Transformasi Budaya sebagai Kunci Mengatasi Quiet Quitting

Quiet quitting menjadi salah satu tren di tahun 2022 yang dikhawatirkan oleh para pemimpin saat ini. Tren ini mengacu pada perilaku karyawan yang kurang termotivasi untuk meningkatkan kemampuan dan kariernya sehingga cenderung tidak memiliki inisiatif dalam melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Gallup’s State of the Global Workplace (2022) menyatakan bahwa perusahaan di dunia kehilangan $7,8 triliun karena menurunnya produktivitas dan keterlibatan karyawan dalam pekerjaannya. Di sisi lain, Gallup (2022) menemukan bahwa 50% atau bahkan lebih dari itu karyawan di AS merupakan tipikal karyawan yang mudah menyerah sehingga mendorong terjadinya quiet quitting. Fenomena quiet quitting disebabkan oleh satu masalah utama, yaitu terkait janji perusahaan pada karyawan yang tidak ditepati.

Continue reading

Tren Kerja Gen Z: Quiet Quitting

Di tahun 2022 ini banyak bermunculan komentar pada platform Tiktok dari karyawan generasi Z yang mengungkapkan rasa frustrasi mereka mengenai lingkungan kerja. Fenomena ini menyebabkan banyak karyawan melakukan quiet quitting, yaitu cara bagi karyawan untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya, menetapkan batasan dan tidak melakukan pekerjaan tambahan, tidak ada keinginan untuk mengembangkan kemampuan, memandang pekerjaan atau tempat bekerja secara apatis sehingga seseorang bersikap pasif dan kurang inisiatif. Intinya, quiet quitting tidak berarti karyawan meninggalkan pekerjaan sepenuhnya karena mereka tetap membutuhkan pendapatan.

Menurut penelitian Gallup (2022), hampir 50% karyawan di Amerika Serikat ingin melakukan quiet quitting. Akibatnya, 32% dari karyawan tersebut mengalami penurunan keterlibatan sedangkan 18% dari mereka tetap terlibat aktif di perusahaan. Gallup menemukan bahwa angka tersebut didominasi oleh karyawan muda di bawah umur 35 tahun. Gen Z merasa bahwa perusahaan tidak peduli atas kehidupan pribadi maupun kariernya sehingga mereka terdorong untuk melakukan quiet quitting.

Terdapat beberapa penyebab di balik maraknya quiet quitting yang dilakukan oleh Gen Z, di antaranya:

  • Beberapa karyawan Gen Z menuliskan keluhan mereka di media sosial mengenai kekecewaan mereka terhadap perusahaan yang berpengaruh pada kebahagiaan dan kepuasan karyawan sehingga mereka memilih untuk melakukan quiet quitting daripada resign karena tetap mempertimbangkan jenjang kariernya.
  • Beberapa karyawan senior berpendapat bahwa tren quiet quitting adalah akibat dari kemalasan atau kurangnya ambisi karyawan Gen Z. Beberapa karyawan Gen Z berpendapat bahwa mereka hanya melakukan apa yang diharapkan dari mereka secara kontraktual sehingga mampu menjaga work-life balance.
  • Bagi Jaya Dass, direktur pelaksana Randstad untuk Singapura dan Malaysia, quiet quitting adalah dampak dari pandemi Covid – 19, di mana sistem work from home membuat karyawan merasa diberdayakan untuk mengerjakan pekerjaan lebih banyak dari tugas mereka sebelumnya dan secara bersamaan juga harus menyeimbangkan kehidupan pribadinya sehingga mereka merasa kelelahan.

Quiet quitting memiliki dampak positif dan negatif bagi karyawan maupun perusahaan. Dampak positifnya adalah work life balance bagi pekerja yang menurunkan stres dan burn out. Dampak negatifnya adalah produktivitas pekerja yang menurun dan konsekuensi paling fatal adalah PHK karyawan karena dianggap tidak memiliki performa yang baik dalam bekerja.

Tentu saja untuk menghadapi tren ini, HR perlu mengambil beberapa langkah strategis. Ada 3 hal yang dapat dilakukan, antara lain:

  • Membangun relasi dengan komunikasi yang lebih terbuka

    Jika manajemen memutuskan memberikan penambahan tanggung jawab untuk tujuan pengembangan karyawan ybs, maka perlu disampaikan secara lebih transparan. Selain itu, juga perlu didiskusikan ekspektasi dan aspirasi karir dari karyawan ybs sehingga program pengembangan yang telah direncanakan dapat berjalan maksimal dan mendukung optimalisasi kapasitas individu.

  • Menjaga batasan “professional life vs personal life”

    Memahami batasan antara waktu kerja dan waktu pribadi adalah penting, seperti contohnya perlu diperjelas bahwa memberikan respon (menjawab panggilan/ pesan singkat) di luar jam kerja sifatnya opsional namun dengan tetap memperhatikan urgency-nya.

  • Menyiapkan program apresiasi dan pengembangan

    Salah satu yang menjadi penyebab quiet quitting adalah perasaan kecewa dengan perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan dapat menyiapkan program apresiasi yang dapat diberikan oleh karyawan, baik secara finansial maupun non-finansial. Selain itu, program pelatihan dan pengembangan karyawan juga penting untuk terus dilakukan. Ketika hal ini dilakukan secara konsisten, maka dapat memberikan kontribusi positif ke tingkat employee engagement karyawan.

 

Referensi:
https://www.cnbc.com/2022/08/30/is-quiet-quitting-a-good-idea-heres-what-workplace-experts-say.html
https://www.hrexchangenetwork.com/employee-engagement/articles/gen-z-is-quiet-quitting-a-problem-or-a-wake-up-call
https://www.techtarget.com/whatis/feature/Quiet-quitting-explained-Everything-you-need-to-know
https://www.gallup.com/workplace/398306/quiet-quitting-real.aspx
https://employers.glints.com/id-id/blog/menghindari-queit-quitting/