Latar Belakang Continuous Improvement

Continuous improvement adalah kerangka kerja yang mendorong organisasi untuk melakukan perbaikan dan pengembangan secara terus menerus dengan menganalisis kesalahan serta masalah pada lingkungan bisnis secara berkala agar kesalahan tersebut tidak diulangi di masa depan. Identifikasi Ini dapat dilakukan melalui berbagai metode seperti meminta umpan balik karyawan, umpan balik pelanggan, analisis data, pembandingan, dan evaluasi proses. Setelah itu, organisasi dapat menyusun strategi perbaikan yang tepat untuk mengatasi masalah yang ada. Jadi, organisasi perlu melakukan perubahan – perubahan kecil, namun dilakukan secara berkelanjutan sehingga terjadi pertumbuhan yang bertahap. Untuk mendukung continuous improvement, organisasi perlu membangun budaya yang merangkul perubahan dan komitmen setiap pemangku kepentingan agar bekerja dengan lebih baik dari hari ke hari.

BACA JUGA: WHAT IS CONTINUOUS IMPROVEMENT?

Bahan bakar utama dalam continuous improvement adalah masalah yang perlu diselesaikan. Terdapat dua faktor yang melatarbelakangi masalah yang timbul di organisasi: faktor eskternal (Voice of Customer) dan faktor internal (Voice of Business):
  • Voice of Customer (VoC). VoC adalah istilah yang sering digunakan dalam bisnis untuk menekankan pentingnya memahami dan menyelaraskan perspektif pelanggan dalam pengambilan keputusan serta pengembangan strategi. Untuk menilai masalah yang timbul pada pelanggan, organisasi perlu mengumpulkan dan menganalisis informasi umpan balik mengenai pengalaman, keluhan, kebutuhan, dan harapan mereka terhadap produk. Pendekatan VoC bertujuan untuk mengumpulkan data kualitatif dan kuantitatif langsung dari pelanggan untuk mendapatkan wawasan tentang persepsi, opini, dan kritik mereka. Umpan balik ini dapat diperoleh melalui berbagai saluran, seperti survei, wawancara, media sosial, dan ulasan pelanggan. VOC adalah bahan bakar utama bahkan dalam proses continuous improvement.
  • Voice of Business (VoB). VoB mengacu pada perspektif, wawasan, dan prioritas organisasi itu sendiri. Ini mencakup sudut pandang internal, tujuan, dan strategi bisnis yang mendorong pengambilan keputusan strategis. Sementara VoC berfokus pada umpan balik pelanggan, VoB berpusat pada umpan balik pemangku kepentingan internal dalam organisasi. Faktor ini dapat mencakup sistem kerja, budaya, manajemen organisasi, dan lainnya. Pendekatan ini dapat dilakukan dengan melakukan beberapa pendekatan pengumpulan data, misal survei, diskusi kelompok yang terfokus, atau pengamatan langsung kepada seluruh dinamika pemangku kepentingan mengenai kepuasan, kebutuhan, hambatan, dan saran mereka terhadap manajemen organisasi. Dengan adanya pengumpulan data ini, organisasi dapat menetapkan prioritas dan penyelesaikan masalah internal yang tepat untuk menghasilkan perbaikan yang berkelanjutan.
  Referensi: https://www.qualtrics.com/experience-management/customer/what-is-voice-of-customer/#:~:text=Voice%20of%20the%20Customer%20(VoC)%20is%20a%20term%20that%20describes,for%20your%20products%20or%20services. https://www.projectmanagement.com/contentPages/wiki.cfm?ID=238047&thisPageURL=/wikis/238047/voice-of-the-business#_=_    

What is Continuous Improvement?

Continuous improvement adalah kerangka kerja yang mendorong organisasi untuk melakukan perubahan atau perbaikan kecil, namun dilakukan secara berkelanjutan demi kemajuan organisasi. Kerangka ini bermula dari masalah – masalah yang timbul di lingkungan organisasi, baik internal maupun eksternal. Aspek internal dipengaruhi oleh Voice of Business, yaitu masalah yang timbul karena kebutuhan internal operasional bisnis, sedangkan aspek eskternal dipengaruhi oleh Voice of Customer, yaitu masalah yang timbul karena keluhan dan kebutuhan pelanggan. Dari masalah tersebut, organisasi dapat mengidentifikasi akar masalah dan membuat langkah-langkah untuk menyelesaikannya.

Menganalisis Problem –>  Mengidentifikasi Root Cause –>  Membuat Action Plan

Continuous improvement didasari oleh salah satu filosofi Jepang, yaitu Kaizen (改善) yang berasal dari dua kata bahasa Jepang, yaitu Kai (perubahan) dan Zen (baik) sehingga diterjemahkan menjadi perubahan untuk menciptakan kebaikan. Dalam bisnis, Kaizen mengacu pada aktivitas yang terus melakukan peningkatan pada semua fungsi bisnis. Dalam penerapannya, Kaizen berfokus pada melakukan perubahan kecil setiap hari untuk menghasilkan peningkatan besar di masa depan. Dari perubahan tersebut, karyawan diharapkan mampu memperbaiki kinerjanya dengan tidak mengulangi kesalahan yang sama di masa depan.

Berikut manfaat continuous improvement bagi organisasi:

  1. Meningkatkan kualitas produk atau layanan. Continuous improvement menuntut organisasi untuk terus berkembang mengikuti tren dan melakukan perbaikan untuk area-area tertentu sehingga organisasi dapat terus meningkatkan kualitas produknya untuk memuaskan serta menjawab kebutuhan pelanggan.
  1. Produk yang lebih relevan. Continuous improvement ditetapkan berdasarkan masalah – masalah yang ada, khususnya masalah eksternal, yaitu kebutuhan dan keluhan pelanggan. Setelah mengetahui masalah yang dialami pelanggan, organisasi dapat meperbaiki, mengubah, atau menciptakan produk baru yang sesuai dengan tren dan kebutuhan pelanggan sehingga menjaga eksistensi dan mendorong pertumbuhan bisnis.
  1. Mendukung inovasi. Continuous improvement mendorong bisnis untuk proaktif dan responsif terhadap perubahan kondisi pasar, permintaan pelanggan, dan kemajuan teknologi sehingga organisasi harus bereksperimen dengan ide atau proses baru yang mengarah kepada kinerja yang lebih baik. Perbaikan terus menerus adalah cikal bakal dan sangat dapat mendorong proses inovasi yang berkelanjutan.
  2. Pertumbuhan berkelanjutan. Continuous improvement adalah pendekatan pembangunan bisnis jangka panjang. Dengan kerangka ini, organisasi perlu konsisten (menjadi budaya) mencari peluang untuk pertumbuhan serta perbaikan sehingga organisasi dapat terus bertumbuh dan bertahan di lingkungan bisnis yang terus berubah.

 

Referensi:

https://www.productplan.com/glossary/continuous-improvement/#:~:text=What%20Is%20Continuous%20Improvement%3F,opportunities%20to%20cut%20unproductive%20work.

https://www.planview.com/resources/articles/lkdc-importance-continuous-improvement/

 

Lorem ipsum dolor sit amet, consectetur adipiscing elit. Ut elit tellus, luctus nec ullamcorper mattis, pulvinar dapibus leo.

Tujuan Succession Planning

Succession planning adalah proses strategis dan sistematis organisasi untuk memastikan ketersediaan talenta dalam menjamin keberlangsungan dan keunggulan kompetitif organisasi. Proses ini merupakan salah satu hal yang menjadi prioritas organisasi saat ini karena LinkedIn (2021) menemukan bahwa dalam 20 tahun terakhir, pergantian CEO merupakan salah satu fenomena yang menjadi masalah dengan rata-rata masa jabatan kurang dari lima tahun. Data lain menyatakan bahwa lebih dari 74% pemimpin melaporkan bahwa mereka tidak siap dan kurang pelatihan untuk tantangan yang mereka hadapi sebagai pemimpin. Fenomena ini disebabkan karena organisasi tidak merancang succession planning dengan tepat sehingga talenta yang dipilih tidak relevan.

Berikut lima tujuan utama succession planning adalah:

  • Meningkatkan stabilitas organisasi. Dengan succession planning yang baik, organisasi dapat memastikan kelancaran transisi kepemimpinan tanpa gangguan pada operasi bisnis karena selalu ada talenta lain yang siap untuk menggantikan dan mengisi peran kunci tersebut. Succesion planning memiliki dampak positif atas keberlangsungan bisnis (business sustainability).
  • Meningkatkan kontribusi talenta. Succession planning berfokus pada mengidentifikasi dan mengembangkan talenta berpotensi tinggi. Proses ini termasuk memberi talenta pelatihan, pendampingan, dan kesempatan untuk memperoleh keterampilan dan pengalaman yang diperlukan sehingga talenta dapat memberikan kontribusi.
  • Meningkatkan retensi talenta. Succession planning membuat jalur yang jelas untuk kemajuan karier talenta dalam organisasi sehingga mampu meningkatkan kepuasan dan loyalitas mereka. Ketika talenta melihat peluang pertumbuhan potensial, mereka lebih cenderung bertahan dan berjuang dengan perusahaan.
  • Mengurangi biaya rekrutmen. Beberapa perusahaan memilih untuk mengembangkan talenta internal daripada merekrut talenta baru karena menghindari proses adaptasi yang membutuhkan waktu yang panjang sehingga dapat menghemat waktu dan biaya untuk rekrutmen eksternal.
  • Mempersiapkan generasi baru. Masuknya generasi baru ke angkatan kerja menandakan pergerseran generasi atas yang harus pensiun. Dengan succession planning, organisasi dapat mempersiapkan talenta potensial terlebih dahulu sebelum angkatan kerja atas meninggalkan organisasi sehingga proses bisnis dapat terus berjalan tanpa adanya kekosongan posisi.

 

Referensi:

https://www.techtarget.com/searchhrsoftware/definition/succession-planning
https://www.linkedin.com/pulse/5-shocking-succession-planning-statistics-harsh-how-elliott-powell/

 

What is Succession Planning?

Succession planning adalah proses strategis dan sistematis yang dilakukan oleh organisasi untuk mengidentifikasi dan mengembangkan talenta yang berpotensi mengisi posisi kepemimpinan di masa depan. Tujuan succesion planning adalah untuk memastikan proses pergantian kepemimpinan berjalan dengan lancar dan menjaga stabilitas organisasi ketika terjadi kekosongan posisi penting karena pensiun, promosi, pengunduran diri, atau alasan lainnya. Proses ini mencakup rekrutmen, assessment, memilih kandidat potensial, pelatihan dan pengembangan, dan peninjauan talenta.

Succession planning merupakan salah satu solusi bagi organisasi untuk menghindari masalah-masalah yang timbul akibat kekosongan posisi. Sering kali, kekosongan posisi menyebabkan organisasi tergesa-gesa dalam menilai kandidat, baik internal atau eksternal, sehingga manajemen memilih talenta yang kurang tepat dan pada akhirnya berdampak pada penurunan kinerja organisasi. Selain itu, kesalahan lain yang sering dilakukan adalah tidak mempersiapkan talenta dengan matang. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Training Industry (2021) yang menyatakan bahwa organisasi di Amerika Utara menghabiskan lebih dari $370 miliar untuk program pengembangan kepemimpinan, namun 5 dari 6 manajer tidak puas dengan hasilnya (kemungkinan Indonesia juga mengalami hal yang sama).

Untuk mengatasi masalah tersebut, organisasi dapat mengikuti lima tahap berikut untuk melakukan succession planning yang efektif:

  • Rekrutmen. Biasanya, succession planning dilakukan dengan mengembangkan talenta internal karena organisasi merasa karyawan sudah mengenal budaya organisasi sehingga tidak membutuhkan waktu untuk beradaptasi lagi, namun dalam beberapa situasi rekrutmen eksternal perlu dilakukan jika terdapat posisi yang tidak dapat diisi secara internal melalui pengembangan dan promosi.
  • Pemilihan kandidat potensial. Setelah mengumpulkan kandidat potensial, organisasi dapat memilih kandidat yang dianggap paling mampu mengisi posisi yang dibutuhkan. Tahap ini melibatkan proses sistematis untuk menilai (assess) kemampuan yang sudah dimiliki saat ini.
  • Pelatihan dan pengembangan. Setelah menetapkan talenta potensial, organisasi perlu menganalisis kebutuhan talenta dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai pemimpin yang baru. Organisasi dapat melakukan penilaian terhadap pengetahuan dan keterampilan talenta dalam bentuk tes, FGD, presentasi atau study case. Selain keterampilan teknis, organisasi juga perlu menilai keterampilan manajerial, seperti komunikasi, kolaborasi, kecerdasan emosi, dan lainnya.Pelatihan dan pengembangan.
  • Peninjauan talenta. Setelah resmi menduduki posisi pemimpin, organisasi harus melakukan monitoring terhadap kinerja dan komitmen talenta atas posisinya barunya. Dengan monitoring, organisasi dapat memastikan bahwa penerus yang teridentifikasi mengalami kemajuan secara efektif dalam perkembangan mereka. Organisasi juga dapat memberikan bantuan jika penerus menemukan masalah, hambatan, dan tantangan saat mereka menduduki posisi tersebut.

 

Referensi:
https://trainingindustry.com/wiki/learning-services-and-outsourcing/size-of-training-industry/
https://www.linkedin.com/pulse/5-shocking-succession-planning-statistics-harsh-how-elliott-powell/
https://www.techtarget.com/searchhrsoftware/definition/succession-planning

6 Kesalahan Umum dalam Analisis SWOT

Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat) merupakan sebuah kerangka kerja yang membantu organisasi dalam mengidentifikasi faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) yang memengaruhi organisasi dan bisnis. Meskipun terlihat sederhana, Analisis SWOT merupakan langkah yang krusial untuk menyusun strategi dan menetapkan objective sehingga organisasi memiliki perspektif yang lengkap dan berimbang tentang dirinya dan bagaimana harus bersikap (membuat strategi).

Berikut beberapa kesalahan umum dalam analisis SWOT:

  1. Salah mengasumsikan aspek SWOT. Beberapa organisasi mungkin salah menafsirkan aspek yang akan dianalisis, contohnya aspek yang seharusnya merupakan ancaman (Threat) dianggap sebagai peluang (Opportunity). Kesalahan ini menyebabkan organisasi menyusun strategi yang tidak relevan dengan kebutuhannya dan pada akhirnya objective yang ditetapkan juga tidak efektif. Kesalahan macam ini bisa diantisipasi dengan pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang apa yang disebut dengan internal dan eksternal, kekuatan dan kelemahan, serta peluang dan ancaman. Konsultan atau profesional strategi yang baik akan meningkatkan kualitas SWOT dan mempertajam strategi yang sedang dibuat.
  1. Salah memformulasikan strategi. SWOT Matrix adalah pengembangan alat strategis yang berbasis pada Analisis SWOT dan membuat penyusunan strategi menjadi lebih tertata secara visual dan konseptual. Pembuatan Matriks SWOT memerlukan kompetensi tersendiri karena dalam beberapa praktek, para manajer dan timnya memasukkan hal-hal yang sifatnya taktis, bukan strategis, sehingga kita tidak bisa mendapatkan strategi atau sasaran yang relevan untuk pencapaian goal yang kita dambakan. Salah satu cara untuk mengatasi ini adalah dengan memaksa semua anggota tim penyusun strategi menggunakan kata kerja yang bernuansa peningkatkan (misal: meningkatkan) sehingga muncul kalimat sasaran (objective), bukan tindakan (action)
  1. Mencantumkan terlalu banyak isi dalam setiap aspek. Kesalahan ini dilakukan karena organisasi tidak memiliki tujuan analisis yang jelas sehingga memasukkan semua hal pada masing-masing aspek yang seharusnya tidak perlu atau tidak relevan. Isi yang terlalu banyak menyebabkan organisasi harus menyusun strategi yang tidak diperlukan akibatnya proses ini hanya membuang waktu. Untuk menghindari kesalahan ini, organisasi dapat membatasi isi dengan 3-5 poin saja dalam setiap aspek SWOT.
  1. Melebih – lebihkan kekuatan. Kekuatan (Strength) merupakan aspek yang biasanya diisi pertama karena paling mudah dianalisis, namun sering kali organisasi melebih-lebihkan kekuatannya karena ingin terlihat menonjol. Tindakan ini hanya akan membuat penyusunan strategi menjadi tidak relevan. Untuk menghindari kesalahan ini, organisasi dapat mengikuti solusi pada poin pertama. Dengan 3-5 poin saja, organisasi tidak bisa melebih-lebihkan kekuatannya. Selain itu, organisasi juga dapat mengumpulkan umpan balik dari karyawan mengenai kekuatan organisasi sehingga setiap poin tidak dianalisis menurut pemimpin atau level eksekutif saja. Di beberapa perusahaan di Indonesia, justru kadang yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu melebih-lebihkan kelemahan. Ini juga akan menyesatkan dan solusinya adalah sama dengan yang di atas: cukup 3-5 poin kelemahan saja.
  1. Tidak mengakui kekurangan. Menganalisis kekurangan (Weakness) merupakan salah satu kunci keberhasilan organisasi karena salah satu tujuan analisis SWOT adalah meminimalkan kelemahan, namun organisasi sering kali enggan mengakui kelemahannya karena gengsi atau faktor lainnya. Untuk menghindari kesalahan ini, organisasi perlu mengedukasi setiap anggota jika menganalisis kelemahan tidak digunakan untuk menghakimi, melainkan untuk perbaikan dan pengembangan.
  1. Mengabaikan analisis PESTEL atau 5 Forces. Menganalisis peluang (Opportunity) dan ancaman (Threat) merupakan tantangan tersendiri bagi organisasi karena keduanya merupakan aspek eksternal bisnis yang dinamis dan sering kali tidak jelas. Jadi, organisasi disarankan untuk menggunakan analisis PESTEL (Political, Economic, Social, Technological, Legal, and Environment) dan 5 Forces (kompetisi, pemasok, pelanggan, pendatang baru, dan produk substitusi) untuk membantu organisasi menilai faktor eksternal bisnis. Dengan bantuan dua alat analisis ini, organisasi bisa mendapatkan suatu pemahaman sistematis tentang peluang dan ancamannya dan menyusunnya dalam Analisis atau Matriks SWOT yang sistematis, solid, dan menginspirasi.

 

BACA JUGA:

STRATEGI SUKSES MENGGUNAKAN SWOT ANALISIS

MEMAKSIMALKAN LABA DENGAN ANALISIS SWOT

 

Referensi:
Tedja, Ferry Wirawan (2020). PMS: A Handbook of Modern Performance Management System. Samahita Wirotama.
Tedja, Ferry Wirawan (2021). Objective and Key Results (OKR). Samahita Wirotama.
Tedja, Ferry Wirawan (2022). Strategy Execution. Samahita Wirotama.
https://creately.com/blog/diagrams/common-swot-analysis-mistakes/
https://mktoolboxsuite.com/swot-analysis-mistakes/
https://www.conwise.de/en/do-you-know-the-5-most-common-mistakes-in-a-swot-analysis/

 

Tantangan dalam Mengimplementasikan Performance Appraisal

Performance Appraisal (PA) merupakan salah satu tahapan dalam performance management yang berfungsi untuk memberikan informasi mengenai kekuatan, kelemahan, serta kebutuhan setiap karyawan. PA biasanya dilakukan oleh pemimpin secara langsung kepada karyawan melalui dialog, namun terdapat beberapa metode lain, seperti penilaian diri sendiri, penilaian oleh rekan kerja, tes, dan ulasan pelanggan (biasanya dilakukan oleh perusahaan jasa). Jika tidak dilakukan dengan tepat, PA tidak akan menghasilkan informasi yang akurat dan hanya membuang waktu, tenaga, dan biaya.

Berikut 5 tantangan dalam PA:

  1. Tidak ada tujuan yang jelas. Jika hanya dilakukan sebatas formalitas, maka PA tidak akan maksimal karena hasilnya tidak akan memberikan pengaruh apapun terhadap kinerja karyawan. Tanpa tujuan yang jelas, pemimpin akan menjalankan proses PA dengan asal-asalan karena tujuanlah yang menjadi dasar untuk menyusun ukuran keberhasilan.
  1. Penilaian yang kurang objektif. Salah satu masalah PA adalah keyakinan karyawan bahwa mereka tidak dinilai secara adil. Karyawan merasa tidak dinilai melalui kinerja, melainkan dari latar belakang, ras, suku, golongan, atau agamanya. Selain itu, konflik dan bias pemimpin juga sering kali memengaruhi mereka dalam melakukan penilaian sehingga hasil PA tidak akurat.
  1. Membandingkan karyawan dengan rekan kerjanya. Harvard Business Review menyatakan bahwa karyawan menganggap PA tidak akurat dan tidak adil jika pemimpin membandingkan kinerja mereka dengan rekan kerjanya. Karyawan berpendapat bahwa setiap orang memiliki kapasitas dan kemampuannya masing-masing sehingga mereka merasa kurang nyaman jika PA didasarkan dengan “perbandingan kinerja”. Walaupun penilaian artinya membandingkan, perbandingan yang benar adalah dengan standard kinerja, bukan dengan sesama karyawan.
  1. Perbedaan pendapat antara pemimpin dan karyawan. Karyawan cenderung ingin mendengarkan evaluasi yang baik tentang kinerjanya dalam periode tertentu, sedangkan PA biasanya cenderung menjelaskan aspek-aspek yang perlu mereka tingkatkan sehingga ada proses PA tidak terjadi sesuai dengan harapan mereka. Di sini atasan harus berani menyampaikan umpan balik secara jujur dan tegas sehingga harapan kinerja yang diinginkan dapat terpenuhi oleh karyawan bersangkutan.
  1. Tidak memberikan solusi. Setelah hasil penilaian keluar, seharusnya pemimpin dapat memberikan solusi atas kelemahan atau kebutuhan karyawan. Sering kali, pemimpin hanya memberikan kritik dan mengutarakan harapannya saja tanpa mendengarkan kesulitan atau tantangan yang dihadapi karyawan sehingga mereka merasa PA dilakukan hanya untuk menghakimi.Faktanya, PA dilakukan untuk mengelola dan meningkatkan kinerja karyawan, bukan alat penghakiman.
Referensi:
https://smallbusiness.chron.com/challenges-performance-appraisal-1262.html
https://talygen.com/blogdetail/5-major-challenges-of-performance-review–appraisals-in-organizations
https://kissflow.com/hr/performance-management/employee-performance-appraisal-method/

 

Tiga Manfaat Performance Appraisal

Performance appraisal (PA) merupakan salah satu tahapan dalam performance management yang berfungsi untuk menilai kinerja karyawan pada periode tertentu dan bertujuan untuk memberikan umpan balik kepada karyawan tentang pekerjaan mereka. Biasanya PA dilakukan secara berkala, misalnya tahunan atau triwulanan. Walaupun PA memiliki beberapa tantangan seperti keengganan para manajer dan karyawan dalam melaksanakan atau tidak adanya tindak lanjut atas hasil PA, berikut ini adalah tiga manfaat pasti ketika perusahaan melaksanakan PA:

  1. Administration. PA mengumpulkan dan mengolah seluruh data kinerja individu dalam perusahaan yang nantinya diaplikasikan untuk talent management, yaitu pada proses identifikasi talenta. Data kinerja ini secara langsung digunakan sebagai dasar dalam penetapan promosi, rotasi, dan demosi. Semua dinamika pergerakan karyawan ini (employee relation) adalah tindak lanjut PA yang relevan dan bisa dipertanggungjawabkan dalam organisasi. Jadi, walau terkesan administratif, proses HRM modern tidak bisa berjalan tanpa ada data kinerja yang dihasilkan oleh PA.
  1. Legal. Data kinerja dari PA bersifat legal dan dapat digunakan untuk kegiatan industrial relation. Pada aspek ini, hasil PA dapat digunakan sebagai dasar dalam menetapkan reward and punishment bagi setiap karyawan. Hasil PA yang cenderung konsisten rendah selama beberapa waktu atau periode menyebabkan perusahaan harus memberikan pembinaan dalam bentuk teguran dan surat peringatan agar karyawan dapat memperbaiki kinerjanya. Jika tidak ada perubahan, maka perusahaan dapat melakukan tindakan tegas seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Untuk maksud tersebut, penting bagi perusahaan menetapkan berbagai kebijakan dan prosedur pembinaan. Bila sampai berhubungan dengan pengadilan hubungan industrial, data kinerja akan memegang peranan penting untuk menghasilkan keputusan yang objektif bagi kedua belah pihak.
  1. Culture. PA yang efektif diharapkan mampu menciptakan budaya kinerja yang tinggi. Artinya perusahaan akan memberikan apresiasi kepada karyawan berkinerja tinggi dan menyediakan bantuan dan fasilitas kepada karyawan yang membutuhkan sehingga mereka juga berprestasi. Budaya ini akan memberikan motivasi yang besar kepada semua karyawan untuk memberikan kontribusi. PA yang efektif akan memberikan pengalaman yang luar biasa kepada karyawan sehingga mereka merasa terlibat dan pada akhirnya akan memberikan upaya terbaiknya kepada organisasi dan mendorong organisasi mencapai keunggulan kompetitifnya.

 

Referensi:
http://performance-appraisal.com/legalaspects.htm
https://www.sesamehr.com/blog/the-most-notable-benefits-of-performance-appraisal/
https://www.simplilearn.com/what-is-performance-appraisal-methods-process-article#what_is_a_performance_appraisal
https://www.investopedia.com/what-is-a-performance-appraisal-4586834

 

 

Performance Appraisal vs Performance Management

Sering kali perusahaan menganggap performance appraisal dan performance management adalah dua hal yang sama. Performance appraisal merupakan penilaian formal untuk mengevaluasi kinerja karyawan, mengidentifikasi kelebihan dan area pengembangan, serta menetapkan tujuan untuk kinerja masa depan; sedangkan performance management adalah proses manajemen yang jauh lebih luas dan lebih komprehensif karena dilengkapi dengan kegiatan komunikasi yang berkelanjutan antara pemimpin dan karyawan untuk mendukung pencapaian sasaran strategis organisasi. Proses komunikasi ini bertujuan untuk mengklarifikasi harapan, prioritas, dan perencanaan pengembangan yang berkelanjutan sehingga mampu mengoptimalkan kinerja individu.

 

Perbedaan Utama

 

Performance Appraisal

Performance Management

Merupakan bagian dari Performance Management yang menekankan pada kegiatan penilaian dan administrasinya. Merupakan kegiatan pengelolaan kinerja yang terintegrasi, mulai dari perencanaan, eksekusi, dan evaluasi atau penilaian.
Hanya mengevaluasi kinerja karyawan secara objektif untuk tahun tersebut dan memberikan umpan balik akhir. Memastikan bahwa karyawan telah mencapai tujuan yang ditetapkan.
Mengevaluasi kesalahan karyawan dan memberikan solusi untuk mengatasinya Membimbing dan memperlengkapi karyawan agar mereka dapat bekerja lebih baik di masa depan.
Dilakukan tidak lebih dari dua kali dalam setahun. Proses berkelanjutan yang mungkin menjadi bagian dari dialog sehari-hari antara manajer dan karyawan.
Tidak fleksibel karena mengikuti kebijakan dan prosedur yang sudah ditetapkan. Fleksibel karena pada proses pencapaian sasaran dan target kinerja, atasan dan bawahan akan bekerja sama dan menyesuaikan diri dengan kondisi internal dan eksternal.

Persamaan

Pada dasarnya, performance management dan performance appraisal memiliki fokus yang sama yaitu kinerja karyawan. Berikut beberapa persamaan lainnya:

  • Memiliki target dan harapan yang jelas
  • Memiliki tolok ukur keberhasilan
  • Bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan terhadap pola kerja yang tidak efektif
  • Menjadi dasar untuk kegiatan HR lainnya, di antaranya adalah pelatihan, penghargaan, perekrutan, dan hubungan industrial.

 

Hubungan Performance Appraisal dan Performance Management

Performance management merupakan konsep yang lebih luas dibandingkan performance appraisal karena performance management mencakup seluruh kegiatan untuk meningkatkan kinerja karyawan di masa depan, sedangkan performance appraisal merupakan salah satu tahapan dalam performance management yang berfungsi untuk menilai kinerja dan memberikan informasi terkait kebutuhan dan kelemahan karyawan yang perlu ditingkatkan. Jadi, performance appraisal merupakan bagian dari performance management.

BACA JUGA: PERFORMANCE MANAGEMENT MASA KINI

 

Referensi:
https://www.simplilearn.com/performance-management-vs-performance-appraisal-article#:~:text=Performance%20management%20is%20the%20process,employee’s%20performance%20and%20gives%20feedback.https://www.synergita.com/blog/differentiate-employee-performance-management-and-performance-appraisal/

Conversations, Feedback, and Recognition dalam OKR

Objectives and Key Results (OKR) merupakan salah satu framework yang diandalkan beberapa perusahaan besar, seperti Google dan Youtube dalam merumuskan sasaran. OKR pertama kali diperkenalkan oleh Andy Groove dan dipopulerkan John Doerr saat ia berhasil mengimplementasikan OKR pada Google. Setelah OKR, dalam bukunya “Measure What Matters”, John Doerr juga memperkenalkan framework baru, yaitu Conversations, Feedback, and Recognition (CFR) untuk membantu perusahaan dalam menjalankan OKR. John Doerr mengatakan bahwa CFR merupakan bahan bakar bagi OKR karena tiga elemen CFR akan membantu perusahaan mengomunikasikan, mengukur, dan menilai kebutuhan karyawan dalam mencapai OKR, baik individu atau perusahaan.

Tiga Komponen CFR:

  1. Conversations. Komponen ini mendorong pemimpin untuk melakukan komunikasi kepada setiap anggota tim mengenai perkembangan proses pencapaian OKR. Biasanya, conversations dalam OKR identik dengan weekly check-in sehingga karyawan dapat lebih nyaman dalam menyampaikan masalah, keluhan, dan kebutuhannya dalam pencapaian sasaran. Berikut beberapa pertanyaan yang biasa digunakan untuk membangun conversations mengenai OKR.
    • Bagaimana perkembangan OKR Anda?
    • Kemampuan atau sumber daya apa yang Anda butuhkan untuk mencapai sasaran OKR?
    • Apakah ada hambatan dalam proses pencapaian OKR?
    • OKR mana yang perlu disesuaikan, atau ditambahkan, atau dihilangkan?

Baca Juga: Weekly Check-In Dalam OKR

  1. Feedback. Komponen ini mendorong tim untuk bertukar pikiran, ide, kritik konstruktif, dan diskusi mengenai masalah yang timbul pada OKR. Biasanya, pemimpin dapat memberikan umpan balik secara langsung kepada karyawan atas kinerjanya selama seminggu. Setelah itu, masing-masing karyawan diharapkan melakukan evaluasi diri atas umpan balik yang diberikan, baik positif maupun negatif. Umpan balik positif bertujuan untuk memberikan penghargaan kepada karyawan atas kinerja baik yang mereka berikan, sedangkan umpan balik negatif (teguran atau masukan) bertujuan agar karyawan mampu meningkatkan produktivitasnya dalam mencapai sasaran OKR.
  1. Recognition. Menurut What Matters, recognition atau pengakuan merupakan komponen CFR yang paling disepelekan banyak perusahaan. Nyatanya, pengakuan merupakan komponen yang krusial dalam OKR karena pada dasarnya manusia ingin diakui oleh orang di sekitarnya, termasuk perusahaan. Selain itu, komponen ini memengaruhi motivasi, kinerja, dan produktivitas anggota dalam mencapai sasaran OKR. Karyawan yang merasa tidak dihargai cenderung tidak termotivasi untuk mencapai sasaran OKR, meskipun sasaran yang ditetapkan sudah aspirasional.

 

Referensi:
https://www.whatmatters.com/resources/difference-between-okr-cfr
https://www.profit.co/blog/performance-management/what-is-conversations-feedback-recognition-cfr/
https://blog.inspiresoftware.com/conversations-feedback-recognition-make-okrs-better

Company Stories: Google Meet OKR

Google merupakan salah satu perusahaan yang memopulerkan Objectives and Key Result (OKR), yaitu alat untuk menentukan sasaran (Objective) organisasi/ unit/ individu, berkomunikasi, mengukur, dan mencapai sasaran tersebut. Google mengimplementasikan OKR di awal kariernya pada tahun 1999 karena John Doerr, salah satu investor Google datang dan memperkenalkan framework tersebut setelah ia mempelajari OKR dari Andy Grove, selaku pendiri OKR di Intel.

Pada dasarnya konsep OKR Google adalah sebagai berikut:

  • Konsep OKR, yang diperkenalkan oleh John Doer, didasarkan pada penetapan sasaran triwulanan dan tahunan.
  • Google menggunakan maksimal lima Objectives per kuartal dengan masing-masing dua hingga empat Key Results.
  • Key Results harus terukur dan berfungsi untuk mencapai sasaran tersebut.
  • Lebih dari 50% sasaran harus berasal dari individu (pendekatan bottom-up). Jika sasaran ditetapkan berdasarkan pendekatan top-down, karyawan tidak akan terinspirasi untuk mengerjakan tujuan tersebut.
  • OKR tidak boleh dianggap sebagai alat evaluasi kinerja individu atau tim sehingga target yang ditentukan bisa aspirasional dan menantang.

Saat ini, Google memiliki 135.000 lebih karyawan dan masih menggunakan pendekatan OKR untuk menetapkan tujuan, bahkan boleh dikatakan bahwa saat ini OKR menjadi DNA bagi Google.

Mengapa perusahaan inovatif seperti Google masih menggunakan pendekatan yang sama selama 20 tahun?

Manfaat OKR di mata Google:

  1. OKR memotivasi karyawan. Salah satu ciri khas OKR adalah menetapkan tujuan aspirasional dengan target yang fantastis, namun dapat dicapai, sehingga karyawan termotivasi dan bekerja lebih keras untuk mencapai tujuan tersebut. Google mengatakan pencapaian OKR tidak harus 100% setiap saat.  Jika OKR tercapai 100 persen setiap saat, tujuannya tidak cukup ambisius. Pada Google, tingkat pencapaian 60%-70% sudah dianggap luar biasa.
  2. Fokus yang lebih terarah melalui Key Results yang terukur dan dibatasi jumlahnya. Dibandingkan dengan metode manajemen sasaran dan kinerja yang tradisional seperti Management by Objective (MBO), OKR diatur dalam siklus yang lebih pendek. Biasanya, OKR memiliki jangka waktu tiga sampai enam bulan saja dengan weekly check-in yang dilakukan mingguan untuk membahas perkembangan OKR sehingga perusahaan dapat melacak kemajuan serta masalah dengan lebih mudah. Cara ini juga memungkinkan karyawan secara konsisten melacak OKR individunya sendiri dan tetap dalam konteks tujuan perusahaan yang menyeluruh.
  3. Transparansi pada semua level. Bagi Google, transparansi juga merupakan fondasi dalam pembuatan OKR. Itulah mengapa setiap OKR dapat dilihat secara langsung oleh setiap karyawan. Dengan demikian, kontribusi setiap individu terhadap kesuksesan perusahaan dapat terlacak secara konsisten. Cara ini dilakukan bukan untuk menarik perhatian pada setiap masalah atau kesalahan karyawan, melainkan agar setiap karyawan dapat membantu satu sama lain.

 

Referensi:
https://felipecastro.com/en/okr/what-is-okr/
https://www.roslinlab.com/blog/google-s-okr-system-and-how-it-can-work-for-your-teams
https://kanbanize.com/okr-resources/okr/google-okr
https://www.whatmatters.com/resources/google-okr-playbook
https://www.workpath.com/magazine/okr-google