong dan memberdayakan karyawan

    Berdayakan karyawan dengan tanggung jawab lebih dan dorong mereka untuk membuat keputusan sendiri. Berikan penghargaan pada mereka jika membuat keputusan yang bagus dan gunakan kesalahan mereka sebagai pelajaran.

  • Terbuka pada kegagalan-kegagalan kecil

    Buat lingkungan dimana karyawan merasa bahwa tidak masalah membuat kesalahan kecil dalam perjalanan menuju sukses. Jika mereka takut untuk membuat kesalahan maka perusahaan tidak akan tumbuh dengan cepat.

  • Memimpin dengan contoh

    Berikan contoh pada karyawan, buatlah keputusan dan ambillah risiko. Jika salah satunya gagal, maka bukanlah masalah. Tunjukkan hal tersebut pada karyawan Anda. Cara agar karyawan Anda berani mengambil risiko adalah jika mereka tahu bahwa kegagalan tidak akan dilihat sebagai hal yang buruk.

  • Berikan karyawan hak untuk berpendapat

    Dengan memberikan karyawan hak berpendapat, mendengarkan ide mereka, dan mengimplementasikannya, Anda akan mendorong budaya wirausaha. Melihat mereka sebagai bagian yang penting dari perusahaan akan memberikan mereka kebanggaan.

  • Berikan karyawan rasa memiliki

    Berikan karyawan rasa memiliki pada sebuah proyek dan ikuti rekomendasi mereka. Jadikan mereka “guru” pada sesi latihan pengembangan untuk menumbuhkan pemikiran wirausaha.

  • Minta rekomendasi pada karyawan

    Ketika seorang anggota tim memberikan informasi, tanyakan pada yang lain apa pendapat mereka. Hal ini akan menumbuhkan budaya berpikir lebih jauh dan budaya wirausaha.

  • Ciptakan budaya membimbing

    Dalam sebuah lingkungan bisnis selalu ada orang yang menonjol dengan bakat dan kemampuan tertentu. Semangat sesungguhnya dari wirausaha terlihat pada kesanggupan untuk membagi kemampuan mereka dan membantu yang lain tumbuh.

  • Identifikasi dan tumbuhkan keterampilan nonteknis

    Keterampilan nonteknis adalah keterampilan penting dalam dunia bisnis yang kadang dilupakan, seperti komunikasi yang baik, berempati, menyelesaikan konflik, dan negosiasi. Dunia bisnis tidak selalu kaku. Kepemimpinan yang baik membutuhkan keterampilan nonteknis.

  • Ciptakan lingkungan yang memungkinkan persilangan fungsi

    Dorong karyawan untuk memiliki kemampuan dan mencoba bidang di luar fungsi mereka. Persilangan fungsi dapat terjadi saat mereka disatukan dalam tim dengan orang-orang dari bidang yang berbeda yang mendorong mereka berkolaborasi, berkoordinasi, dan berbagi ide.

  • Buat karyawan memiliki inisiatif dan menyelesaikan masalah sendiri

    Untuk membangun budaya wirausaha dibutuhkan orang-orang yang memiliki inisiatif dan bisa menyelesaikan berbagai hal.

 

Referensi:
https://www.business.com/articles/12-ways-foster-entrepreneurial-culture/
https://www.lcibs.co.uk/entrepreneurship-business/
https://online.jefferson.edu/human-resources/5-types-corporate-culture/
https://www.businessinsider.com/building-an-entrepreneurial-culture-2011-8/?IR=T

PENTINGNYA BUDAYA DALAM KESUKSESAN ORGANISASI

Budaya organisasi adalah pola keyakinan, nilai dan cara penyelesaian masalah perusahaan yang telah dipelajari dan dikembangkan seiring dengan sejarah organisasi, yang dibagikan dan diajarkan kepada seluruh anggota organisasi secara implisit dan informal oleh sekelompok anggota organisasi tertentu (kelompok manajemen organisasi).

Karakteristik budaya organisasi menjadi ukuran bagi setiap perusahaan untuk mencapai sasarannya dan menjadi ukuran bagi karyawan dalam menilai perusahaan tempat mereka bekerja, antara lain:

  • Inovasi dan keberanian mengambil risiko. Sejauh mana karyawan didorong untuk bersikap inovatif dan berani mengambil risiko.
  • Perhatian pada hal-hal rinci. Sejauh mana karyawan diharapkan menjalankan presisi, analisis, dan perhatian pada hal-hal detail.
  • Orientasi hasil. Sejauh mana manajemen berfokus lebih pada hasil ketimbang pada teknik dan proses yang digunakan untuk mencapai hasil tersebut.
  • Orientasi orang. Sejauh mana keputusan manajemen mempertimbangkan efek dari hasil tersebut atas orang yang ada di dalam organisasi.
  • Orientasi tim. Sejauh mana kegiatan kerja di organisasi pada tim ketimbang pada indvidu.
  • Keagresifan. Sejauh mana orang bersikap agresif dan kompetitif ketimbang santai.
  • Stabilitas. Sejauh mana kegiatan organisasi menekankan dipertahankannya status quo dalam perbandingannya dengan pertumbuhan.

Kunci organisasi yang sukses adalah memiliki budaya yang berfungsi sebagai:

  • Pengikat organisasi. Terutama pada saat organisasi menghadapi guncangan baik dari dalam maupun dari luar akibat adanya perubahan.
  • Alat untuk menyatukan beragaam sifat, karakter, bakat dan kemampuan yang ada dalam organisasi.
  • Identitas organisasi
  • Energi untuk mencapai kinerja yang tinggi. Jika energi di antara anggota organisasi disatukan dan dipertemukan maka akan menghasilkan output yang luar biasa.
  • Ciri kualitas. Dengan budaya kecepatan dan ketepatan, setiap kegiatan dilakukan secara cepat dan tepat, dalam arti hasilnya cepat terlihat dan kualitasnya terjaga baik.
  • Budaya organisasi yang kuat akan menjadi motivator yang kuat bagi para anggotanya.
  • Pedoman gaya kepemimpinan. Sering suatu perubahan, disengaja atau tidak, membawa pandangan baru tentang kepemimpinan.
  • Penguat nilai. Budaya organisasi yang meresap kuat dalam setiap benak anggota organisasi akan menajdi salah satu faktor yang mampu meningkatkan nilai bagi stakeholder.

Berikut strategi agar budaya organisasi menjadi kuat yang akan membantu perusahaan dalam memberikan kepastian kepada seluruh karyawan untuk berkembang bersama perusahaaan dalam mencapai kesuksesan:

  • Filosofi yang jelas dan eksplisit tentang bagaimana bisnis dijalankan
  • Banyak waktu yang dihabiskan untuk mengkomunikasikan nilai dan keyakinan
  • Terdapat kredo atau pernyataan nilai yang eksis
  • Nilai dan norma yang dibagikan dan secara dalam berakar
  • Sistem seleksi atau penyaringan calon karyawan yang cermat
  • Ada cerita atau legenda yang terus disampaikan dan diceritakan
  • Ada upacara atau perayaan yang menghormati karyawan yang mampu memberikan keteladanan dalam hal budaya organisasi
  • Hadiah yang terlihat oleh kasat mata bagi mereka yang mengikuti norma dan hukuman bagi yang tidak mengikuti.
  • Komitmen yang tinggi untuk mengoperasikan perusahaan sesuai dengan tradisi.

Referensi:
Reilly, Chatman & Caldwell (dalam Robins, 1998 : 289): tujuh karakteristik primer
Susanto, 2005 : 14 – 17: fungsi budaya oeganisasi
Richard D. Irwin (1995, dalam www.csuchico.edu / mgmt / strategy / module11 / sd011.htm):  budaya organisasi yang kuat