Paling tidak, 25-40% populasi dunia adalah orang-orang introvert. Ini berarti, kira-kira ada lebih dari 3,7 milyar orang introvert di seluruh dunia. Jumlah ini tentu tidak sedikit, tapi sering kali perusahaan tidak menganggap jumlah ini sebagai sebuah hal yang serius. Padahal kebutuhan karyawan introvert berbeda dari karyawan extrovert. Oleh karena itu, perusahaan sering kali menggeneralisasi kebutuhan karyawan tanpa mengetahui dampak signifikan dari perbuatan perusahaan tersebut.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Adam Grant dari Wharton School mencatat bahwa pemimpin yang introvert cenderung lebih mampu untuk memberikan hasil yang lebih baik daripada pemimpin extrovert. Setelah dikaji, ternyata ada perbedaan gaya kepemimpinan antara dua kubu ini. Pemimpin introvert cenderung mengarahkan karyawannya yang proaktif untuk mengembangkan ide-idenya. Pemimpin yang extrovert kadang cenderung kurang menghargai ide-ide karyawan sehingga mereka merasa tidak dihargai dan akhirnya enggan bekerja lebih keras. Hasil penelitian ini tentu tidak mutlak menyatakan bahwa orang introvert adalah pemimpin yang lebih baik dari orang extrovert, namun dapat ditarik kesimpulan bahwa orang introvert memiliki kesempatan yang sama dengan extrovert untuk dapat unggul di pekerjaannya.
Selama ini, masyarakat awam terlalu terpaku pada mindset bahwa orang introvert merupakan penurut yang baik. Mereka cenderung tidak aktif memberi sumbangsih ide dan hanyalah sekedar seorang pekerja baik. Perlu dicatat, bahwa introvert bukan kelompok orang pemalu. Manajemen perlu menyadari bahwa introvert bukan kelompok orang yang tidak pandai bicara atau orang yang tidak menyukai kerumunan orang. Introvert adalah kelompok orang yang cenderung tidak menunjukkan reaksi berlebih ketika diberi stimulus. Bahkan kecenderungan mereka malah tidak menyukai stimulus yang berlebihan. Misalnya, ketika bertugas, orang introvert cenderung tidak ingin diganggu dan ingin fokus pada tugasnya. Meskipun tugasnya sepele, kadang introvert cenderung tidak suka diajak bicara sambil bekerja. Bahkan dalam sebuah studi yang dilakukan sejak tahun 1964 oleh Vermolayeva-Tomina telah mengidentifikasi pengaruh adanya distraksi terhadap kinerja pemecahan masalah orang introvert. Menyadari bahwa lingkungan kerja ternyata berpengaruh pada kinerja orang introvert, bukankah seharusnya perusahaan menyadari masalah ini serius?
Pada seminar Ted Talks, Susan Cain, penulis “Quiet: The Power of Introverts in a World That Can’t Stop Talking” menjelaskan bahwa kebanyakan orang kreatif merupakan orang-orang introvert yang membutuhkan kesendirian. Susan Cain menjabarkan bagaimana dalam kesendirian, biasanya orang akan berpikir lebih jernih dan tenang. Dari situlah muncul ide dan pikiran. Susan juga menjelaskan pentingnya waktu ‘sendiri’ bagi individu, terutama introvert untuk menggali ide dan barulah kemudian membagikannya pada lingkungannya. Berbeda dengan tipe extrovert yang bekerja dengan baik saat diberi stimulus atau rangsangan tertentu, barulah di pikirannya muncul ide dan pikiran baru.
Lalu bagaimana perusahaan dapat memfasilitasi dua macam karyawan seperti ini?
Kurangi Stimulus untuk Introvert
Sebuah penelitian pada 76 mahasiswa mencatat bahwa kinerja orang introvert sangat terpengaruh oleh stimulus yang diterimanya. Dalam penelitian ini, Furnham & Strbac (2002) memberikan stimulus berupa musik kepada mahasiswa dan memberikan tugas berupa mengingat, membaca, dan aritmetika. Hasilnya menyatakan bahwa kinerja orang introvert menunjukkan penurunan hasil yang cukup drastis dibanding dengan kinerja orang extrovert. Orang introvert cenderung membutuhkan ketenangan dalam bekerja sehingga distraksi berupa musik atau suara yang mengalihkan perhatiannya dapat menjadi rintangan bagi mereka untuk bekerja dengan baik.
Personal Space
Pada umumnya, karyawan kantoran lebih suka apabila ia memiliki hak atas personal space-nya (Wineman, 1982). Personal space bisa jadi merupakan meja pribadi atau bagian kantor yang didedikasikan untuk dirinya sendiri. Namun ternyata, ada hubungan antara meluasnya personal space dengan kepuasan pribadi karyawan. Hubungan ini juga ternyata berkaitan dengan tingkat kompleksitas pekerjaan. Semakin kompleks pekerjaan, ternyata karyawan menuntut adanya ruang kerja yang lebih privat. Meskipun dalam penelitian lain, terbukti bahwa kinerja karyawan cenderung meningkat bila ditemukan dengan karyawan lain yang bekerja juga. Terutama dalam pekerjaan yang sifatnya repetitif atau berulang, performa kerja karyawan yang bekerja sendiri ternyata lebih kecil. Dari fakta ini, dapat disimpulkan bahwa perlunya ada ruang kerja bersama, namun dalam ukuran tertentu, perusahaan perlu memberikan ‘ruang’ privat dimana setiap orang memiliki derajat privasi yang terjaga.
Pada akhirnya, pertanyaan kembali diajukan pada manajemen—sudahkah perusahaan memfasilitasi kebutuhan para karyawan yang introvert? Perusahaan besar seperti Facebook dan Google telah mencoba menerapkan taktik memfasilitasi kebutuhan karyawan introvert dengan menyediakan ‘ruang kerja rahasia’ dan private pods, furnitur spasial untuk mengakomodasi tempat kerja satu orang. Alhasil, perusahaan ini menuai komentar positif dari karyawan yang merasa kebutuhannya terjawab sehingga kinerja merekapun bisa berlipat. Memuaskan setiap karyawan memang mustahil. Namun apabila kebutuhan dirasa mendesak dan dapat mendukung performa kerja mereka, selama masih dalam batas kemampuan perusahaan, maka ada baiknya perusahaan memfasilitasi kebutuhan tersebut demi performa perusahaan yang lebih baik kedepannya.
Referensi:
Furnham, A., & Strbac, L. (2002). Music is as distracting as noise: The differential distraction of background music and noise on the cognitive test performance of introverts and extraverts. Ergonomics, 45(3), 203–217. https://doi.org/10.1080/00140130210121932
https://knowledge.wharton.upenn.edu/article/analyzing-effective-leaders-why-extraverts-are-not-always-the-most-successful-bosses/
https://www.ted.com/talks/susan_cain_the_power_of_introverts
Gray, J. A. (1967). Strength of the nervous system, introversion-extraversion, conditionability and arousal. Behaviour Research and Therapy, 5(3), 151–169. https://doi.org/10.1016/0005-7967(67)90031-9
Wineman, J. D. (1982). Office design and evaluation: An overview. Environment and Behavior, 14(3), 271–298. https://doi.org/10.1177/0013916582143002