GOOGLE : THE HAPPY EMPLOYEES

“I Hate Monday”

Bagi sebagian besar orang, Senin adalah hari paling terkutuk dan dibenci dalam seminggu. Namun benarkah orang-orang membenci hari Senin? Atau mereka tidak menyukai ide ‘kembali kerja’ setelah weekend? Apakah bagi karyawan, membayangkan tempat kerjanya adalah seperti membayangkan neraka?

Sebagai manager, tentu tujuan utama departemen personalia adalah menyejahterakan karyawannya. Goal yang ingin dituju adalah bagaimana karyawan bisa senang, puas, dan bangga terhadap perusahaannya. Harapannya bahwa dengan karyawan yang senang, perusahaan juga bisa disenangkan dengan produktivitas dan output yang dihasilkan. Secara sederhana, begitulah konsep employee engagement yang perlu diterapkan perusahaan.

Employee Happiness

Menurut Jessica Wisdom dari People & Innovation Lab Division di Google, perusahaan senantiasa harus memelihara employee happiness. Google, sebagai pengembang IT ternama di dunia, juga memprioritaskan kebahagiaan karyawan demi memfasilitasi mereka untuk bekerja lebih produktif. Kebahagiaan karyawan menjadi pondasi utama untuk membangun engagement yang baik, yang kemudian berbuah produktivitas yang lebih baik. Namun seringkali kebahagiaan didefinisikan sebagai goal yang terlalu abstrak dan tidak realistis. Lalu bagaimana perusahaan bisa membahagiakan karyawan dengan cara-cara yang nyata?

(BACA JUGA: How Stress Works?)
Belajar dari Upaya Google

Google adalah perusahaan yang bergerak dengan basis data. Bahkan kebahagiaan karyawannyapun juga diraih dengan analisis dan hasil penelitian yang mendalam. Tahap sederhana yang krusial dalam pengumpulan data Google adalah tes kepribadian. Setiap calon karyawan Google wajib mengikuti personality test, seperti kebanyakan perusahaan pada umumnya. Namun yang menarik adalah hasil tes tidak hanya dipakai menjadi bahan pertimbangan proses rekrutmen saja, namun juga sebagai dimasukkan keadalam database Google yang disebut Psychological Profiling. Dari hasil analisis profiling ini, Google mendesain program-program karyawan yang berdampak real.

Sebut saja, contoh sederhananya adalah free food. Google dikenal sebagai kantor yang menyediakan fasilitas makanan gratis pagi, siang, dan malam. Google tidak hanya menyediakan tipikal makanan “gratis” yang murahan, Google bahkan menyewa chef untuk memasakkan karyawannya. Tidak berhenti sampai disitu, Google rela run the extra mile dengan mempekerjakan chef-chef tersebut untuk menganalisis menu makanan yang menyehatkan karyawannya. Bagi Google, biaya makanan karyawan memang besar. Namun bukankah biaya employee turnover juga sama besarnya?

Contoh lainnya adalah berupa free workspace. Kantor Google didesain dengan banyak ruang terbuka (free spaces) dan beragam fasilitas tambahan lain untuk menunjang kehidupan karyawan di kantor. Google menyadari bahwa waktu yang dihabiskan oleh karyawan di kantor sangat menyita waktu pribadi karyawan, belum termasuk dengan waktu yang dihabiskkan untuk transportasi. Jadi Google mengambil langkah inisiatif untuk mendesain fasilitas perpustakaan, studio musik, gym, massage, dan beragam fasilitas entertainment lain yang boleh digunakan oleh karyawan. Tidak hanya itu, Google juga menyadari pentingnya karyawan untuk tidak terjebak dimeja kerjanya dan krusialnya hubungan antar pekerja departemen. Hal inilah yang mendasari Google untuk merancang kantor dengan banyak ruang terbuka dimana karyawan bisa duduk bekerja di ‘ruang tamu’ sambil bercengkrama dengan karyawan divisi lain atau untuk sekedar mencari inspirasi. Tidak hanya ‘ruang tamu’, Google juga memiliki banyak ruang kecil terpisah bagi karyawannya yang kesulitan untuk bekerja di ruang penuh keramaian. Dengan adanya free spaces ini, Google berusaha mencegah karyawan yang ‘sumpek’ atau karyawan yang hanya akrab dengan divisi/departemennya sendiri.

Bahkan Google juga menyadari pentingnya hari yang dimulai dengan baik. Ada berapa banyak dari karyawan yang sering datang ke kantor dengan wajah kesal karena kesulitan parkir atau karena pekerjaan rumah yang belum selesai? Google menyediakan fasilitas valet parking bagi setiap karyawan—tidak terkecuali manajemen atas saja—dan fasilitas laundry gratis. Bahkan Google juga membebaskan karyawannya untuk membawa binatang peliharaan karyawan ke kantor, sehingga karyawan tidak perlu khawatir meninggalkan binatang perliharaannya dirumah seharian. Hal ini mungkin terdengar simpel, namun cukup revolusioner karena mencegah terjadinya mood karyawan yang rusak di pagi hari.

Serangkaian upaya Google yang dibahas tadi baru beberapa bentuk saja dan belum mencakup seluruh upaya Google dalam menyejahterakan karyawannya. Namun dari sini perusahaan bisa belajar bahwa penting untuk mengenal perilaku dan karakteristik karyawan dalam bekerja. Google melakukannya dengan teknik paling mudah dan yang sebenarnya sudah dilakukan kebanyakan perusahaan—yaitu dengan melakukan tes kepribadian. Namun sudahkah perusahaan menggunakan data yang ada dengan semaksimal mungkin? Data yang dimiliki perusahaan seharusnya dipakai untuk mengembangkan cara-cara yang sekiranya dapat ‘membahagiakan’ karyawan. Apa yang bisa membuat mereka senang? Apa yang membuat mereka merasa kesal dan tertekan? Dengan pengenalan perilaku karyawan, perusahaan bisa meminimalisir terjadinya error dalam merancang program karyawan yang sia-sia dan mengalihkan sumber daya untuk mendesain cara-cara simpel yang bisa mendorong kebahagiaan karyawan. Apabila karyawan senang dengan pekerjaannya, Senin tidak lagi jadi masalah bagi perusahaan.

Recommended Posts