APA YANG DITUNTUT GENERASI MILENIAL DI TEMPAT KERJA?

Bila dilihat dari generasi X dan generasi sebelumnya, fenomena yang kerap terjadi adalah tenaga kerja generasi milenial lebih mudah berpindah pekerjaan. Survei Deloitte (2017) pada 30 negara maju dan berkembang, 38% tenaga kerja generasi milenial berencana pindah perusahaan dalam 2 tahun mendatang. Bahkan, tidak jarang pula mereka benar-benar berpindah industri. Kecilnya retensi tenaga kerja generasi milenial membuat perusahaan harus mengeluarkan banyak biaya untuk perputaran karyawan setiap tahunnya. Lalu apa sebenarnya yang diharapkan oleh tenaga kerja generasi milenial di tempat kerja?

Pada TedX, Keevin O’Rourke, CEO Monday Creatives sekaligus mewakili generasinya, memaparkan bahwa ada dua hal utama yang dituntut oleh generasi milenial di tempat kerja; otonomi dan arti.

Otonomi

Otonomi yang dimaksud, dijabarkan lebih jelas oleh Daniel Pink dalam bukunya Drive: The Surprising Truth About What Motivates Us, dibagi menjadi 4 bagian sederhana:

  • What to do

    Generasi milenial akan lebih suka bila mereka diberi kebebasan terhadap role apa yang mereka mau ambil dalam perusahaan. Mereka ingin melakukan sesuatu yang mereka sukai, dan meskipun mereka tidak mempunyai hak untuk memilah segala hal, setidaknya dengan adanya kebebasan ini, mereka merasa tugas yang dibebankan sesuai dengan karakteristik masing-masing.

  • When to do

    Flexible work-time, tidak dapat dipungkiri, termasuk tuntutan utama generasi ini. Tidak ada lagi batasan ‘jam masuk kerja’ dan ‘jam pulang kerja’, apalagi ‘sembilan jam sehari’. Konsep mindset mereka adalah; pekerjaan mereka, tanggung jawab mereka. Selama mereka mengumpulkan apa yang diminta perusahaan tepat pada waktunya, mereka tidak suka diatur kapan mereka harus melakukan sesuatu.

  • How to do it

    Cara konvensional tidak lagi ampuh untuk tenaga kerja generasi milenial. Generasi ini lebih terbuka pikirannya, lebih kreatif dan lebih mampu menyesuaikan dengan keadaan sekarang. Hal ini membuat usaha pemecahan masalah oleh generasi ini lebih efektif dan efisien. Perusahaan harus memberikan ruang bagi karyawan generasi milenial untuk memecahkan masalah dengan caranya sendiri.

  • Whom to do it with

    Generasi milenial tahu apa yang mereka ingin lakukan dan dengan siapa mereka ingin melakukannya. Mereka lebih suka bekerja dengan orang-orang yang mereka sudah kenal sebelumnya dan orang yang mereka tahu akan mendatangkan benefit untuk mereka. Karena itu, generasi ini cenderung lebih suka memiliki bargaining power dalam menentukan dengan siapa mereka harus bekerja.

Arti

Dibanding generasi sebelum mereka, generasi milenial lebih tidak mengejar reward yang berupa upah. Dibanding dengan upah material, mereka lebih suka mengerjakan sesuatu yang memberikan kepuasan dan kebahagiaan bagi mereka. Hal ini juga termasuk alasan mengapa ada tren ‘I decided to follow my passion’ pada generasi ini. Tingkat kebutuhan mereka sudah mencapai level dimana mereka membutuhkan aktualisasi diri dalam pekerjaan. Bukannya tidak mencari kestabilan finansial, namun diatas segalanya mereka lebih willing untuk berkorban demi sesuatu yang benar-benar mereka sukai dibanding sebuah obligasi.

Dapat disimpulkan, bahwa generasi milenial memang adalah generasi yang cenderung lebih sulit diatur dibanding generasi sebelumnya. Mereka menuntut agar tidak dikekang, diberi suara dan perhatian, juga diberi kesempatan. Mereka menuntut bargaining power yang belum siap diberikan kebanyakan perusahaan yang cenderung masih terikat pesona cara kerja tradisional. Namun di era baru memasuki 2020, perusahaan harus menerima perubahan masif ini. Pasalnya, diperkirakan di tahun 2020, generasi milenial sudah mendominasi 50% operasi seluruh perusahaan di dunia. Perusahaan yang masih terikat cara-cara konvensional dapat dipastikan tidak mampu bertahan, dan perusahaan yang mampu beradaptasi dengan tuntutan generasi dan menggunakan powernya untuk maju akan menang di kompetisi pasar.

INDIVIDUAL PERFORMANCE INDICATORS

Saya melihat bahwa ada kesadaran baru dari para pengusaha bahwa sudah saatnya ada suatu cara atau metode untuk mengukur kinerja perusahaan, tidak hanya dari sisi finansial (keuntungan, penjualan atau efisiensi biaya), namun juga ukuran yang lainnya untuk menunjang konsistensi bisnis di masa mendatang (pangsa pasar, kesetiaan pelanggan, pemenuhan order kepada pelanggan, ketersediaan talenta perusahaan). Tentu saja kinerja perusahaan harus dikaitkan dengan pernyataan tujuannya dan strategi bagaimana perusahaan akan mencapai tujuan tersebut. Lebih jauh lagi, pengusaha berharap untuk tahu: apa kontribusi karyawannya dalam mencapai tujuan bersama ini.

Balanced Scorecard (BSC) adalah suatu metode (atau lebih tepatnya adalah framework) untuk menerjemahkan strategi perusahaan ke dalam sasaran operasional dan membuat sasaran tersebut mendorong perilaku SDM (Sumber Daya Manusia) dan kinerjanya. Ada banyak metode yang lain dalam konteks manajemen strategik dan kinerja, namun BSC saat ini dipandang paling efektif dalam memetakan strategi dan menerjemahkan sasaran strategi tersebut ke dalam Key Performance Indicator (KPI) dan Inisiatif Strategis (proyek atau program kerja yang harus ada dalam mencapai sasaran strategis perusahaan).

Nah, kalau kita sudah tahu tujuan perusahaan dan strateginya, lalu apa peranan para karyawan? Tentu karyawan harus mendukung eksekusi strategi perusahaan. Mereka direkrut, dilatih, dikembangkan dan digaji adalah untuk memberikan kontribusi kepada pencapaian tujuan perusahaan. Lalu, pertanyaan berikutnya adalah bagaimana caranya? Bahasa keren untuk memastikan kontribusi karyawan adalah alignment atau penyelarasan. BSC memberikan metode untuk menyelaraskan peran dan kontribusi karyawan terhadap strategi perusahaan.

Metode penyelarasan ada dua macam, yaitu penyelarasan vertikal dan horizontal. Penyelarasan vertikal adalah suatu cara untuk memastikan strategi dan KPI perusahaan dibagikan kepada divisi atau departemen, sesuai dengan job family mereka. Misal: Sasaran Strategis Profit dan KPI-nya Net Profit akan menjadi tanggung jawab departemen Finance & Accounting, selain menjadi tugas dan tanggung jawab Direktur Utama. Pendekatannya adalah top down (dari atas ke bawah), di mana seorang atasan (dalam hal ini Direktur Utama) tidak bisa mengerjakan semuanya sendirian dan memerlukan pembagian tugas dan wewenang ini kepada Kepala Divisi atau Departemen perusahaannya.

Penyelarasan kedua adalah penyelarasan horizontal, yaitu suatu cara untuk memastikan bahwa antara departemen yang satu dengan yang lain, saling memberikan dukungan. Jadi kritik terhadap BSC atau KPI bahwa karena ada KPI tidak ada kerja sama, maka sebetulnya pendapat tersebut salah dan kemungkinan perusahaan tersebut tidak memahami BSC dengan benar. Contoh: Departemen Penjualan membutuhkan dukungan dari: Departemen HRD dalam hal pemenuhan jumlah salesman, Departemen Produksi dalam hal pemenuhan barang jualan, dan Departemen R&D untuk pengembangan produk baru. Demikian juga sebaliknya Departemen HRD membutuhkan bantuan semua departemen dalam hal meningkatkan kompetensi karyawan (utamanya dalam hal memetakan kompetensi dan kebutuhan pelatihannya).

Semuanya ini bisa dibuatkan ukuran keberhasilannya atau disebut KPI. KPI ini akan dipegang oleh pemegang jabatan. Selain mendapatkan KPI dari turunan perusahaan dan atau departemen lain dan atau Atasan selaku Kepala Divisi dan Departemen, pemegang jabatan juga bisa membuat KPI dari Job Description (deskripsi pekerjaan) mereka sendiri. Misal: Jabatan Staf Rekrutmen, selain mendapatkan KPI dari perusahaan yaitu % Pemenuhan SDM, mereka juga bisa mendapatkan KPI % Pemenuhan Bank Data Karyawan, yaitu diambil dari Job Desciption mereka sendiri. dengan demikian, perpaduan KPI dari perusahaan, divisi atau departemen dan Job Description, membentuk KPI Individu Karyawan alias Individual Performance Indicator.

 

Ferry Wirawan Tedja

Head of SMO PT Kapal Api Global

EKSPEKTASI GENERASI Z DI DUNIA KERJA

Dalam waktu dekat, dunia kerja akan mendapatkan pendatang baru dari generasi yang berbeda. Perusahaan yang sedang mencoba menerima dan mengolah ide segar dari generasi Y, sebentar lagi akan dikejutkan dengan kehadiran generasi Z. Saat ini, rata-rata tenaga kerja aktif berasal dari tiga generasi sekaligus berada di satu tempat pekerjaan yang sama, yaitu generasi Baby Boomers, generasi X, dan generasi Y. Namun seiring dengan berjalannya waktu, terjadi pergeseran generasi Baby Boomers yang mulai memasuki masa pensiun dengan generasi Z yang mulai masuk ke dunia profesional.

Apa yang perlu kita pahami tentang generasi Z?

Perlu diketahui bahwa generasi Z cenderung dicap jelek oleh masyarakat. Generasi ini disebut sebagai generasi ‘berandal yang narsistik’ dan ‘generasi yang terobsesi oleh self-branding’. Dalam interviewnya yang menjadi viral di Inside Quest, Simon Sinek menjelaskan mengenai bagaimana generasi Z sangat terekspos oleh zat Dopamine, yaitu zat biokimia yang diproduksi oleh otak untuk rangsangan yang menyenangkan. Dengan konektivitas internet dan media sosial tak terbatas, generasi Z menjadi ‘pecandu’ zat Dopamine, zat yang sama yang diproduksi otak saat menerima rangsangan narkotika dan minuman keras. Zat ini pun, tragisnya, diproduksi otak saat menerima balasan ‘chat’ dan ‘like’ di Facebook atau Instagram yang begitu dinanti-nantikan. Belum ditambah dengan gaya hidup instan yang sudah mendarah daging pada generasi Z, hingga mayoritas generasi ini tidak tahu bagaimana caranya bertahan dalam kondisi kerja yang ‘tidak sesuai harapan’ atau ‘tidak sesuai dengan passion’ mereka.

Bagaimana perusahaan harus mempersiapkan diri menyambut generasi Z?

Dalam sebuah penelitian di Slovakia, 237 mahasiswa yang termasuk generasi Z disurvei dan ditanya mengenai ekspektasi mereka dalam dunia kerja. Lalu hasil penelitian ini dibandingkan dengan hasil penelitian yang sudah ada mengenai generasi Y. Penelitian ini juga dikaji dalam 4 tahap pekerjaan, dimulai dari pencarian perusahaan potensial, ekspektasi karir, retensi pekerjaan, dan kepuasan pekerjaan. Hasilnya, generasi Z ternyata kurang lebih mewarisi harapan yang sama dari generasi Y.

  1. Pencarian perusahaan potensial

    Faktor paling penting yang dipertimbangkan oleh generasi Z dalam tahap mencari perusahaan potensial adalah natur pekerjaan dan work-life balance. Kedua faktor ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya mengenai generasi Y, yang membawa perubahan pada cara pemberian kompensasi, dari yang semula dihitung dari jam kerja kepada jumlah output yang dihasilkan selama bekerja. Dalam penelitian lain juga dinyatakan bahwa generasi Z lebih banyak mencari ‘kepuasan’ dan ‘kesenangan’ di luar lingkup kerja, seperti dalam komunitas atau lingkaran pergaulan mereka. Akhirnya, dalam setiap kesempatan, generasi Z akan cenderung menghabiskannya untuk kegiatan yang sifatnya memuaskan entertainment pribadi dibanding membangun karir formal. Dapat disimpulkan bahwa penekanan pada keseimbangan jam kerja pada dua generasi ini merupakan sebuah poin penting yang harus diperhatikan perusahaan.

  2. Ekspektasi karir

    Dalam tahap ekspektasi karier, generasi Z cenderung lebih mengutamakan faktor pemenuhan kepuasan internal dan kesempatan untuk mengembangkan skill dan talent.

  3. Retensi pekerjaan

    Dalam tahap retensi pekerjaan, hubungan yang baik dengan boss merupakan faktor krusial yang sama pentingnya dengan jumlah penghargaan dan kompensasi pekerjaannya. Semua faktor ini juga semakin membuktikan nature generasi Z yang cenderung social dan mencari pembuktian diri. Perusahaan baiknya memfasilitasi lingkungan kerja yang dinamis dan menciptakan hubungan antar pekerja yang harmonis.

  4. Kepuasan pekerjaan

    Generasi Z menganggap financial reward, kontribusi terhadap sesuatu yang berarti, dan pengakuan merupakan faktor yang utama. Penekanan pada pengakuan dan kesempatan untuk membuktikan diri adalah poin penting yang harus dicatat oleh perusahaan. Dengan demikian, suasana dan lingkungan pekerjaan dapat beradaptasi dengan membludaknya supply tenaga kerja generasi Z dimasa mendatang.

Perbedaannya adalah jika generasi Y adalah generasi yang berorientasi pada masa depan, maka generasi Z tumbuh menjadi generasi yang lebih realistis atau berorientasi pada masa sekarang. Seiring meleburnya generasi Z menjadi karyawan full time, perusahaan perlu beradaptasi dengan harapan karir mereka agar dapat menarik calon kandidat talent pool masa depan dari generasi ini. Dibandingkan dengan generasi Y, generasi Z lebih fokus menemukan pekerjaan impian daripada stabilitas finansial. Perusahaan secara kreatif dapat menciptakan penawaran kerja dan jalur karir yang spesifik untuk menarik kandidat generasi Z yang lebih kompetitif dan matang daripada generasi sebelumnya.

 

Referensi:

Kirchmayer, Z. & Fratričová, J. (2017). On the Verge of Generation Z: Career Expectations of Current University Students. from https://www.researchgate.net/publication/316789680_On_the_Verge_of_Generation_Z_Career_Expectations_of_Current_University_Students

TALENT MANAGEMENT 2020

Apa yang terjadi di tahun 2020?

Pada tahun 2020, generasi Y atau millennials akan mengisi 50% porsi tenaga kerja di dunia. (Karjalainen, 2016). Gen Y adalah generasi yang sering mendapatkan doktrin bahwa mereka dapat melakukan apa saja sambil melihat rekan sebaya seperti Mark Zuckerberg drop out dari Harvard untuk memulai bisnis jutaan dollar. Mereka tidak ingin diidentifikasikan dengan satu perusahaan atau satu karir saja. Pemahaman terhadap karir juga bukan lagi sebuah garis lurus, namun menjadi sebuah sistem bercabang dimana mereka bisa merubah arah sewaktu-waktu dalam mencapai tujuan.

Kebutuhan generasi Y adalah fleksibilitas dan work-life-balance. Generasi Y menjalani pekerjaan sehari-hari untuk mendapatkan lebih banyak kebebasan, bukan mempersempit hidup ke dalam tahapan karir yang spesifik. Pengembangan skill lebih bernilai daripada konsep benefit. (Himelstein, 2015). Secara umum, generasi Y memiliki harapan adanya variasi tantangan dan kesempatan untuk berkembang. Mereka ingin mempertajam tujuan karir sehingga membutuhkan feedback rutin dan pengakuan terhadap proses yang sudah mereka jalani.

Apa yang harus dilakukan?

Menurut Drake-Cortes (2016) strategi talent management yang efektif untuk generasi Y adalah:

  1. Kenali mereka

    Dalam pembicaraan pribadi, berilah pertanyaan terkait pengenalan diri lebih dalam, seperti:
    “Apa yang membuatmu bertahan disini?”
    “Apakah kamu mendapatkan pengakuan yang cukup?”
    “Sebutkan 3 hal yang dapat membuat kondisi kerja disini menjadi lebih baik!”

  1. Bantu mereka membangun kelayakan kerja dan portfolio karir

    Generasi Y dapat diinspirasi melalui cerita tentang karyawan lain yang sukses bertumbuh di dalam perusahaan dan dibantu untuk dapat berkomunikasi dengan karyawan sukses tersebut sehingga mereka bisa mempelajari sesuatu. Ini adalah cara informal untuk mengembangkan generasi Y.

  1. Menyediakan tantangan dan kesempatan baru untuk berkembang

    Generasi Y perlu diberi kesempatan untuk terlibat didalam proyek cross functional agar dapat mengenali perusahaan semakin baik, memperkuat keberadaan diri, dan membangun kemampuan.

  1. Melibatkan mereka ke dalam komunikasi tentang karir

    Generasi Y perlu dibantu untuk membuat rencana pengembangan karir dan belajar memonitor progress karir mereka. Manager yang mendukung progress karir karyawan sering menjadi talent magnets.

  1. Memberikan feedback, pengakuan, dan afirmasi

    Generasi Y mengharapkan feedback langsung dan proses sharing. Mereka ingin mendapatkan kesempatan untuk berbagi pendapat dengan sesama rekan kerja ataupun pemimpin lain.

  1. Memberikan kemungkinan fleksibilitas kerja

    Perusahaan dapat menghargai momen istirahat generasi Y untuk melakukan hobi dan merefresh diri sendiri karena work life balance menduduki posisi tertinggi dalam ranking kebutuhan mereka.

Dalam menghadapi tren dunia kerja 2020, perlu disadari pentingnya menerapkan strategi talent management terhadap generasi millennials dengan tepat. Salah satu cara terbaik untuk berkomunikasi dengan mereka adalah dengan membantu mereka mengidentifikasikan tujuan pribadi, sehingga dapat mengetahui apa yang dapat memotivasi mereka dalam mengeluarkan kemampuan terbaiknya

REKRUTER: AGEN MASA DEPAN

SELAMAT DATANG DI MASA DEPAN

Dalam beberapa tahun ke depan, proses rekrutmen semakin menjadi isu strategis, terlebih bagi perusahaan yang lambat bahkan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan jaman. Penyebab perubahan paling signifikan di dalam proses rekrutmen adalah adanya:

  1. Teknologi Baru Dalam Rekrutmen
    1. Semakin banyak HR Software Platforms
      Sistem integrasi smartphone, software applicant tracking system, online learning, and media sosial akan menjadi sebuah alat yang biasa dipakai sehari-hari
    2. Semakin sedikit kertas
      Semakin banyak platform HR Software yang canggih dan proses rekrutmen yang otomatis, rekruter akan meluangkan lebih sedikit waktu untuk menyelesaikan proses administrasi
    3. Media sosial berperan semakin besar
      Banyak kandidat muda yang sudah tidak tertarik mengikuti proses rekrutmen dengan cara lama dan memilih bekerja di perusahaan yang memiliki keberadaan kuat di media sosial.
  1. Gaya Baru Kandidat: Mobile Recruitment

    Menurut Linkedin’s Mobile Recruiting Playbook, 72% dari kandidat aktif mengunjungi mobile site perusahaan untuk mempelajari tentang kesempatan karier dan 45% di antaranya sudah melamar pekerjaan secara mobile. (A Min, 2016)

REKRUTER SEBAGAI AGEN MASA DEPAN

Semakin berkembangnya teknologi dan meningkatnya harapan talents memberikan tekanan kepada para eksekutif di perusahaan untuk berkembang ke level akselerasi. Lebih dari 56% para CEO perusahaan setuju bahwa proses rekrutmen dan retention adalah fokus utama, namun hanya 12% yang percaya bahwa organisasi mereka sudah memiliki strategi rekrutmen yang efektif (Clark, 2017). Cara berbeda yang dapat dilakukan oleh rekruter untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi adalah dengan:

  1. Go Digital

    Bentuk proses rekrutment berdasarkan penerapan teknologi adalah:

    1. Social Media
      Dengan menggunakan media sosial, perusahaan dapat mempercepat waktu perekrutan, melakukan cross check data, dan sebagai media promosi lowongan pekerjaan (Sleek, 2016). Contoh: Linkedin, Facebook, bahkan Instagram dapat membantu perusahaan mendeteksi talent.
    2. Gamification
      Gamification adalah sebuah metode menerapkan konsep permainan (game) terhadap proses lain yang berbeda. Contoh: Google menerapkan Google Code Jam, sebuah kompetisi software-writing yang memberikan hadiah $50,000 untuk pemenang, tetapi hadiah yang sebenarnya adalah Google akan merekrut siapapun yang memenangkan kontes game tersebut.
    3. Software ATS (Applicant Tracking System)
      ATS adalah software aplikasi dimana perusahaan dapat mengontrol seluruh kegiatan rekrutmen, dari tahap seleksi, pengaturan jadwal interview, hingga proses offering secara digital. Contoh: workable, recruiterbox, Urbanhire.
  1. Interactive Interviews

    Rekruter perlu mengembangkan proses rekrutmen menjadi proses yang cepat dan tidak membosankan, terutama untuk generasi kandidat saat ini yang terbiasa mobile (Miller-Meller, 2016):

    1. Proses interview yang dinamis
    2. Mengurangi proses yang formal
    3. Menanyakan pertanyaan yang tepat

    Saat ini rekruter juga dapat menggunakan software untuk interview, seperti CBS Interactive Interviews (Glassdoor, 2017) yang dapat diunduh sebagai aplikasi android.

  1. New Skill Sets

    Rekruter perlu rutin mengidentifikasi new skill sets yang dapat menegaskan kualitas SDM yang dibutuhkan dalam mengembangkan perusahaan dan karir karyawan itu sendiri di masa yang akan datang (GMAC, 2016). Misal: Entrepreneurship skills saat ini dapat digunakan oleh talents atau manajemen senior untuk mengembangkan produk; Creativity menjadi salah satu skill karyawan yang utama di dalam konsep manufacturing 4.0, karena robot dan teknologi lain dapat membantu bekerja lebih cepat, namun tidak dapat berpikir kreatif seperti manusia. (Gray, 2016)

  1. Headhunters

    Saat ini proses headhunting pun bergeser ke arah digital, yaitu menggunakan platform dan penerapan teknologi terbaru untuk semakin mendekatkan diri dengan klien perusahaan dan kandidat.

Teknologi yang semakin baik sebenarnya dapat semakin membantu menganalisa dan memastikan hasil dari proses rekrutmen atau yang disebut dengan Predictive Recruitment Analytics. Di sinilah para rekruter dapat berperan menjadi agen masa depan dengan membantu perusahaan beradaptasi dan menjaga keberlangsungan perusahaan dengan menerapkan strategi rekrutmen yang lebih modern dan efektif.

PERFORMANCE MANAGEMENT MASA KINI

  Menurut Mercer’s 2013 Global Performance Management Survey, hanya 3% perusahaan yang menyatakan bahwa performance management system yang dimiliki mampu memberikan nilai balik yang positif. Perubahan tren dan teknologi komunikasi, terutama di dunia kerja, mendorong perusahaan untuk mengubah cara dalam melakukan performance management terhadap karyawan. Munculnya platform software yang baru menciptakan tingkat kecepatan dan ketangkasan yang berbeda di dalam interaksi internal perusahaan (Behera, 2016)

Tolong beri feedback sekarang.

  Feedback yang tangkas lebih relevan dan membantu mendorong percepatan pelaksanaan solusi. Jangan menunggu meeting review kinerja tahunan untuk memberikan umpan balik yang penting. Menghabiskan 2 juta jam per tahun untuk berulang menyiapkan konsep, rencana implementasi, pengumpulan data, dan analisa penilaian kinerja sudah dinilai kurang gesit.  (Behera, 2016)

Klik, ketik, kirim.

  Selain meeting review kinerja rutin yang sering kali tidak berjalan produktif, perusahaan membutuhkan cara lain untuk memastikan karyawan menerima feedback kinerja. Saat ini sudah mulai diciptakan software untuk membantu memonitor proses performance management. (Hearn, 2016)

  Adobe mengurangi frekuensi meeting rutin dan menggantinya dengan sistem baru bernama “Check-in” yang membantu memonitor kedisiplinan kinerja dan pengelolaan frekuensi feedback. Sistem ini terbukti meningkatkan kinerja dan kepemimpinan karyawan.. Contoh lain adalah softwareClear Review” yang dapat mengirimkan email pengingat kepada karyawan dan atasannya agar memberikan feedback secara langsung (real time)

Pengembangan personal.

  Di tahun 2020, generasi Y sudah menjadi 50% tenaga kerja aktif. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia (2021), usia penduduk yang memasuki angkatan kerja ada sebanyak 206,7 juta dan 12,9% di antaranya adalah generasi Z. Perusahaan perlu menyusun kembali performance management system yang sudah ada untuk juga fokus pada pengembangan karir sebagai tujuan personal karyawan, bukan hanya untuk kepentingan perusahaan. Pelatihan dan pengembangan akan menjadi nilai penting untuk membuat generasi baru tetap termotivasi dan produktif (Hearn, 2016)

Manager saya, pelatih saya.

  Atasan tidak lagi menjadi sekedar penilai kinerja. Seiring performance management system berfokus kepada training & development, atasan harus mulai membiasakan diri menjadi seorang pelatih yang memberikan arahan, instruksi, dan pelatihan kepada karyawan (Pinnamaneni, 2017)

  Performance management system sebaiknya dipahami sebagai komunikasi antara atasan dengan bawahan, di mana topik pembicaraan mereka adalah standar kinerja dan bagaimana mencapainya. Pemberian umpan balik secara teratur akan meningkatkan pencapaian standar kinerja dan atasan diharapkan menjadi pelatih dan mentor yang akan melatih dan memandu tim untuk mencapai aspirasi organisasi dan bahkan personal karyawan.