EMPLOYEE ENGAGEMENT DALAM TEORI MASLOW

Dalam teorinya “Hierarchy of Needs”, Abraham Maslow mengungkapkan bahwa setiap individu harus memenuhi kebutuhan mendasar mereka seperti rasa aman serta tempat untuk tinggal dan berlindung sebelum akhirnya memiliki hasrat untuk tumbuh dan berkembang. Teori Maslow ini juga dapat digunakan dalam dunia kerja sehari-hari, yaitu untuk menemukan cara yang tepat bagi manajemen organisasi untuk memperlakukan karyawan serta berhubungan dengan mereka.

Berdasarkan teori Maslow, terdapat 5 macam karyawan berdasarkan tingkat engagement mereka terhadap organisasi:

  1. The Disengaged

    Sama sekali tidak terhubung atau engaged dengan organisasi, tipe karyawan ini hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan survival seperti makanan, air, dan tempat tinggal. Karyawan ini adalah mereka yang hanya memedulikan upah yang mereka peroleh tanpa bekerja demi tercapainya visi dan misi organisasi.

  1. The Not Engaged

    Tipe karyawan ini masih memiliki kebutuhan untuk mendapatkan stabilitas dan perlindungan dari hukum serta peraturan yang berlaku dalam hidup mereka. Ciri-ciri tipe karyawan ini dalam sebuah organisasi adalah mereka yang sering meminta izin sakit melebihi jatah yang seharusnya dan mengambil jatah lembur. Selain itu, karyawan ini juga tidak selalu menyukai pekerjaan mereka dan bahkan masih mencari-cari pekerjaan lain di luar organisasinya.

  1. The Almost Engaged

    Tipe karyawan ini berada pada tahapan di mana mereka belum sepenuhnya engaged dengan organisasi. Masih membutuhkan rasa cinta dan kasih sayang, karyawan ini berada dalam sebuah breaking point antara loyalitas dan lack of interest. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka adalah karyawan yang merasa bangga dengan pekerjaan mereka namun masih membuka kemungkinan untuk bekerja di tempat lain. Hal ini mereka lakukan karena mereka merasa bahwa pekerjaan mereka sekarang tidak memberikan peluang untuk mengembangkan karir sesuai keinginan mereka.

  1. The Engaged

    Merasa engaged dengan perusahaan, karyawan ini merupakan individu yang memiliki hasrat untuk meraih hal-hal yang lebih besar dan berarti, serta untuk mendapatkan rasa hormat dan kebebasan. Mereka adalah para karyawan yang menyadari peran penting mereka dalam organisasi serta selalu fokus dan sibuk dalam pekerjaan mereka.

  1. The Highly Engaged

    Karyawan ini berada di tingkat teratas dalam teori “Hierarchy of Needs” menurut Maslow. Telah memenuhi segala kebutuhan mendasar serta menyadari peran pentingnya dalam organisasi, karyawan ini benar-benar mencintai pekerjaannya dan bahkan berminat untuk menginspirasi orang-orang lain di sekitarnya.

Akhirnya, Employee Engagement berperan penting dalam mengidentifikasi tingkat engagement dan motivasi seseorang dalam bekerja. Dengan adanya informasi tersebut, maka manajemen akan mampu menciptakan kondisi lingkungan kerja yang mendukung karyawannya untuk mengeluarkan kemampuan mereka sepenuhnya dalam bekerja demi perkembangan mereka serta tercapainya visi, misi, dan tujuan organisasi.

5 CARA MENINGKATKAN EMOTIONAL INTELLIGENCE

Konflik dalam lingkungan kerja biasa terjadi dan tidak dapat dielakkan. Kenyataannya, tidak ada yang namanya “the perfect office” (kantor yang sempurna) atau “the perfect colleagues” (rekan kerja yang sempurna), seperti yang ada di dalam film atau drama. Setiap kantor pasti memiliki berbagai macam tipe rekan kerja. Meski demikian, sebagai manajamen, Anda memiliki tanggung jawab untuk mengelola SDM.

Si karyawan kesayangan

Tipikal karyawan seperti ini banyak macamnya, namun biasanya dalam sebuah kantor, seorang boss tidak mungkin bisa dekat dengan semua karyawannya dengan tingkat kedekatan yang sama rata sehingga muncullah beberapa orang yang tampaknya “kesayangan boss”. Dalam wujud yang berbeda, ada pula karyawan yang sangat disenangi semua orang. Karyawan seperti ini biasanya merupakan ‘MVP’ tim dan biasanya memiliki peran yang penting dalam team building. Karyawan ini adalah tipikal karyawan yang keberadaannya memainkan peran yang mayor dalam lingkungan kerja sehingga saat karyawan tersebut absen, suasana kantor terasa sepi.

Si karyawan yang dibenci

Seperti dua kubu magnet, setiap kantor memiliki orang yang paling tidak disukai. Paling tidak, ada satu orang dalam kantor yang paling dijauhi atau dinomor duakan. Karyawan tersebut bisa saja karyawan yang paling sulit bergaul atau yang paling susah melebur dengan obrolan dan dinamika suasana di kantor. Ada juga tipikal karyawan yang pacu kerjanya agak lambat, hingga menghambat dan merugikan pekerjaan karyawan lain. Ada juga tipe karyawan yang sering lupa atau lalai mengerjakan tugas, hingga membuat tugas karyawan lain bertambah karena kesalahannya. Bagaimanapun juga, tipe karyawan seperti ini adalah tipe karyawan yang pasti ada di semua kantor, bahkan kantor perusahaan ternama sekalipun.

Apapun tipe karyawan yang bekerja pada Anda, sebagai manajemen Anda memiliki tanggung jawab untuk mengelola sumber daya manusia Anda. Karena bagaimanapun juga, perusahaan telah memutuskan untuk menerima karyawan tersebut oleh karena suatu alasan dan tugas Anda sebagai manajemen HR adalah untuk mengembangkan serta memperbaiki apa yang perlu diperbaiki. Untuk melakukannya, Anda perlu mengidentifikasi karyawan mana yang memiliki isu darurat dan memformulasikan metode pengembangan yang sesuai.

Emotional Intelligence

Emotional Intelligence adalah topik yang telah populer mulai tahun 1990an ketika para ahli menyadari bahwa IQ saja tidak menjamin kesuksesan seseorang. Karena itu muncullah sebuah faktor baru yaitu emotional intelligence, dimana seorang individu dinilai kemampuan menyeimbangkan emosi diri dan beradaptasi terhadap berbagai macam situasinya. Saat karyawan cenderung tidak disukai atau performanya kurang dalam lingkungan kerja, biasanya hal ini mengindikasikan adanya krisis dalam segi emotional intelligence. Menurut Daniel Goleman, ada 5 strategi yang sifatnya dapat menjadi terapi sederhana pada karyawan untuk meningkatkan EQ;

  1. Self-awareness

    Self-awareness berbicara mengenai bagaimana seseorang dapat menyadari, memahami, dan mengerti mood, emosi, dan dorongan pribadinya dan bagaimana efeknya terhadap orang lain. Seorang individu dengan self-awareness yang tinggi biasanya memiliki kepercayaan diri yang tinggi dan mampu mengatasi dan mengendalikan emosinya. Orang dengan self-awareness yang baik tidak akan menaruh harga dirinya berdasarkan apa kata orang, melainkan ia sendiri menghargai dan mencintai dirinya sendiri. Bila karyawan Anda lebih sering menghina dan menyalahkan diri, hal itu pertanda bahwa karyawan Anda kekurangan self-awareness. Sebagai manajer Anda dapat menjadi konselor masalahnya, sambil mengarahkan karyawan tersebut untuk dapat mengatasi emosinya. Anda juga harus menjadi penengah dan mediator yang baik apabila terjadi konflik yang berhubungan dengan karyawan dengan self-awareness yang kurang baik.

  1. Self-regulation

    Self-regulation adalah tingkat baru dari self-awareness dalam hubungan pengambilan keputusan dan cara bereaksi. Idealnya, orang dengan self-regulation yang tinggi mengerti bagaimana perbuatan dan emosi negatifnya dapat berpengaruh pada orang lain. Orang yang menyadari akan pengaruh negatif yang dapat ditimbulkan akan lebih bijaksana sebelum mengambil tindakan atau keputusan. Mereka adalah orang-orang yang mampu berhadapan dengan kecemburuan, frustasi, keadaan ambigu dan situasi tidak menentu. Cara untuk meningkatkan self-regulation adalah dengan menerapkan terapi menunggu, dimana karyawan dilatih untuk menunggu selama beberapa waktu sebelum mengambil keputusan ketika situasinya sulit. Selain itu, konseling dan ngobrol dengan orang lain juga dapat membantu karyawan dengan self-regulation yang rendah. Dengan konseling, karyawan bisa mendapat perspektif baru dan melihat dari sisi yang mungkin tidak pernah ia pikirkan.

  1. Motivation

    Motivasi berbicara mengenai dorongan yang dimiliki oleh seorang individu untuk sebuah pekerjaan tertentu. Motivasi adalah energi yang membantu seseorang untuk tetap antusias dan mampu tekun dalam tugasnya. Karyawan dengan motivasi yang tinggi dapat dengan mudah beralih dari kegagalannya dan kembali fokus untuk berhasil di pekerjaan selanjutnya. Untuk meningkatkan motivasi, manajer dapat menanamkan nilai-nilai positif yang sifatnya menyenangkan. Selain itu, manajer dapat terus mengingatkan mereka mengenai alasan mereka bekerja pertama kali—tentang tujuan dan goal yang mereka ingin capai dalam pekerjaan. Lebih dari segalanya, manajer juga harus menjadi contoh yang baik dengan menyebarkan optimisme dalam lingkungan kerja. Apabila dari manajemen atas tidak mencerminkan optimisme yang baik, maka manajemen bawah pun tidak dapat mengadopsi visi dan semangat yang sama dengan pemimpinnya.

  1. Empathy

    Saat karyawan dapat berempati terhadap sekelilingnya, maka budaya gotong royong akan tercipta pada lingkungan kerja. Kemampuan empati karyawan berbicara tentang sejauh mana karyawan dapat memahami dan meresponi emosi orang lain. Ketika karyawan memiliki rasa empati yang tinggi, maka karyawan tersebut akan dapat memperlakukan orang lain dengan hormat, ramah, dan baik. Cara untuk meningkatkan empati adalah dengan terus mengasah kemampuan memahami perspektif orang lain. Terkadang orang gagal berempati karena ia terlalu berorientasi pada dirinya sendiri sehingga ia lupa memikirkan orang lain. Empati karyawan juga bisa dibangun dengan acara atau kegiatan team building yang sifatnya membangun hubungan intrapersonal.

  1. Social Skills

    Memiliki social skills yang baik, berarti Anda mampu memelihara hubungan dan memimpin sebuah kelompok. Dengan kemampuan social skills, Anda dapat mempersuasi orang lain untuk bergerak kearah yang Anda inginkan tanpa menyinggung atau mengurangi respect kepada orang tersebut. Cara untuk meningkatkan social skills adalah dengan berlatih berkomunikasi. Biasanya kesalahpahaman terjadi bukan karena perbedaan tujuan, namun karena cara penyampaian yang seringkali menyinggung perasaan orang lain. Sebagai manajer, Anda dapat memberikan giliran kepada karyawan untuk menjadi pemimpin dalam proyek kecil, sehingga setiap karyawan memiliki kesempatan yang sama rata untuk bertumbuh dan mengembangkan social skillsnya.

PERSONALITY TEST

Banyak orang bilang bahwa konflik itu wajar dan baik bagi hubungan. Mereka yang mengadopsi pemikiran ini berpikir bahwa konflik akan membuat pihak yang terlibat mempelajari pribadi pihak lain dan semakin beradaptasi untuk interaksi yang lebih baik kedepannya. Namun, kenyataannya tidak semua orang bisa menyelesaikan konflik dengan baik. Malah biasanya konflik berujung pada putusnya hubungan, dendam, dan bahkan pelabelan image buruk terhadap pihak yang terlibat. Tragisnya, seringkali saat konflik tidak berakhir bahagia, yang disalahkan adalah kepribadian atau karakter pihak lawan. Lalu apa kabar dengan konflik yang ‘katanya’ membuat hubungan antarpersonal menjadi lebih baik? Benarkah ada orang jenis tertentu yang ‘cocok’ dan bisa berdamai dengan jenis satu, sementara tidak dengan jenis lain?

Bagi beberapa perusahaan, proses personality assessment merupakan proses yang wajar dan wajib dilaksanakan dalam proses perekrutan karyawan. Hal ini membuat perusahaan memiliki data kepribadian karyawan bahkan sebelum karyawan bekerja di perusahaan. Namun tetap saja, data tersebut seringkali hanya dipakai menjadi bahan pertimbangan ketika pengambilan keputusan perekrutan saja, namun setelah itu data dibuang atau hilang entah kemana. Belum lagi perusahaan yang menganggap remeh tes kepribadian dan tidak melakukan tes ini sebelum merekrut karyawan dan hanya mengandalkan penilaian sekilas sewaktu proses interview. Hanya sebagian kecil perusahaan benar-benar menghargai data tersebut dan menggunakannya dengan bijak. Padahal sebenarnya data tersebut harus dikaji lebih jauh untuk menentukan dalam lingkungan mana seorang karyawan harus ditempatkan.

16 Personalities

Cara mudah (dan gratis) yang bisa Anda pakai untuk mengenali bagaimana karyawan Anda berpikir adalah dengan mencoba tes 16 kepribadian. Dalam tes ini, kepribadian seseorang dikaji berdasarkan pola dan perilaku yang ditunjukkan oleh seorang individu.

  • Aspek pikiran : Introvert atau Extrovert?

    Aspek ini adalah aspek paling dasar yang menentukan bagaimana kecenderungan perilaku individu. Pribadi yang introvert cenderung menyukai kesendirian dan sangat sensitif terhadap stimulus. Orang introvert cenderung menyukai sesuatu yang simpel atau sederhana, dimana mereka tidak perlu menanggapi atau menambahkan sesuatu. Sementara pribadi extrovert sangat peka terhadap rangsangan. Orang extrovert cenderung menyukai suasana dimana mereka dapat berkontribusi dan mendapatkan feedback. Implementasinya, orang extrovert cenderung sangat terbuka pada hal baru dan sangat menyukai sosialisasi, sementara orang introvert cenderung lebih tertutup pada pengalaman baru dan puas dengan lingkaran koneksi mereka tanpa merasa perlu merubah apapun.

  • Aspek energi : Observant atau Intuitive?

    Aspek energi adalah aspek yang menilai bagaimana cara individu melihat dunia. Orang yang cenderung observant merupakan tipikal orang yang sangat praktikal dan realistis—fokus orang tipe ini adalah kejadian yang sudah atau sedang terjadi. Orang tipe observant lebih suka untuk terjun dan merasakan pengalaman yang ‘sekarang’. Berbeda dengan tipe orang intuitive, dimana orang ini cenderung berfokus pada potensi dan pengembangan yang bisa dibuat. Orang intuitive biasanya sangat imajinatif, berpikiran terbuka, dan memiliki keingin tahuan yang besar. Orang intuitive cenderung selalu mempertanyakan ‘mengapa’ dan berorientasi pada masa depan. Karena itu sering kali tipe orang intuitive seringkali tidak cocok dengan orang yang observant, karena cara mereka memandang sesuatu berbeda orientasinya.

  • Aspek natur : Thinking atau Feeling?

    Dalam aspek ini, bagaimana individu bereaksi terhadap rangsangan dan kecenderungan mereka dalam menangani emosi dinilai. Orang thinking cenderung mengutamakan rasionalitas dan logika diatas emosi mereka. Mereka memiliki prinsip bahwa segala sesuatu bisa diselesaikan dengan kepala dingin dan tidak memercayai dorongan emosi sesaat. Sementara kebalikannya, orang feeling cenderung sangat sensitif dan peka terhadap sekitarnya. Mereka percaya bahwa emosi adalah sesuatu yang alamiah dan sangat wajar ditunjukkan. Mereka cenderung mengambil keputusan berdasarkan ‘apa kata hati’ mereka saat itu juga.

  • Aspek taktis : Judging atau Prospecting?

    Aspek taktis merupakan aspek yang menilai bagaimana individu merencanakan sesuatu. Orang tipe judging adalah tipikal orang yang sangat terstruktur dan terencana sehingga memiliki banyak rencana cadangan. Tipe judging tidak akan merasa nyaman ketika secara spontan harus menyelesaikan masalah yang ditemui di tengah jalan. Sementara lawannya, orang prospecting lebih percaya pada ‘go with the flow.’ Tipikal ini cenderung tidak membatasi perencanaannya, terbuka pada ‘perubahan rencana dadakan’, dan tidak keberatan dengan perubahan tersebut.

Pada akhirnya, manajemen harus mempertimbangkan kompilasi jenis-jenis kepribadian karyawannya. Apakah lingkungan kerja dan job nature masing-masing karyawan sudah sesuai dengan kepribadian karyawan? Hal ini bukan berarti hasil tes akan secara kaku mengatur tipe pekerjaan dan partner tim seperti apa yang bisa dihandle oleh karyawan, namun hal ini bisa dipertimbangkan perusahaan untuk mengembangkan potensi dan memperluas insight karyawan. Dengan analisis kepribadian juga akan memudahkan perusahaan untuk memfasilitasi ide dan aspirasi masing-masing karyawan, sehingga konflik bisa dihindarkan.

EMPLOYEE MANAGEMENT: HOW ‘STRESS’ WORKS

Sering kali manajemen dihadapkan pada permasalahan employee management yang sama, namun terus berulang; karyawan yang tidak produktif. Selama beberapa masa dimana jumlah pekerjaan sedang tidak intens, karyawan cenderung menghabiskan jam kerjanya dengan melakukan beberapa tugas saja dan lebih banyak melakukan hal-hal yang kurang penting. Sedangkan menjelang hari raya atau hari penting, karyawan dibanjiri dengan workload yang menggunung, bahkan hingga karyawan terpaksa lembur untuk memenuhi kepentingan deadline. Dalam kasus terburuk, karyawan yang diburu oleh deadline tidak berhasil memberikan hasil yang memenuhi standar manajemen dan tidak menjawab ekspektasi manajer. Menyadari betapa minimnya performanya, si karyawan kemudian bertobat dan berkomitmen untuk lebih sering menyicil pekerjaan. Namun ketika kembali ke titik ‘santai’, karyawan kembali gagal menjalankan komitmennya dan siklus lingkaran setan inipun berulang.

Manajemen perlu mengetahui bahwa konsep ‘penundaan’ berbeda dengan ‘kemalasan’. Penundaan pekerjaan karyawan didasari oleh alasan yang beragam, misalnya: pekerjaan yang tidak menarik, deadline yang masih lama, atau bahkan pekerjaan yang terlalu sulit untuk dilakukan seorang diri sehingga ia perlu pergi berkonsultasi dengan karyawan lain terlebih dahulu. Hal ini berbeda dengan konsep malas, karena karyawan seperti ini memang tidak ingin melakukan pekerjaan tersebut. Meski begitu, konsekuensi yang ditanggung memang sama yaitu penumpukan tugas yang tidak seharusnya. Di bagian inilah manajemen dirugikan—penumpukan tugas memicu stress karyawan, hingga stress inipun akhirnya berdampak pada penurunan kinerja optimal karyawan.

Mitos Stress

Stress dapat diartikan juga dengan tekanan. Stress muncul ketika seseorang merasa terdesak, buntu, atau dalam sitausi yang emergency. Kadang dalam sebuah situasi yang sama, reaksi stress dua orang bisa berbeda. Mungkin bagi satu orang, situasi tersebut sangat menghimpit. Bagi seorang yang lain, bisa saja situasi tersebut tidak terlalu memusingkan. Hal ini dapat terjadi karena derajat stress ditentukan oleh produksi za biokimia otak yaitu dopamine, epinephrine (dikenal juga dalam sebutan adrenaline), dan norepinephrine (atau juga disebut dengan noradrenaline). Proses produksi zat ini bisa berbeda bagi tiap-tiap orang dan kapabilitas toleransi tiap orang terhadap zat inipun beragam. Inilah alasan mengapa terkadang ada karyawan yang sangat rentan terhadap stress sementara karyawan lain terlihat lebih mampu menghandlenya.

Selain itu, produksi ketiga zat biokimia ini dapat menyebabkan berbagai dampak negatif apabila berlebihan. Dalam konteks pekerjaan, tingginya intensitas ketiga zat ini dapat memicu penurunan kinerja frontal cortex, bagian otak yang mengatur kinerja perilaku kognitif, pengambilan keputusan, dan emosi individu. Hal ini juga merupakan alasan mengapa performa karyawan dapat menurun drastis dalam keadaan stress dibanding dalam keadaan normal. Pula ini juga alasan mengapa individu cenderung lebih sensitif dan ‘terbawa perasaan’ ketika dalam keadaan stress.

Resiko lain yang dibuktikan oleh eksperimen Sheldon Cohen, Ph.D., seorang Professor of Psychology di Carnegie Mellon University kepada 400 subjek penelitiannya yang sedang dalam keadaan stress. 400 subjek ini kemudian secara sengaja dipaparkan dengan virus flu. Hasilnya, 90% dari keseluruhan subjek terjangkit virus flu dan membuktikan hipotesis Cohen bahwa keadaan stress menurunkan daya tahan tubuh terhadap penyakit. Selain itu, stress juga memicu diproduksinya hormon prolactin, dimana hormon ini diproduksi oleh kelenjar pituitari sebagai respon terhadap stress. Peningkatan hormon ini menyebabkan pembengkakan di daerah sendi dan dalam kasus serius juga menyebabkan rasa nyeri.

Penanggulangan Stress

Manajemen perlu mengetahui bahwa dampak stress yang berkepanjangan tidak hanya sebatas flu atau nyeri sendi, namun juga berpengaruh pada peningkatan sinyal elektrik pada hippocampus, bagian otak yang mengatur pembelajaran, memori, dan ketahanan stress. Pelemahan hippocampus akan berdampak pada depresi dan penyakit Alzheimer dalam jangka panjang. Karena itu, penting bagi perusahaan untuk menyeimbangkan dosis tekanan yang perlu dialami oleh masing-masing karyawan. Stress tidak sepenuhnya buruk, karena dalam batasan normal stress memicu kesadaran dan memancing energi dan potensi dalam diri karyawan. Namun ada kalanya manajemen perlu mengambil langkah mundur dan meninjau kembali apakah dosis stress karyawan sudah mulai keluar batas wajar. Apabila ya, manajemen perlu melakukan langkah penanggulangan misalnya dengan mengurangi pekerjaan karyawan atau dengan memberikan hari libur untuk beristirahat. Apabila tidak memungkinkan, manajemen perlu menginjak rem dengan memberikan dukungan pada karyawan dalam bentuk-bentuk yang sesuai dengan sumber daya dan kemampuan perusahaan.

(BACAAN SELANJUTNYA: Manfaat Corporate Wellness Bagi Perusahaan)

DIMENSI ASSESSMENT CENTER

Assessment center dapat didefinisikan sebagai teknik uji yang dirancang agar kandidat dapat mendemonstrasikan kemampuan yang esensial dalam kesuksesan sebuah pekerjaan dalam situasi tertentu yang distandarisasi (Coleman, 1987). Dalam definisi lain yang lebih sederhana, assessment center adalah prosedur yang komprehensif dan fleksibel untuk menguji kandidat dan untuk mengembangkan karyawan (Thornton & Rupp, 2006). Banyak bentuk assessment center yang umum dipakai perusahaan, contohnya wawancara, tes psikometri, simulasi, presentasi, dan lain-lain. Sifatnya yang fleksibel membuat assessment center dapat disesuaikan dengan jenis pekerjaan apapun, baik yang sifatnya teknis nyata, kemampuan manajerial, bahkan yang sifatnya abstrak seperti menguji cara pikir seseorang. Namun sering kali perusahaan tidak mampu mengidentifikasi kebutuhannya dan sembarang melakukan assessment center. Ada juga kasus dimana perusahaan salah menganalisa hasil assessment center sehingga hasil assessment center yang sebenarnya dapat dioptimalkan manajemen hanya sekedar dipakai untuk proses rekrutmen. Alhasil, sumber daya perusahaan untuk assessment center terbuang sia-sia.

Untuk memahami fungsi assessment center dan mengoptimalkan hasilnya, pertama-tama perusahaan harus mengerti dimensi apa yang dinilai oleh assessment center. Memang sifat assessment center dapat menyesuaikan kebutuhan masing-masing pekerjaan, namun secara general, perusahaan dapat mempertimbangkan teori 6 Dimensi Utama Assessment Center oleh Arthur, et. al. (2003).

  1. Communication

    Dimensi komunikasi menilai sampai sejauh mana seorang individu dapat memahami informasi secara verbal maupun tertulis dan dapat menanggapi pertanyaan dan tantangan yang berhubungan dengannya. Dimensi ini juga mengkaji bagaimana seorang individu dapat menyampaikan informasi secara verbal maupun tertulis, termasuk kemampuan presentasi dan surat menyurat.

  1. Consideration/Awareness of Others

    Dimensi ini menilai sampai sejauh mana tingkah laku seseorang merefleksikan perasaan dan kebutuhannya terhadap orang lain dan juga menilai tingkat kesadaran akan dampak dan implikasi dari keputusan mereka terhadap komponen dalam maupun luar perusahaan. Dimensi ini menilai tingkai kesadaran seorang individu terhadap lingkungan sosialnya, bagaimana ia berkonfrontasi, kemampuan interpersonal, dan objektivitas sosial. Selain itu, kerjasama, kemampuan untuk mengerti orang lain, kemauan untuk berkomunikais dalam kelompok, dan kepekaan juga dikaji dalam dimensi ini. Secara singkat, dimensi ini mengukur kemampuan interaksi sosial individu terhadap lingkungan sekitarnya.

  1. Drive

    Dalam dimensi ini, ukuran sejauh mana individu dapat menciptakan dan memelihara tingkat keaktifannya, menetapkan standar performa pribadi yang tinggi, dan mengungkapkan keinginan mereka untuk naik ke tingkatan pekerjaan yang lebih tinggi. Kandidat diuji tingkat agresifitasnya, komitmen priadi terhadap karir, dan motivasinya untuk pengembangan berkelanjutan. Dalam aspek perilaku, individu juga diuji energi, ketahanan, inisiatif, dan potensinya.

  1. Influencing Others

    Dimensi Influencing Others secara garis besar mengukur kemampuan leadership dan kemampuan persuasi seseorang. Seberapa mampu seorang individu mengajak orang lain untuk melakukan sesuatu atau mengadopsi sebuah cara pandang tertentu untuk menghasilkan hasil yang diinginkan pemimpin? Apakah dalam proses melakukan kegiatan tersebut, orang lain dapat diyakinkan untuk melakukannya atas motivasinya sendiri dan bukan atas dominasi si pembawa pengaruh tersebut? Dalam dimensi ini, yang dikaji adalah integritas, kemampuan negosiasi, independensi, dan karakter partisipan.

  1. Planning and Organizing

    Dimensi ini mengukur sampai sejauh mana seorang individu dapat mengatur pekerjaan dan sumber daya yang dimilikinya secara sistematis untuk pencapaian tugas yang efisien. Selain itu dari aspek masa depan, dimensi ini juga menilai sejauh mana individu dapat mengantisipasi masa depan dan menyiapkan diri terhadapnya. Dimensi ini mencakup kemampuan administratif, controlling, penjadwalan, pengaturan prioritas, pembentukan rencana taktis, strategic thinking, dan kepekaan terhadap waktu.

  1. Problem Solving

    Dimensi ini mengukur bagaimana individu dapat mengumpulkan informasi, memahami informasi teknis dan profesional yang relevan; menganalisa dan menggunakan informasi dengan efektif; menghasilkan pilihan, ide, dan solusi yang layak; memilih tindakan yang sesuai dengan masalah dan situasi; menggunakan sumber daya dengan cara-cara baru; dan kemampuan menghasilkan dan mendeteksi solusi yang imajinatif. Dimensi ini banyak berbicara mengenai tingkat kreatifitas individu ketika dihadapkan pada masalah dan sumber daya yang terbatas. Karena itu, dalam dimensi ini menilai kemampuan analitis, kemampuan mengambil keputusan, kemampuan mengartikan informasi, kemauan untuk belajar, kepekaan terhadap detail dan lain-lain.

  1. Stress Tolerance (opsional)

    Dimensi ini bukan dimensi utama yang wajib, namun dalam berbagai penelitian dimensi ini ikut dimasukkan. Dimensi ini mengukur sampai sejauh mana seorang individu dapat menjaga efektifitasnya dalam situasi yang berbeda dan dalam derajat tekanan, oposisi, dan kekecewaan yang beragam. Beberapa jenis pekerjaan sangat memerlukan penilaian dari dimensi ini, namun sebagian lain juga tidak banyak mementingkan sektor ini. Karena itu, dimensi ini dijadikan cadangan dan dapat dipertimbangkan perusahaan sesuai dengan job description yang dibutuhkan. Dimensi ini mengukur kemampuan beradaptasi, fleksibilitas perilaku, stress management, tingkat toleransi untuk keadaan yang tidak menentu, dan sampai sejauh mana individu dapat mempertahankan perilaku baik dalam krisis.

 

Referensi:

Arthur, Jr, W. & Bennett, W. & Edens, P. & Bell, S. (2003). Effectiveness of Training in Organizations: A Meta-Analysis of Design and Evaluation Features. The Journal of applied psychology. 88. 234-45. 10.1037/0021-9010.88.2.234.

Coleman, J. S. (1987). Families and Schools. Educational Researcher, 16(6), 32–38. https://doi.org/10.3102/0013189X016006032

Thornton, G. C. III, & Rupp, D. E. (2006). Assessment centers in human resource management: Strategies for prediction, diagnosis, and development. Lawrence Erlbaum Associates Publishers.

HUMAN PSYCHOLOGY – MERASA ‘BERARTI’ ITU PERLU

Berdasarkan data yang dirilis oleh Gallup pada 2013, hanya 13% karyawan yang terlibat dengan pekerjaannya di seluruh dunia. Kecilnya angka ini menunjukkan kondisi emosional karyawan terhadap lingkungan pekerjaan yang memprihatinkan. 63% dari karyawan dari 140 negara yang terlibat dalam survei ini mengaku tidak termotivasi dengan pekerjaannya dan cenderung enggan memberikan usaha ekstra kepada perusahaannya. 24% sisanya mengaku benar-benar tidak bahagia dengan pekerjaannya dan tidak produktif di tempat kerja. Angka-angka ini pun mengarahkan manajemen pada sebuah pertanyaan besar yang perlu dikaji oleh perusahaan—mengapa karyawan tidak terlibat kepada perusahaan?

Langkah pertama yang perlu dianalisis oleh perusahaan adalah menganalisis mengapa karyawan tidak temotivasi. Menurut Kahn (1992), ‘arti’ psikologis yang diterima oleh individu mempengaruhi performa peran orang tersebut. Sehingga, PR pertama perusahaan adalah mencari cara bagaimana memberikan ‘arti’ bagi seorang individu. Faktor tersebut adalah karakteristik tugas, karakteristik peran, dan interaksi dalam pekerjaan.

  1. Karakteristik tugas

    Seseorang yang melakukan pekerjaan yang menantang, jelas tujuannya, bervariasi, kreatif, dan dalam batasan tertentu memiliki otonomi kuasa sendiri—orang ini akan cenderung memiliki perasaan bahwa pekerjaannya berarti  (Kahn 1990). Secara alamiah manusia ingin membuktikan dirinya dan kebutuhan ini termasuk kedalam kebutuhan tertinggi manusia menurut teori kebutuhan Maslow (1943). Pentingnya penghargaan terhadap tugas merupakan sesuatu yang kadang diremehkan perusahaan. Karyawan perlu merasa bahwa ia sedang menerima sebuah ‘kehormatan’ untuk menerima tugas, bukannya ‘beban’. Individu yang semakin tertantang untuk menahlukkan sebuah tugas tertentu akan memiliki motivasi yang lahir dari dirinya sendiri untuk benar-benar melakukannya. Contoh yang diberikan Kahn menggambarkan apresiasi yang tepat kepada individu yang berhasil melakukan karakteristik tugas yang sulit. Kahn menggambarkan situasi dimana seorang instruktur selam memberikan kesan terhadap kelas selam yang barusan ia ajar;“Kelas barusan merupakan kelas yang paling sulit dan paling berarti daripada kelas-kelas lain yang pernah saya ajar. Penyelaman tadi merupakan penyelaman yang sulit karena kondisi cuaca yang berbahaya. Saya juga harus berhati-hati setiap saat—saya harus mengawasi para penyelam dan persediaan oksigen mereka, kondisi kompas, juga gelombang dan ombak yang ada. Penyelaman tadi sulit, tapi rasanya sangat hebat.”

  1. Karakteristik peran

    Dimensi peran juga termasuk bahan yang perlu dipertimbangkan perusahaan. Pasalnya peran melambangkan influence, status, dan rasa “penting”. Seseorang akan merasa berarti saat ia memiliki sebuah peran dimana dia dapat meng-influence orang lain, menempati posisi yang penting dalam sistem, dan menerima status yang diinginkan. Menurut Lasch (1984), manusia akan selalu mencari-cari cara yang membuat mereka merasa penting dan istimewa, terutama bila dilihat dari skala dunia dimana mereka merasa bukan siapa-siapa. Perusahaan perlu merancang peran dimana meskipun karyawan hanya menyelesaikan pekerjaan kecil, namun mereka secara tidak langsung juga memberikan dampak bagi masyarakat luas. Peran karyawan perlu dibuat seakan-akan posisi tersebut dirancang hanya untuk orang pilihan atau dirinya seorang. Peran yang seperti ini akan membuat karyawan merasa dibutuhkan dan bukan hanya sebagai ‘budak’ pelaku pekerjaan perusahaan.

  1. Interaksi dalam pekerjaan

    Interaksi yang dimaksud dalam konteks ini adalah interaksi yang bersifat mengapresiasi pekerjaan seseorang. Saat seorang karyawan dipuji, maka pujian tersebut sifatnya meleburkan dimensi dunia profesional dan dimensi pribadi. Interaksi seperti ini cenderung mempersatukan dan menciptakan hubungan baik. Karyawan yang dipujipun merasa bahwa dirinya bernilai, dihargai, dan berarti bagi perusahaan. Bila pekerjaannya tidak diakui, maka karyawan akan cenderung menahan diri untuk kembali memberikan usaha mereka yang terbaik. Meski terlihat sepele, interaksi positif seperti ini sangat ampuh hingga sekarang. Contoh pemberian pujian paling sederhana yang dilakukan sebuah rumah sakit di Amerika Serikat adalah dengan menerapkan  taktik “interaksi positif” ini untuk mendorong staf rumah sakit untuk mencuci tangan. Pihak rumah sakit menaruh sebuah monitor di atas wastafel yang akan secara otomatis memberikan pujian seperti “good job!” ketika staf mencuci tangannya. Upaya pemberian pujian ini sangat simple dan terbukti lebih efektif dibandingkan dengan upaya sebelumnya yaitu memasang poster-poster berisi bermacam-macam bahaya higienitas yang minim. Dari penjabaran di atas, perusahaan dapat mengetahui bahwa pengakuan atas pekerjaan, peran dan interaksi positif dapat meningkatkan rasa ‘belonging’ karyawan. Meskipun terlihat sederhana, ternyata aspek psikologis berupa penghargaan dan pemberian arti sangat berpengaruh pada engagement karyawan. Setelah seragkaian penjelasan di atas, tidak terlambat bagi perusahaan untuk mulai menciptakan lingkungan pekerjaan yang lebih baik dari sekarang.

 

Referensi:

Kahn, W. A. (1990). Psychological Conditions of Personal Engagement and Disengagement at Work. The Academy of Management Journal, 33(4), 692–724. https://doi.org/10.2307/256287
Kahn, W. A. (1992). To Be Fully There: Psychological Presence at Work. Human Relations, 45(4), 321–349. https://doi.org/10.1177/001872679204500402
Lasch, Christopher. 1984. The Minimal Self: Psychic Survival in Troubled Times. London : Picador.

EMPLOYEE VALUE PROPOSITION DAN EMPLOYEE ENGAGEMENT WWF

People may not remember exactly what you did or what you said, but they will always remember how you made them feel.

Orang bisa tidak mengingat persis apa yang Anda pernah lakukan atau apa yang Anda pernah katakan, namun mereka akan selalu mengigat bagaimana Anda pernah membuat mereka merasakan sesuatu.

-Tony Hsieh, CEO Zappos

Seperti kutipan CEO Zappos, Tony Hsieh, pada umumnya manusia cenderung mengingat perasaan. Contohnya bagaimana mereka merasa berterima kasih terhadap budi baik orang lain atau bagaimana mereka merasa marah atas perlakuan orang lain yang tidak pantas. Dalam ilmu Marketing Management, hal ini merupakan ilmu psikologi yang mendasari customer experience, customer loyalty, dan customer engagement. Banyak perusahaan sudah memahami konsep ini, namun mereka tidak menyadari bahwa konsep yang sama perlu diterapkan ke dalam perusahaan.

Employee Value Proposition untuk Employee Engagement

Dalam menciptakan employee engagement, diperlukan pendekatan terhadap karyawan. Sama seperti sebuah perusahaan yang berusaha mendekati konsumen untuk melihat nilai dan benefit produk, perusahaan juga perlu mendekati karyawan untuk bisa menyadari nilai dan benefit pemberi kerja. Usaha pendekatan ini merupakan usaha ‘branding’ perusahaan terhadap konsumen maupun karyawan. Konsep pendekatan ini berbicara mengenai bagaimana perusahaan ingin menciptakan sebuah hubungan yang intim dan mendalam terhadap konsumen dan karyawan, sehingga mereka jatuh cinta terhadap perusahaan dan “mendarah daging” dengan perusahaan.

Tandehill (2006) menyatakan definisi employee value proposition yang menarik; EVP sebagai sebuah statement mengapa pengalaman kerja dalam organisasi satu lebih baik daripada oraganisasi lain. Contoh pengaplikasian EVP yang sukses adalah pada organisasi nirlaba yang berhasil menarik orang untuk melakukan donasi atau memberikan bantuan sukarela tanpa dibayar. Bagaimana organisasi tersebut menarik orang untuk memberikan sumber daya pada mereka tanpa kompensasi?

Mari ambil contoh, WWF (World Wildlife Fund) yang merupakan organisasi nirlaba yang bergerak di bidang konservasi ekosistem di seluruh dunia. WWF mampu menciptakan engagement dengan menggunakan emotional approach dimana WWF mengajak orang untuk sadar akan pentingnya konservasi dan ecosystem sustainability untuk masa depan bumi sebagai temapt tinggal yang lebih baik. WWF berusaha untuk menekankan bahwa pelestarian alam itu krusial dan perlindungan terhadap ekosistem sangat dipelukan. Bila alam rusak, maka kemana Anda akan pindah? Kesadaran ini dijadikan landasan bagi WWF menarik orang untuk mengambil langkah nyata sekarang sebelum terlambat. Langkah keterlibatan yang bisa diambil bisa berbagai macam, contohnya berupa donasi atau bantuan tenaga dalam organisasi. Tidak heran bahwa dalam proses perekrutan staf, WWF menonjolkan bagian dimana orang-orang bisa memberikan kontribusi dan perubahan terhadap bumi.

Imagine waking up every morning, ready to take on important work in an organization that is changing the world. Imagine building your career while protecting the future of nature for generations to come. At WWF, our employees know they are making a difference every day.

Bayangkan bila tiap pagi Anda bangun, siap untuk mengambil pekerjaan penting dalam organisasi yang mengubahkan dunia. Bayangkan Anda sedang membangun karir sambil melindungi alam untuk generasi yang akan datang. Di WWF, karyawan kami tahu bahwa mereka sedang membuat perubahan setiap harinya.

-WWF

WWF membuat dua hal yang terlihat tidak berhubungan—mengubah dunia dan membangun karir—menjadi sebuah hal yang terjalin sempurna. WWF membuat pengalaman kerja di WWF berbeda dari bekerja bagi organisasi lain karena di WWF, Anda dapat membawa perubahan bagi dunia. Inilah yang menjadi EVP dari WWF, bahwa Anda bekerja bukan bagi WWF, namun bagi kebaikan dunia dan masa depan generasi anak cucu Anda. Dari pendekatan ini, calon partisipan dapat memahami kultur organisasi dan bahkan mengadopsi visi organisasi menjadi visi pribadi mereka. Hal inilah yang disebut proses engagement, dimana organisasi mendarah daging ke partisipannya. Orang-orang seperti inilah yang menguntungkan perusahaan/organisasi, karena mereka secara otomatis terarahkan kepada visi dan tujuan jangka panjang tanpa perlu terus-menerus dimotivasi.

Perusahaan juga harus menemukan value proposition yang dapat ditawarkan kepada karyawannya. Manajemen bisa berangkat dari pertanyaan ini; mengapa orang yang bertalenta harus bekerja pada Anda dan bukan pada perusahaan lain? Nilai dan benefit unik apa yang dapat dirasakan karyawan saat bekerja pada perusahaan Anda? Siapkah perusahaan memikat pribadi karyawan?

PENGARUH PERUBAHAN CUACA TERHADAP MOOD DAN PRODUKTIVITAS KARYAWAN

Telah terbukti dalam studi, bahwa perubahan cuaca memiliki dampak terhadap perubahan mood. Cuaca cerah diindikasikan memicu energi positif, dan begitu pula sebaliknya. Menurut BMKG, curah hujan di Indonesia berkisar di antara 500mm – 4.000mm per tahunnya. Setiap tahunnya, pemerintah Indonesia di tingkat daerah harus mempersiapkan mitigasi guna menghindari dan meminimalkan risiko bencana hidrometeorologi. Bagaimana dengan perusahaan? Apa yang perlu disiapkan perusahaan untuk menjaga mood dan produktivitas karyawannya?

Emosi vs. Feeling vs. Mood

Menurut 6seconds, sebuah organisasi yang bergerak di bidang emotional intelligence, emosi adalah zat kimia yang diproduksi oleh tubuh sebagai bentuk respons dari rangsangan yang diterima. Otak hanya perlu ¼ detik untuk mengidentifikasi pemicunya ditambah ¼ detik lagi untuk memproduksi zat ini. Emosi biasanya hanya bertahan setidaknya 6 detik. Dari emosi, terbentuk feeling. Feeling terjadi ketika emosi ‘dirasakan’ dan ‘diresapi’ oleh individu. Feeling merupakan sensasi atas rangsangan emosi yang diresapi. Berbeda dengan moodmood merupakan campuran dari feeling dan emosi yang bertahan selama periode waktu yang lebih lama. Mood dapat dipengaruhi oleh faktor-faktor eksternal (cuaca, penerangan, suasana, dll) atau oleh faktor internal (apa yang sedang difokuskan dan emosi yang sedang dirasakan).

Cuaca dan Mood

Dalam sebuah penelitian di Jerman terhadap lebih dari 1600 individu, terbukti bahwa individu yang terekspos oleh sinar matahari secara reguler memiliki stabilitas mood yang berbeda dibanding dengan yang tidak. Dalam studi ini dijabarkan bahwa kulit yang terekspos sinar matahari akan memicu produksi zat serotonin di otak. Zat serotonin sendiri merupakan zat biokimia yang membantu mengurangi depresi dan kegelisahan, sekaligus memicu kesenangan. Peningkatan zat serotonin dalam tubuh akan menstabilkan mood dan membantu individu untuk lebih fokus. Sementara kadar serotonin yang rendah diindikasikan dengan efek negatif dan depresi.

Cuaca dan Produktivitas

Apa Anda pernah membaca buku, menghabiskan beberapa paragraf dan halaman, namun sampai di suatu titik Anda tidak merasa membaca sesuatu? Lalu dengan terpaksa, Anda harus menghabiskan beberapa waktu lagi untuk mengulang bacaan Anda dari titik terakhir yang Anda ingat. Bila ya, maka secara tidak sadar Anda sudah melakukan mind wandering. Dalam sehari, rata-rata otak manusia melakukan mind wandering adalah 50-80%. Dapat dibayangkan betapa terbatasnya waktu otak dalam mode fokus dibandingkan dengan mode mind wandering. Padahal tingginya intensitas mind wandering sering dihubungkan dengan tingginya kegelisahan, depresi, kurang fokus, dan dalam kasus terparah dapat memicu dementia.

Sebaliknya, produktivitas tentu akan meningkat secara otomatis dengan peningkatan fokus dan konsentrasi. Namun pertanyaannya, bagaimana kita bisa mengaktifkan mode fokus otak kita saat bekerja? Cuaca, dalam hal ini, memiliki pengaruh dalam tingkat konsentrasi. Ada tiga faktor utama yang dapat mempengaruhi konsentrasi yaitu; kelembapan, temperatur, dan waktu atas cahaya matahari. Dari ketiga faktor ini, kelembapan merupakan faktor yang terbukti secara dramatis mempengaruhi konsentrasi. Kelembapan yang terlalu tinggi ternyata beresiko mengurangi konsentrasi. Hal ini juga berarti di waktu hujan ketika tingkat kelembapan terlalu tinggi, maka konsentrasi bisa berkurang.

Di sisi lain, temperatur udara juga terbukti berpengaruh pada tingkat skeptisme individu. Sementara lawannya, optimisme, dipengaruhi secara signifikan oleh waktu atas cahaya matahari. Semakin lama seseorang terpapar cahaya matahari, diindikasikan bahwa orang tersebut cenderung akan lebih optimis. Bahkan dalam studi lanjut, optimisme juga dikaitkan dengan perilaku suka membantu, sehingga tingginya waktu atas cahaya matahari juga berpengaruh terhadap perilaku membantu seseorang.

Bagaimana cuaca dapat mempengaruhi mood dan produktivitas merupakan dimensi yang jarang dipertimbangkan oleh perusahaan. Padahal ternyata perubahan cuaca dapat berpengaruh terhadap lingkungan pekerjaan Anda. Ada baiknya bagi perusahaan untuk mulai memperbaiki infrastruktur kantor maupun pabrik, sehingga karyawan dapat bekerja dengan lebih maksimal. Untuk jangka panjang, perusahaan juga bisa mengurangi klaim atas gangguan kesehatan dan meningkatkan atmosfir kerja yang lebih kondusif.