Sering kali manajemen dihadapkan pada permasalahan employee management yang sama, namun terus berulang; karyawan yang tidak produktif. Selama beberapa masa dimana jumlah pekerjaan sedang tidak intens, karyawan cenderung menghabiskan jam kerjanya dengan melakukan beberapa tugas saja dan lebih banyak melakukan hal-hal yang kurang penting. Sedangkan menjelang hari raya atau hari penting, karyawan dibanjiri dengan workload yang menggunung, bahkan hingga karyawan terpaksa lembur untuk memenuhi kepentingan deadline. Dalam kasus terburuk, karyawan yang diburu oleh deadline tidak berhasil memberikan hasil yang memenuhi standar manajemen dan tidak menjawab ekspektasi manajer. Menyadari betapa minimnya performanya, si karyawan kemudian bertobat dan berkomitmen untuk lebih sering menyicil pekerjaan. Namun ketika kembali ke titik ‘santai’, karyawan kembali gagal menjalankan komitmennya dan siklus lingkaran setan inipun berulang.
Manajemen perlu mengetahui bahwa konsep ‘penundaan’ berbeda dengan ‘kemalasan’. Penundaan pekerjaan karyawan didasari oleh alasan yang beragam, misalnya: pekerjaan yang tidak menarik, deadline yang masih lama, atau bahkan pekerjaan yang terlalu sulit untuk dilakukan seorang diri sehingga ia perlu pergi berkonsultasi dengan karyawan lain terlebih dahulu. Hal ini berbeda dengan konsep malas, karena karyawan seperti ini memang tidak ingin melakukan pekerjaan tersebut. Meski begitu, konsekuensi yang ditanggung memang sama yaitu penumpukan tugas yang tidak seharusnya. Di bagian inilah manajemen dirugikan—penumpukan tugas memicu stress karyawan, hingga stress inipun akhirnya berdampak pada penurunan kinerja optimal karyawan.
Mitos Stress
Stress dapat diartikan juga dengan tekanan. Stress muncul ketika seseorang merasa terdesak, buntu, atau dalam sitausi yang emergency. Kadang dalam sebuah situasi yang sama, reaksi stress dua orang bisa berbeda. Mungkin bagi satu orang, situasi tersebut sangat menghimpit. Bagi seorang yang lain, bisa saja situasi tersebut tidak terlalu memusingkan. Hal ini dapat terjadi karena derajat stress ditentukan oleh produksi za biokimia otak yaitu dopamine, epinephrine (dikenal juga dalam sebutan adrenaline), dan norepinephrine (atau juga disebut dengan noradrenaline). Proses produksi zat ini bisa berbeda bagi tiap-tiap orang dan kapabilitas toleransi tiap orang terhadap zat inipun beragam. Inilah alasan mengapa terkadang ada karyawan yang sangat rentan terhadap stress sementara karyawan lain terlihat lebih mampu menghandlenya.
Selain itu, produksi ketiga zat biokimia ini dapat menyebabkan berbagai dampak negatif apabila berlebihan. Dalam konteks pekerjaan, tingginya intensitas ketiga zat ini dapat memicu penurunan kinerja frontal cortex, bagian otak yang mengatur kinerja perilaku kognitif, pengambilan keputusan, dan emosi individu. Hal ini juga merupakan alasan mengapa performa karyawan dapat menurun drastis dalam keadaan stress dibanding dalam keadaan normal. Pula ini juga alasan mengapa individu cenderung lebih sensitif dan ‘terbawa perasaan’ ketika dalam keadaan stress.
Resiko lain yang dibuktikan oleh eksperimen Sheldon Cohen, Ph.D., seorang Professor of Psychology di Carnegie Mellon University kepada 400 subjek penelitiannya yang sedang dalam keadaan stress. 400 subjek ini kemudian secara sengaja dipaparkan dengan virus flu. Hasilnya, 90% dari keseluruhan subjek terjangkit virus flu dan membuktikan hipotesis Cohen bahwa keadaan stress menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Selain itu, stress juga memicu diproduksinya hormon prolactin, dimana hormon ini diproduksi oleh kelenjar pituitari sebagai respon terhadap stress. Peningkatan hormon ini menyebabkan pembengkakan di daerah sendi dan dalam kasus serius juga menyebabkan rasa nyeri.
Penanggulangan Stress
Manajemen perlu mengetahui bahwa dampak stress yang berkepanjangan tidak hanya sebatas flu atau nyeri sendi, namun juga berpengaruh pada peningkatan sinyal elektrik pada hippocampus, bagian otak yang mengatur pembelajaran, memori, dan ketahanan stress. Pelemahan hippocampus akan berdampak pada depresi dan penyakit Alzheimer dalam jangka panjang. Karena itu, penting bagi perusahaan untuk menyeimbangkan dosis tekanan yang perlu dialami oleh masing-masing karyawan. Stress tidak sepenuhnya buruk, karena dalam batasan normal stress memicu kesadaran dan memancing energi dan potensi dalam diri karyawan. Namun ada kalanya manajemen perlu mengambil langkah mundur dan meninjau kembali apakah dosis stress karyawan sudah mulai keluar batas wajar. Apabila ya, manajemen perlu melakukan langkah penanggulangan misalnya dengan mengurangi pekerjaan karyawan atau dengan memberikan hari libur untuk beristirahat. Apabila tidak memungkinkan, manajemen perlu menginjak rem dengan memberikan dukungan pada karyawan dalam bentuk-bentuk yang sesuai dengan sumber daya dan kemampuan perusahaan.