What is Succession Planning?

Succession planning adalah proses strategis dan sistematis yang dilakukan oleh organisasi untuk mengidentifikasi dan mengembangkan talenta yang berpotensi mengisi posisi kepemimpinan di masa depan. Tujuan succesion planning adalah untuk memastikan proses pergantian kepemimpinan berjalan dengan lancar dan menjaga stabilitas organisasi ketika terjadi kekosongan posisi penting karena pensiun, promosi, pengunduran diri, atau alasan lainnya. Proses ini mencakup rekrutmen, assessment, memilih kandidat potensial, pelatihan dan pengembangan, dan peninjauan talenta.

Succession planning merupakan salah satu solusi bagi organisasi untuk menghindari masalah-masalah yang timbul akibat kekosongan posisi. Sering kali, kekosongan posisi menyebabkan organisasi tergesa-gesa dalam menilai kandidat, baik internal atau eksternal, sehingga manajemen memilih talenta yang kurang tepat dan pada akhirnya berdampak pada penurunan kinerja organisasi. Selain itu, kesalahan lain yang sering dilakukan adalah tidak mempersiapkan talenta dengan matang. Pernyataan ini didukung oleh penelitian Training Industry (2021) yang menyatakan bahwa organisasi di Amerika Utara menghabiskan lebih dari $370 miliar untuk program pengembangan kepemimpinan, namun 5 dari 6 manajer tidak puas dengan hasilnya (kemungkinan Indonesia juga mengalami hal yang sama).

Untuk mengatasi masalah tersebut, organisasi dapat mengikuti lima tahap berikut untuk melakukan succession planning yang efektif:

  • Rekrutmen. Biasanya, succession planning dilakukan dengan mengembangkan talenta internal karena organisasi merasa karyawan sudah mengenal budaya organisasi sehingga tidak membutuhkan waktu untuk beradaptasi lagi, namun dalam beberapa situasi rekrutmen eksternal perlu dilakukan jika terdapat posisi yang tidak dapat diisi secara internal melalui pengembangan dan promosi.
  • Pemilihan kandidat potensial. Setelah mengumpulkan kandidat potensial, organisasi dapat memilih kandidat yang dianggap paling mampu mengisi posisi yang dibutuhkan. Tahap ini melibatkan proses sistematis untuk menilai (assess) kemampuan yang sudah dimiliki saat ini.
  • Pelatihan dan pengembangan. Setelah menetapkan talenta potensial, organisasi perlu menganalisis kebutuhan talenta dalam menjalankan tugas-tugasnya sebagai pemimpin yang baru. Organisasi dapat melakukan penilaian terhadap pengetahuan dan keterampilan talenta dalam bentuk tes, FGD, presentasi atau study case. Selain keterampilan teknis, organisasi juga perlu menilai keterampilan manajerial, seperti komunikasi, kolaborasi, kecerdasan emosi, dan lainnya.Pelatihan dan pengembangan.
  • Peninjauan talenta. Setelah resmi menduduki posisi pemimpin, organisasi harus melakukan monitoring terhadap kinerja dan komitmen talenta atas posisinya barunya. Dengan monitoring, organisasi dapat memastikan bahwa penerus yang teridentifikasi mengalami kemajuan secara efektif dalam perkembangan mereka. Organisasi juga dapat memberikan bantuan jika penerus menemukan masalah, hambatan, dan tantangan saat mereka menduduki posisi tersebut.

 

Referensi:
https://trainingindustry.com/wiki/learning-services-and-outsourcing/size-of-training-industry/
https://www.linkedin.com/pulse/5-shocking-succession-planning-statistics-harsh-how-elliott-powell/
https://www.techtarget.com/searchhrsoftware/definition/succession-planning

6 Kesalahan Umum dalam Analisis SWOT

Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, and Threat) merupakan sebuah kerangka kerja yang membantu organisasi dalam mengidentifikasi faktor internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) yang memengaruhi organisasi dan bisnis. Meskipun terlihat sederhana, Analisis SWOT merupakan langkah yang krusial untuk menyusun strategi dan menetapkan objective sehingga organisasi memiliki perspektif yang lengkap dan berimbang tentang dirinya dan bagaimana harus bersikap (membuat strategi).

Berikut beberapa kesalahan umum dalam analisis SWOT:

  1. Salah mengasumsikan aspek SWOT. Beberapa organisasi mungkin salah menafsirkan aspek yang akan dianalisis, contohnya aspek yang seharusnya merupakan ancaman (Threat) dianggap sebagai peluang (Opportunity). Kesalahan ini menyebabkan organisasi menyusun strategi yang tidak relevan dengan kebutuhannya dan pada akhirnya objective yang ditetapkan juga tidak efektif. Kesalahan macam ini bisa diantisipasi dengan pengetahuan dan pemahaman yang baik tentang apa yang disebut dengan internal dan eksternal, kekuatan dan kelemahan, serta peluang dan ancaman. Konsultan atau profesional strategi yang baik akan meningkatkan kualitas SWOT dan mempertajam strategi yang sedang dibuat.
  1. Salah memformulasikan strategi. SWOT Matrix adalah pengembangan alat strategis yang berbasis pada Analisis SWOT dan membuat penyusunan strategi menjadi lebih tertata secara visual dan konseptual. Pembuatan Matriks SWOT memerlukan kompetensi tersendiri karena dalam beberapa praktek, para manajer dan timnya memasukkan hal-hal yang sifatnya taktis, bukan strategis, sehingga kita tidak bisa mendapatkan strategi atau sasaran yang relevan untuk pencapaian goal yang kita dambakan. Salah satu cara untuk mengatasi ini adalah dengan memaksa semua anggota tim penyusun strategi menggunakan kata kerja yang bernuansa peningkatkan (misal: meningkatkan) sehingga muncul kalimat sasaran (objective), bukan tindakan (action)
  1. Mencantumkan terlalu banyak isi dalam setiap aspek. Kesalahan ini dilakukan karena organisasi tidak memiliki tujuan analisis yang jelas sehingga memasukkan semua hal pada masing-masing aspek yang seharusnya tidak perlu atau tidak relevan. Isi yang terlalu banyak menyebabkan organisasi harus menyusun strategi yang tidak diperlukan akibatnya proses ini hanya membuang waktu. Untuk menghindari kesalahan ini, organisasi dapat membatasi isi dengan 3-5 poin saja dalam setiap aspek SWOT.
  1. Melebih – lebihkan kekuatan. Kekuatan (Strength) merupakan aspek yang biasanya diisi pertama karena paling mudah dianalisis, namun sering kali organisasi melebih-lebihkan kekuatannya karena ingin terlihat menonjol. Tindakan ini hanya akan membuat penyusunan strategi menjadi tidak relevan. Untuk menghindari kesalahan ini, organisasi dapat mengikuti solusi pada poin pertama. Dengan 3-5 poin saja, organisasi tidak bisa melebih-lebihkan kekuatannya. Selain itu, organisasi juga dapat mengumpulkan umpan balik dari karyawan mengenai kekuatan organisasi sehingga setiap poin tidak dianalisis menurut pemimpin atau level eksekutif saja. Di beberapa perusahaan di Indonesia, justru kadang yang terjadi adalah sebaliknya, yaitu melebih-lebihkan kelemahan. Ini juga akan menyesatkan dan solusinya adalah sama dengan yang di atas: cukup 3-5 poin kelemahan saja.
  1. Tidak mengakui kekurangan. Menganalisis kekurangan (Weakness) merupakan salah satu kunci keberhasilan organisasi karena salah satu tujuan analisis SWOT adalah meminimalkan kelemahan, namun organisasi sering kali enggan mengakui kelemahannya karena gengsi atau faktor lainnya. Untuk menghindari kesalahan ini, organisasi perlu mengedukasi setiap anggota jika menganalisis kelemahan tidak digunakan untuk menghakimi, melainkan untuk perbaikan dan pengembangan.
  1. Mengabaikan analisis PESTEL atau 5 Forces. Menganalisis peluang (Opportunity) dan ancaman (Threat) merupakan tantangan tersendiri bagi organisasi karena keduanya merupakan aspek eksternal bisnis yang dinamis dan sering kali tidak jelas. Jadi, organisasi disarankan untuk menggunakan analisis PESTEL (Political, Economic, Social, Technological, Legal, and Environment) dan 5 Forces (kompetisi, pemasok, pelanggan, pendatang baru, dan produk substitusi) untuk membantu organisasi menilai faktor eksternal bisnis. Dengan bantuan dua alat analisis ini, organisasi bisa mendapatkan suatu pemahaman sistematis tentang peluang dan ancamannya dan menyusunnya dalam Analisis atau Matriks SWOT yang sistematis, solid, dan menginspirasi.

 

BACA JUGA:

STRATEGI SUKSES MENGGUNAKAN SWOT ANALISIS

MEMAKSIMALKAN LABA DENGAN ANALISIS SWOT

 

Referensi:
Tedja, Ferry Wirawan (2020). PMS: A Handbook of Modern Performance Management System. Samahita Wirotama.
Tedja, Ferry Wirawan (2021). Objective and Key Results (OKR). Samahita Wirotama.
Tedja, Ferry Wirawan (2022). Strategy Execution. Samahita Wirotama.
https://creately.com/blog/diagrams/common-swot-analysis-mistakes/
https://mktoolboxsuite.com/swot-analysis-mistakes/
https://www.conwise.de/en/do-you-know-the-5-most-common-mistakes-in-a-swot-analysis/

 

Tantangan dalam Mengimplementasikan Performance Appraisal

Performance Appraisal (PA) merupakan salah satu tahapan dalam performance management yang berfungsi untuk memberikan informasi mengenai kekuatan, kelemahan, serta kebutuhan setiap karyawan. PA biasanya dilakukan oleh pemimpin secara langsung kepada karyawan melalui dialog, namun terdapat beberapa metode lain, seperti penilaian diri sendiri, penilaian oleh rekan kerja, tes, dan ulasan pelanggan (biasanya dilakukan oleh perusahaan jasa). Jika tidak dilakukan dengan tepat, PA tidak akan menghasilkan informasi yang akurat dan hanya membuang waktu, tenaga, dan biaya.

Berikut 5 tantangan dalam PA:

  1. Tidak ada tujuan yang jelas. Jika hanya dilakukan sebatas formalitas, maka PA tidak akan maksimal karena hasilnya tidak akan memberikan pengaruh apapun terhadap kinerja karyawan. Tanpa tujuan yang jelas, pemimpin akan menjalankan proses PA dengan asal-asalan karena tujuanlah yang menjadi dasar untuk menyusun ukuran keberhasilan.
  1. Penilaian yang kurang objektif. Salah satu masalah PA adalah keyakinan karyawan bahwa mereka tidak dinilai secara adil. Karyawan merasa tidak dinilai melalui kinerja, melainkan dari latar belakang, ras, suku, golongan, atau agamanya. Selain itu, konflik dan bias pemimpin juga sering kali memengaruhi mereka dalam melakukan penilaian sehingga hasil PA tidak akurat.
  1. Membandingkan karyawan dengan rekan kerjanya. Harvard Business Review menyatakan bahwa karyawan menganggap PA tidak akurat dan tidak adil jika pemimpin membandingkan kinerja mereka dengan rekan kerjanya. Karyawan berpendapat bahwa setiap orang memiliki kapasitas dan kemampuannya masing-masing sehingga mereka merasa kurang nyaman jika PA didasarkan dengan “perbandingan kinerja”. Walaupun penilaian artinya membandingkan, perbandingan yang benar adalah dengan standard kinerja, bukan dengan sesama karyawan.
  1. Perbedaan pendapat antara pemimpin dan karyawan. Karyawan cenderung ingin mendengarkan evaluasi yang baik tentang kinerjanya dalam periode tertentu, sedangkan PA biasanya cenderung menjelaskan aspek-aspek yang perlu mereka tingkatkan sehingga ada proses PA tidak terjadi sesuai dengan harapan mereka. Di sini atasan harus berani menyampaikan umpan balik secara jujur dan tegas sehingga harapan kinerja yang diinginkan dapat terpenuhi oleh karyawan bersangkutan.
  1. Tidak memberikan solusi. Setelah hasil penilaian keluar, seharusnya pemimpin dapat memberikan solusi atas kelemahan atau kebutuhan karyawan. Sering kali, pemimpin hanya memberikan kritik dan mengutarakan harapannya saja tanpa mendengarkan kesulitan atau tantangan yang dihadapi karyawan sehingga mereka merasa PA dilakukan hanya untuk menghakimi.Faktanya, PA dilakukan untuk mengelola dan meningkatkan kinerja karyawan, bukan alat penghakiman.
Referensi:
https://smallbusiness.chron.com/challenges-performance-appraisal-1262.html
https://talygen.com/blogdetail/5-major-challenges-of-performance-review–appraisals-in-organizations
https://kissflow.com/hr/performance-management/employee-performance-appraisal-method/

 

Tiga Manfaat Performance Appraisal

Performance appraisal (PA) merupakan salah satu tahapan dalam performance management yang berfungsi untuk menilai kinerja karyawan pada periode tertentu dan bertujuan untuk memberikan umpan balik kepada karyawan tentang pekerjaan mereka. Biasanya PA dilakukan secara berkala, misalnya tahunan atau triwulanan. Walaupun PA memiliki beberapa tantangan seperti keengganan para manajer dan karyawan dalam melaksanakan atau tidak adanya tindak lanjut atas hasil PA, berikut ini adalah tiga manfaat pasti ketika perusahaan melaksanakan PA:

  1. Administration. PA mengumpulkan dan mengolah seluruh data kinerja individu dalam perusahaan yang nantinya diaplikasikan untuk talent management, yaitu pada proses identifikasi talenta. Data kinerja ini secara langsung digunakan sebagai dasar dalam penetapan promosi, rotasi, dan demosi. Semua dinamika pergerakan karyawan ini (employee relation) adalah tindak lanjut PA yang relevan dan bisa dipertanggungjawabkan dalam organisasi. Jadi, walau terkesan administratif, proses HRM modern tidak bisa berjalan tanpa ada data kinerja yang dihasilkan oleh PA.
  1. Legal. Data kinerja dari PA bersifat legal dan dapat digunakan untuk kegiatan industrial relation. Pada aspek ini, hasil PA dapat digunakan sebagai dasar dalam menetapkan reward and punishment bagi setiap karyawan. Hasil PA yang cenderung konsisten rendah selama beberapa waktu atau periode menyebabkan perusahaan harus memberikan pembinaan dalam bentuk teguran dan surat peringatan agar karyawan dapat memperbaiki kinerjanya. Jika tidak ada perubahan, maka perusahaan dapat melakukan tindakan tegas seperti Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Untuk maksud tersebut, penting bagi perusahaan menetapkan berbagai kebijakan dan prosedur pembinaan. Bila sampai berhubungan dengan pengadilan hubungan industrial, data kinerja akan memegang peranan penting untuk menghasilkan keputusan yang objektif bagi kedua belah pihak.
  1. Culture. PA yang efektif diharapkan mampu menciptakan budaya kinerja yang tinggi. Artinya perusahaan akan memberikan apresiasi kepada karyawan berkinerja tinggi dan menyediakan bantuan dan fasilitas kepada karyawan yang membutuhkan sehingga mereka juga berprestasi. Budaya ini akan memberikan motivasi yang besar kepada semua karyawan untuk memberikan kontribusi. PA yang efektif akan memberikan pengalaman yang luar biasa kepada karyawan sehingga mereka merasa terlibat dan pada akhirnya akan memberikan upaya terbaiknya kepada organisasi dan mendorong organisasi mencapai keunggulan kompetitifnya.

 

Referensi:
http://performance-appraisal.com/legalaspects.htm
https://www.sesamehr.com/blog/the-most-notable-benefits-of-performance-appraisal/
https://www.simplilearn.com/what-is-performance-appraisal-methods-process-article#what_is_a_performance_appraisal
https://www.investopedia.com/what-is-a-performance-appraisal-4586834

 

 

Performance Appraisal vs Performance Management

Sering kali perusahaan menganggap performance appraisal dan performance management adalah dua hal yang sama. Performance appraisal merupakan penilaian formal untuk mengevaluasi kinerja karyawan, mengidentifikasi kelebihan dan area pengembangan, serta menetapkan tujuan untuk kinerja masa depan; sedangkan performance management adalah proses manajemen yang jauh lebih luas dan lebih komprehensif karena dilengkapi dengan kegiatan komunikasi yang berkelanjutan antara pemimpin dan karyawan untuk mendukung pencapaian sasaran strategis organisasi. Proses komunikasi ini bertujuan untuk mengklarifikasi harapan, prioritas, dan perencanaan pengembangan yang berkelanjutan sehingga mampu mengoptimalkan kinerja individu.

 

Perbedaan Utama

 

Performance Appraisal

Performance Management

Merupakan bagian dari Performance Management yang menekankan pada kegiatan penilaian dan administrasinya. Merupakan kegiatan pengelolaan kinerja yang terintegrasi, mulai dari perencanaan, eksekusi, dan evaluasi atau penilaian.
Hanya mengevaluasi kinerja karyawan secara objektif untuk tahun tersebut dan memberikan umpan balik akhir. Memastikan bahwa karyawan telah mencapai tujuan yang ditetapkan.
Mengevaluasi kesalahan karyawan dan memberikan solusi untuk mengatasinya Membimbing dan memperlengkapi karyawan agar mereka dapat bekerja lebih baik di masa depan.
Dilakukan tidak lebih dari dua kali dalam setahun. Proses berkelanjutan yang mungkin menjadi bagian dari dialog sehari-hari antara manajer dan karyawan.
Tidak fleksibel karena mengikuti kebijakan dan prosedur yang sudah ditetapkan. Fleksibel karena pada proses pencapaian sasaran dan target kinerja, atasan dan bawahan akan bekerja sama dan menyesuaikan diri dengan kondisi internal dan eksternal.

Persamaan

Pada dasarnya, performance management dan performance appraisal memiliki fokus yang sama yaitu kinerja karyawan. Berikut beberapa persamaan lainnya:

  • Memiliki target dan harapan yang jelas
  • Memiliki tolok ukur keberhasilan
  • Bertujuan untuk mengidentifikasi hambatan terhadap pola kerja yang tidak efektif
  • Menjadi dasar untuk kegiatan HR lainnya, di antaranya adalah pelatihan, penghargaan, perekrutan, dan hubungan industrial.

 

Hubungan Performance Appraisal dan Performance Management

Performance management merupakan konsep yang lebih luas dibandingkan performance appraisal karena performance management mencakup seluruh kegiatan untuk meningkatkan kinerja karyawan di masa depan, sedangkan performance appraisal merupakan salah satu tahapan dalam performance management yang berfungsi untuk menilai kinerja dan memberikan informasi terkait kebutuhan dan kelemahan karyawan yang perlu ditingkatkan. Jadi, performance appraisal merupakan bagian dari performance management.

BACA JUGA: PERFORMANCE MANAGEMENT MASA KINI

 

Referensi:
https://www.simplilearn.com/performance-management-vs-performance-appraisal-article#:~:text=Performance%20management%20is%20the%20process,employee’s%20performance%20and%20gives%20feedback.https://www.synergita.com/blog/differentiate-employee-performance-management-and-performance-appraisal/

Conversations, Feedback, and Recognition dalam OKR

Objectives and Key Results (OKR) merupakan salah satu framework yang diandalkan beberapa perusahaan besar, seperti Google dan Youtube dalam merumuskan sasaran. OKR pertama kali diperkenalkan oleh Andy Groove dan dipopulerkan John Doerr saat ia berhasil mengimplementasikan OKR pada Google. Setelah OKR, dalam bukunya “Measure What Matters”, John Doerr juga memperkenalkan framework baru, yaitu Conversations, Feedback, and Recognition (CFR) untuk membantu perusahaan dalam menjalankan OKR. John Doerr mengatakan bahwa CFR merupakan bahan bakar bagi OKR karena tiga elemen CFR akan membantu perusahaan mengomunikasikan, mengukur, dan menilai kebutuhan karyawan dalam mencapai OKR, baik individu atau perusahaan.

Tiga Komponen CFR:

  1. Conversations. Komponen ini mendorong pemimpin untuk melakukan komunikasi kepada setiap anggota tim mengenai perkembangan proses pencapaian OKR. Biasanya, conversations dalam OKR identik dengan weekly check-in sehingga karyawan dapat lebih nyaman dalam menyampaikan masalah, keluhan, dan kebutuhannya dalam pencapaian sasaran. Berikut beberapa pertanyaan yang biasa digunakan untuk membangun conversations mengenai OKR.
    • Bagaimana perkembangan OKR Anda?
    • Kemampuan atau sumber daya apa yang Anda butuhkan untuk mencapai sasaran OKR?
    • Apakah ada hambatan dalam proses pencapaian OKR?
    • OKR mana yang perlu disesuaikan, atau ditambahkan, atau dihilangkan?

Baca Juga: Weekly Check-In Dalam OKR

  1. Feedback. Komponen ini mendorong tim untuk bertukar pikiran, ide, kritik konstruktif, dan diskusi mengenai masalah yang timbul pada OKR. Biasanya, pemimpin dapat memberikan umpan balik secara langsung kepada karyawan atas kinerjanya selama seminggu. Setelah itu, masing-masing karyawan diharapkan melakukan evaluasi diri atas umpan balik yang diberikan, baik positif maupun negatif. Umpan balik positif bertujuan untuk memberikan penghargaan kepada karyawan atas kinerja baik yang mereka berikan, sedangkan umpan balik negatif (teguran atau masukan) bertujuan agar karyawan mampu meningkatkan produktivitasnya dalam mencapai sasaran OKR.
  1. Recognition. Menurut What Matters, recognition atau pengakuan merupakan komponen CFR yang paling disepelekan banyak perusahaan. Nyatanya, pengakuan merupakan komponen yang krusial dalam OKR karena pada dasarnya manusia ingin diakui oleh orang di sekitarnya, termasuk perusahaan. Selain itu, komponen ini memengaruhi motivasi, kinerja, dan produktivitas anggota dalam mencapai sasaran OKR. Karyawan yang merasa tidak dihargai cenderung tidak termotivasi untuk mencapai sasaran OKR, meskipun sasaran yang ditetapkan sudah aspirasional.

 

Referensi:
https://www.whatmatters.com/resources/difference-between-okr-cfr
https://www.profit.co/blog/performance-management/what-is-conversations-feedback-recognition-cfr/
https://blog.inspiresoftware.com/conversations-feedback-recognition-make-okrs-better

Company Stories: Google Meet OKR

Google merupakan salah satu perusahaan yang memopulerkan Objectives and Key Result (OKR), yaitu alat untuk menentukan sasaran (Objective) organisasi/ unit/ individu, berkomunikasi, mengukur, dan mencapai sasaran tersebut. Google mengimplementasikan OKR di awal kariernya pada tahun 1999 karena John Doerr, salah satu investor Google datang dan memperkenalkan framework tersebut setelah ia mempelajari OKR dari Andy Grove, selaku pendiri OKR di Intel.

Pada dasarnya konsep OKR Google adalah sebagai berikut:

  • Konsep OKR, yang diperkenalkan oleh John Doer, didasarkan pada penetapan sasaran triwulanan dan tahunan.
  • Google menggunakan maksimal lima Objectives per kuartal dengan masing-masing dua hingga empat Key Results.
  • Key Results harus terukur dan berfungsi untuk mencapai sasaran tersebut.
  • Lebih dari 50% sasaran harus berasal dari individu (pendekatan bottom-up). Jika sasaran ditetapkan berdasarkan pendekatan top-down, karyawan tidak akan terinspirasi untuk mengerjakan tujuan tersebut.
  • OKR tidak boleh dianggap sebagai alat evaluasi kinerja individu atau tim sehingga target yang ditentukan bisa aspirasional dan menantang.

Saat ini, Google memiliki 135.000 lebih karyawan dan masih menggunakan pendekatan OKR untuk menetapkan tujuan, bahkan boleh dikatakan bahwa saat ini OKR menjadi DNA bagi Google.

Mengapa perusahaan inovatif seperti Google masih menggunakan pendekatan yang sama selama 20 tahun?

Manfaat OKR di mata Google:

  1. OKR memotivasi karyawan. Salah satu ciri khas OKR adalah menetapkan tujuan aspirasional dengan target yang fantastis, namun dapat dicapai, sehingga karyawan termotivasi dan bekerja lebih keras untuk mencapai tujuan tersebut. Google mengatakan pencapaian OKR tidak harus 100% setiap saat.  Jika OKR tercapai 100 persen setiap saat, tujuannya tidak cukup ambisius. Pada Google, tingkat pencapaian 60%-70% sudah dianggap luar biasa.
  2. Fokus yang lebih terarah melalui Key Results yang terukur dan dibatasi jumlahnya. Dibandingkan dengan metode manajemen sasaran dan kinerja yang tradisional seperti Management by Objective (MBO), OKR diatur dalam siklus yang lebih pendek. Biasanya, OKR memiliki jangka waktu tiga sampai enam bulan saja dengan weekly check-in yang dilakukan mingguan untuk membahas perkembangan OKR sehingga perusahaan dapat melacak kemajuan serta masalah dengan lebih mudah. Cara ini juga memungkinkan karyawan secara konsisten melacak OKR individunya sendiri dan tetap dalam konteks tujuan perusahaan yang menyeluruh.
  3. Transparansi pada semua level. Bagi Google, transparansi juga merupakan fondasi dalam pembuatan OKR. Itulah mengapa setiap OKR dapat dilihat secara langsung oleh setiap karyawan. Dengan demikian, kontribusi setiap individu terhadap kesuksesan perusahaan dapat terlacak secara konsisten. Cara ini dilakukan bukan untuk menarik perhatian pada setiap masalah atau kesalahan karyawan, melainkan agar setiap karyawan dapat membantu satu sama lain.

 

Referensi:
https://felipecastro.com/en/okr/what-is-okr/
https://www.roslinlab.com/blog/google-s-okr-system-and-how-it-can-work-for-your-teams
https://kanbanize.com/okr-resources/okr/google-okr
https://www.whatmatters.com/resources/google-okr-playbook
https://www.workpath.com/magazine/okr-google

 

 

 

 

 

Weekly Check-in dalam OKR

Objective and Key Result (OKR) adalah suatu kerangka berpikir kritis dan disiplin berkelanjutan yang berupaya memastikan karyawan bekerja sama dan memfokuskan upaya mereka untuk memberikan kontribusi terukur yang memajukan perusahaan (Niven & Lamorte, 2018). OKR memiliki jangka waktu tertentu pada setiap periode, umumnya tiga atau enam bulan sehingga perusahaan harus melakukan weekly check-in atau rapat mingguan yang rutin untuk memantau dan menjaga kinerja organisasi, unit, dan individu karyawan agar selaras dengan Objective (sasaran) yang telah ditentukan.

Pada umumnya, weekly check-in dilaksanakan pada hari Senin karena Senin adalah hari pertama dalam minggu itu. Dengan demikian, karyawan mengetahui target dan apa yang harus mereka kerjakan dalam satu minggu ke depan. Intinya terdapat tiga tujuan utama weekly check in yaitu:

  • Menilai kemajuan (progress) pencapaian sasaran.
  • Mengidentifikasi masalah potensial sebelum berkembang menjadi masalah yang signifikan.
  • Memastikan tim tetap fokus dan termotivasi untuk mencapai sasaran.

Weekly check in biasanya dilakukan dengan gaya komunikasi yang informal sehingga mendorong karyawan agar lebih nyaman untuk menyampaikan hasil kerja atau masalah yang dialami. Setelah melakukan weekly check-in, setiap anggota tim diharapkan mampu memperbaiki atau meningkatkan kinerjanya dalam mencapai objectives.

Tiga manfaat weekly check-in adalah sebagai berikut:

  1. Penyelesaian masalah yang lebih cepat. Weekly check-in membantu pemimpin maupun karyawan untuk mengetahui setiap tanda-tanda masalah yang ada sehingga mereka dapat melakukan problem solving secara real time. Semakin cepat masalah diselesaikan, maka semakin kecil risiko yang muncul.
  1. Membangun kepercayaan dan loyalitas. Weekly check-in dapat digunakan pemimpin untuk membangun hubungan yang lebih dekat dengan anggota timnya karena pada pertemuan ini, pemimpin dapat memberikan perhatian lebih dengan bertanya mengenai keluhan, masalah, atau tantangan yang dihadapi anggota dalam setiap progress-nya. Setelah itu, pemimpin dapat memberikan saran atau masukan untuk anggota tim dalam menyelesaikan masalahnya. Dengan pertemuan ini, karyawan akan merasa lebih diperhatikan dan mereka tidak merasa bekerja sendirian.
  1. Meningkatkan produktivitas. Weekly check-in dapat meminimalisir risiko miss communication sehingga tim dapat bekerja lebih efektif dan efisien. Selain itu, weekly check-in yang sudah terjadwal dapat membantu karyawan untuk mengumpulkan pertanyaan-pertanyaan terkait dengan tugasnya. Weekly check-in juga dapat digunakan untuk menciptakan momen bagi pemimpin dalam menyampaikan ekspektasi kinerja setiap anggota tim sehingga mereka memahami kejelasan peran masing-masing dalam mencapai objective.

 

Referensi:
https://inside.6q.io/the-weekly-check-in/#:~:text=The%20focus%20of%20weekly%20check,employees%20to%20table%20their%20concerns.
https://www.indeed.com/career-advice/career-development/benefits-of-weekly-check-in#:~:text=A%20weekly%20check%2Din%20is%20a%20one%2Don%2Done,or%20the%20staff%20member%20have.
https://inside.6q.io/the-weekly-check-in/

Sejarah OKR

Objective and Key Results (OKR) merupakan alat manajemen kinerja yang digunakan untuk mengukur kinerja perusahaan maupun individu. OKR memiliki dua komponen, yaitu Objective, yaitu deskripsi kualitatif tentang apa yang ingin dicapai perusahaan. Objective sebaiknya singkat, inspirasional, dan memotivasi tim. Objective dapat disebut sebagai sasaran strategis yang ingin dicapai perusahaan. Komponen kedua adalah Key Results, yaitu serangkaian deskripsi kuantitatif yang mengukur kemajuan perusahaan menuju Objective. KRs dapat diartikan sebagai ukuran keberhasilan yang menunjukkan kemajuan perusahaan menuju Objective. KRs harus berbentuk kuantitatif, spesifik, dapat diukur, dan dapat diraih.

OKR pertama kali dicetuskan oleh Andy Grove, CEO Intel pada tahun 1970-an untuk mengukur kinerja perusahaannya. Andy Grove menyaring ide cemerlang Manajemen by Objectives (MBO) milik Peter Drucker dan mengembangkannya menjadi konsep Key Results. Idenya sederhana, bahwa KR berperan untuk mengukur dan memfasilitasi pencapaian Objective dan perlu ada beberapa, tidak hanya satu saja, mengingat pentingnya Objective tersebut.

Peter Drucker dan MBO, 1954

Pada tahun 1954 Drucker menerbitkan buku “The Practice of Management“, yang memicu gagasan bahwa Objective atau sasaran itu penting sebagai dasar untuk menilai kinerja. Lalu, Drucker mengusulkan sistem manajemen kinerja yang disebut Management by Objectives (MBO) yang kemudian menginspirasi munculnya OKR. Dalam prakteknya, MBO dipandang memiliki beberapa kelemahan, seperti:

  • Menetapkan sasaran dengan ukuran tertentu yang ternyata memicu cara kerja yang tidak berkualitas.
  • Tujuan perusahaan tidak secara otomatis selaras dengan tujuan karyawannya.

Andy Grove dan OKRs, tahun 1970-an

Sebagai CEO di Intel, Andy Grove mengambil ide MBO oleh Peter Drucker dan mengembangkannya menjadi OKR. Dengan OKR, Objective memiliki beberapa Key Results yang memastikan tim bergerak ke arah yang benar dengan pengukuran yang tepat. Beberapa KRs ini dipandang sebagai peta jalan menuju pada pencapaian sasaran.

John Doerr dan Google, 1999

Saat 1999 Kleiner Perkins berinvestasi di Google dan John Doerr didaulat menjadi penasihat Google. Sebagai penasihat, Doerr memperkenalkan OKR ke Google sehingga Larry Page dan Sergey Brin selaku pendiri Google mengadopsinya di seluruh tim (sekitar 30 karyawan pada waktu itu).

Larry Page: “OKRs have helped lead us to 10x growth, many times over. They’ve helped make our crazily bold mission of “organizing the world’s information” perhaps even achievable. They’ve kept me and the rest of the company on time and on track when it mattered the most.”

OKR Setelah Google, 2010+

Pertumbuhan Google menjadi salah satu fenomena atau model yang mempopulerkan konsep OKR. Google meluncurkan resource re:Work untuk membagikan prinsip OKR-nya. Selain itu, John Doerr juga menerbitkan sebuah buku tentang OKRs “Measure What Matters” sehingga sejak saat itu banyak perusahaan mulai mengadopsi kerangka kerja OKR, seperti Airbnb, LinkedIn, Dropbox, Spotify, Netflix, Amazon, Facebook, Gap, Lear, Deloitte, dan Adobe.

 

Referensi:
https://www.leapsome.com/blog/the-rise-of-okrs-a-short-history-of-objectives-and-key-results
https://www.perdoo.com/okr-guide/#:~:text=OKR%20has%20a%20long%20history,OKR%20during%20his%20time%20there.
https://okrframework.org/en/okr-blog/okr-history
https://www.talbit.io/blogs/brief-history-of-okrs
Tedja, Wirawan. (2021). Objective & Key Results. Jakarta: Samahita Wirotama

PROSES DALAM KNOWLEDGE MANAGEMENT

Ketika hendak memahami knowledge management (KM), organisasi perlu terlebih dahulu mengidentifikasi proses utama KM di dalamnya. Dengan mengenali proses tersebut, organisasi dapat membuat standardisasi prosedur yang berkaitan dengan informasi, ide, perspektif, dan pengalaman. Di sini, organisasi dapat dibayangkan seperti sistem terbuka yang memiliki batas-batas otoritas yang jelas sehubungan dengan lingkungannya. Selanjutnya, organisasi dapat mengidentifikasi proses utamanya berdasarkan proses-proses dasar KM, yaitu (Bolisani & Bratianu, 2017):

Continue reading