5 LANGKAH MENINGKATKAN EMOTIONAL INTELLIGENCE KARYAWAN MILENIAL

Setelah menyelesaikan pendidikan akhir, tentunya para fresh graduate akan berlomba-lomba untuk mencari pekerjaan. Begitu pula dengan berbagai kantor di seluruh dunia, mereka membutuhkan karyawan dengan latar belakang fresh graduate yang memiliki ide-ide segar dan semangat yang tinggi dalam bekerja. Karyawan milenial biasanya memiliki rasa ingin tahu yang besar terhadap bidang pekerjaan yang akan digeluti. Sebagai seorang pemimpin, tentunya Anda harus mengakomodasi semua rasa ingin tahu mereka serta perlu mengembangkan kecerdasan emosi (emotional intelligence) para karyawan milenial untuk meningkatkan kinerja sepanjang karier mereka ke depannya.

Emotional intelligence merupakan kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi emosi diri maupun orang lain. Kecerdasan tersebut dapat ditandai dengan terdapatnya berbagai soft skill seperti motivasi, kesadaran diri, regulasi diri, empati, dan kemampuan bersosialisasi. Ada beberapa hal yang perlu Anda lakukan sebagai seorang pemimpin untuk mengembangkan kompetensi kecerdasan emosional yang berguna bagi perkembangan karier karyawan milenial Anda, yakni:

  1. Jadilah role model bagi karyawan

    Jika Anda mampu memberi contoh kecerdasan emosional yang tepat, maka Anda dapat membuat karyawan terinspirasi untuk mengikuti kinerja Anda, bahkan ada kemungkinan mereka akan membuat inovasi yang lebih efektif dari kinerja tersebut.

  1. Jadilah pembela kecerdasan emosional

    Tak hanya memiliki keterampilan dalam kecerdasan emosi sendiri, tunjukkan pada karyawan Anda tentang bagaimana emotional intelligence dapat meningkatkan kinerja mereka.

  1. Berikan feedback pada karyawan

    Berikan feedback Anda mengenai apa yang telah mereka lakukan untuk memperbaiki kinerja yang kurang memuaskan dan meningkatkan kinerja yang telah berjalan baik. Memberikan feedback yang membangun tentunya dapat menjadi motivasi tersendiri bagi para karyawan Anda untuk meningkatkan kinerja dan keterampilan diri mereka.

  1. Meningkatkan keterampilan mentoring diri Anda sendiri

    Sayangnya, masih ada banyak pemimpin yang tidak memberikan pelatihan khusus atau mentoring kepada para karyawannya. Padahal, hal tersebut tidak hanya menguntungkan bagi karyawan milenial, namun juga membantu seorang pemimpin untuk meningkatkan efektivitas diri mereka sendiri sebagai pemimpin. Anda harus selalu melatih diri Anda untuk menjadi mentor yang mampu mengikuti perkembangan dan bertanggung jawab terhadap segala hal yang Anda kelola. Dengan adanya kemampuan tersebut, Anda dapat menawarkan peluang untuk menjadikan tim dan diri Anda untuk semakin berkembang.

  1. Atur waktu untuk diskusi bersama tim

    Diskusi bersama tim merupakan peluang bagi pemimpin untuk menetapkan norma-norma kecerdasan emosi yang mendasar dalam tim Anda, seperti norma-norma kesadaran diri, komunikasi yang lebih terbuka, serta penyelesaian masalah yang terjadi. Waktu diskusi bersama ini dapat menjadikan kecerdasan emosi sebagai bagian integral dalam upaya harian tim untuk meningkatkan kinerja mereka.

Berikan beberapa program pelatihan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosi karyawan milenial di perusahaan Anda, sehingga hal tersebut tidak hanya berguna saat mereka bekerja di perusahaan Anda saja, tetapi untuk karier mereka seumur hidup. Dengan meluangkan waktu untuk mengidentifikasi nilai dan aspirasi individu, seorang pemimpin dapat menawarkan mentoring dan memberikan feedback mengenai kemampuan kecerdasan emosi mereka. Hal tersebut dapat meningkatkan kepuasan karier dan memperkuat kepercayaan diri para karyawan milenial untuk membangun karier mereka kedepannya.

TAK HANYA BUTUH MANAJER, KARYAWAN MILENIAL JUGA BUTUH MENTOR

Generasi milenial tidak hanya membutuhkan sosok pemimpin, melainkan juga mentor yang dapat membuat mereka semakin percaya diri serta memberikan semangat untuk bertahan ketika menghadapi berbagai pekerjaan yang berisiko besar. Mereka tidak ingin terikat dengan sistem manajemen kuno yang hanya menentukan aturan dan batasan. Bagi karyawan milenial, mereka membutuhkan sosok manajer yang dapat menciptakan hubungan kepercayaan dan pengertian terhadap karyawannya. Karyawan harus merasa bebas untuk mendekati manajer dan berbicara secara terbuka tanpa harus merasa terintimidasi, namun tetap menghormati batasan antara manajer dan karyawan.

  1. Membangun hubungan yang saling mengerti dan percaya

    Karyawan harus merasa bahwa manajer tidak akan mengarahkan mereka pada hal yang salah. Ketika karyawan merasa bahwa manajer mengetahui dan menghargai potensi mereka, maka karyawan pun akan berusaha lebih keras untuk unggul dalam segala pekerjaan yang mereka lakukan. Dinamika pendampingan ini berguna untuk membangun kepercayaan dan kesetiaan yang lebih besar dibandingkan kenaikan atau bonus, karena karyawan dan manajer dapat memupuk hubungan timbal balik, bukan sekadar transaksi.

  2. Memberi pengertian untuk belajar dari kesalahan

    Pemimpin harus mengajarkan karyawan untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka, serta memiliki akuntabilitas untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Karyawan takkan berkembang saat kita hanya menyalahkan atau memberikan ceramah kepada mereka. Sebaliknya, karyawan perlu diberi pengertian bahwa mereka telah melakukan kesalahan. Dalam hal ini, manajer dapat memberikan dukungan secara mental bahwa karyawan mampu memperbaiki kesalahan untuk dapat berkembang ke arah yang lebih baik.

  3. Memberi ruang untuk berkembang

    Jangan sampai seorang pemimpin memberikan rasa takut kepada karyawan milenial saat mereka mengalami kegagalan dalam pekerjaan yang mereka lakukan. Hal tersebut justru akan membuat kinerja karyawan semakin memburuk. Tidak hanya memberi pengertian mengenai kesalahan mereka, seorang pemimpin seharusnya dapat mendorong karyawan untuk memperbaiki kesalahan mereka serta keluar dari zona nyaman mereka untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik lagi. Dengan begitu, ketika karyawan melakukan kesalahan, ia akan tahu cara menghadapinya secara bertanggung jawab dan penuh percaya diri.

Pada akhirnya, seorang pemimpin harus memahami bahwa saat bekerja dengan generasi milenial, mereka harus lebih melihat proses untuk mencapai hasil, bukan hanya sekedar melihat hasil kerja karyawan milenial. Selain itu pemimpin juga perlu memberi ruang kepada karyawan untuk belajar dan berkembang sehingga produktivitas tim secara keseluruhan dapat berjalan dengan baik.

(BACA JUGA: PROGRAM MENTORING)

MANAGING EMPLOYEES – DISKRIMINASI GENDER DI TEMPAT KERJA

Di tahun 2017, Google memberhentikan seorang pekerjanya karena telah menyebarkan artikel tentang ketidakpuasannya akan diskriminasi gender di Google. Memorandum sebanyak 10 lembar tersebut ditulis oleh James Damore, karyawan Google yang berargumen tentang Google yang membungkam opini politik terhadap perusahaannya dan mengenai isu perbedaan biologis yang berhubungan dengan sedikitnya peran wanita dalam sektor teknologi dan posisi pimpinan. Dokumen tersebut menjadi viral dalam perusahaan dan keluar ke massa dalam waktu yang sangat singkat sehingga menyebabkan konflik internal dalam manajemen Google.

Keputusan Google yang akhirnya memberhentikan Damore menuai berbagai macam komentar di media massa. Beberapa di antaranya berpendapat, dengan pemberhentian secara sepihak, Google malah mengkonfirmasi isu dalam memo tersebut bahwa Google tidak memberikan ruang opini politik yang terbuka. Namun beberapa penulis juga berargumen bahwa tentu Google tidak akan mampu bekerja dengan seorang karyawan yang baru saja mempertanyakan kompetensi dasar Google. CEO Google Sundar Pichai, dalam pembelaannnya, mengirim email pada seluruh karyawannya yang mengindikasikan bahwa pelanggaran kode etik perusahaan dengan menyebarkan sugesti bahwa kelompok tertentu tidak cocok dengan tipikal pekerjaan tertentu adalah pelanggaran serius. Email tersebut memang tidak mencatat mengenai pemberhentian Damore, namun pengakuan Damore di Bloomberg mengkonfirmasi kebijakan pemberhentian perusahaan IT tersebut. Di sisi lain, beberapa media di internet turut memberikan dukungan pada Damore yang dianggap sebagai pahlawan yang berani mengungkapkan suaranya dalam isu keragaman di industri teknologi.

Diskriminasi Gender di Indonesia

Indonesia sendiri juga merupakan negara yang sensitif terhadap isu seperti ini. Berdasarkan data yang sama dari BPS dan Sakernas, penghasilan rata-rata perempuan bekerja di sektor di luar agrikultur, hanya sekitar 80 persen dari penghasilan pria. Sedangkan data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bapennas) 2013 menyebutkan hanya 209.512 perempuan yang memegang posisi tinggi di berbagai sektor pekerjaan. Artinya, hanya 18 persen dari 1,1 juta total perempuan pekerja yang bekerja di level manajerial. Pasalnya, stereotype yang beredar di masyarakat sejak sejarah Belanda adalah wanita sepantasnya bekerja di sektor domestik (rumah tangga) saja. Karena masih kentalnya bagian sejarah dan adat di beberapa daerah, hal ini membatasi kaum perempuan Indonesia untuk bekerja.

Sementara di daerah perkotaan dimana tingkat pendidikan dan edukasi sudah lebih tinggi, diskriminasi terhadap perempuan masih saja terjadi meski dalam bentuk yang lebih tidak ekstrim. Contohnya, gaji karyawan perempuan yang kebanyakan berada di bawah garis rata-rata gaji laki-laki. Perempuan sering kali dianggap tidak mampu membuat kebijakan dan mengambil keputusan sebaik laki-laki. Stigma ini didasari anggapan bahwa wanita merupakan kaum yang lemah dan tidak dapat bekerja sebaik laki-laki sehingga dalam pembagian pekerjaan pun wanita sering di’wanita’kan dengan diberikan jumlah kerja yang sering kali lebih ringan dibanding laki-laki.

Moral yang perlu dipelajari oleh perusahaan adalah bentuk diskriminasi bisa datang dalam bentuk yang berbagai macam. Manajemen perlu berkoordinasi untuk mengevaluasi diri—apakah manajemen sudah menerapkan etika kerja yang sesuai. Terkadang isu diskriminasi dapat muncul tanpa disadari, hingga pada suatu titik diskriminasi tersebut sudah terlanjur parah sebelum dapat diantisipasi oleh perusahaan. Contohnya, pembagian workload yang terlalu ringan pada pekerja wanita dapat menimbulkan konflik ketidaksetaraan dan bisa merugikan perusahaan. Karena itu, evaluasi terhadap pengelolaan karyawan sangat penting untuk dilakukan perusahaan, setidaknya sekali setiap tahunnya untuk mencegah isu negatif.

(BACAAN SELANJUTNYA: Manajemen Kinerja yang Efektif Bagi Perusahaan)

Referensi:

https://mediaindonesia.com/humaniora/396829/wujudkan-kesetaraan-gender-dan-nondiskriminasi-di-tempat-kerja

https://www.bloombergquint.com/technology/ex-google-engineer-says-gender-memo-began-on-12-hour-asia-flight

https://www.nytimes.com/2017/08/07/business/google-women-engineer-fired-memo.html

HUMAN PSYCHOLOGY – MERASA ‘BERARTI’ ITU PERLU

Berdasarkan data yang dirilis oleh Gallup pada 2013, hanya 13% karyawan yang terlibat dengan pekerjaannya di seluruh dunia. Kecilnya angka ini menunjukkan kondisi emosional karyawan terhadap lingkungan pekerjaan yang memprihatinkan. 63% dari karyawan dari 140 negara yang terlibat dalam survei ini mengaku tidak termotivasi dengan pekerjaannya dan cenderung enggan memberikan usaha ekstra kepada perusahaannya. 24% sisanya mengaku benar-benar tidak bahagia dengan pekerjaannya dan tidak produktif di tempat kerja. Angka-angka ini pun mengarahkan manajemen pada sebuah pertanyaan besar yang perlu dikaji oleh perusahaan—mengapa karyawan tidak terlibat kepada perusahaan?

Langkah pertama yang perlu dianalisis oleh perusahaan adalah menganalisis mengapa karyawan tidak temotivasi. Menurut Kahn (1992), ‘arti’ psikologis yang diterima oleh individu mempengaruhi performa peran orang tersebut. Sehingga, PR pertama perusahaan adalah mencari cara bagaimana memberikan ‘arti’ bagi seorang individu. Faktor tersebut adalah karakteristik tugas, karakteristik peran, dan interaksi dalam pekerjaan.

  1. Karakteristik tugas

    Seseorang yang melakukan pekerjaan yang menantang, jelas tujuannya, bervariasi, kreatif, dan dalam batasan tertentu memiliki otonomi kuasa sendiri—orang ini akan cenderung memiliki perasaan bahwa pekerjaannya berarti  (Kahn 1990). Secara alamiah manusia ingin membuktikan dirinya dan kebutuhan ini termasuk kedalam kebutuhan tertinggi manusia menurut teori kebutuhan Maslow (1943). Pentingnya penghargaan terhadap tugas merupakan sesuatu yang kadang diremehkan perusahaan. Karyawan perlu merasa bahwa ia sedang menerima sebuah ‘kehormatan’ untuk menerima tugas, bukannya ‘beban’. Individu yang semakin tertantang untuk menahlukkan sebuah tugas tertentu akan memiliki motivasi yang lahir dari dirinya sendiri untuk benar-benar melakukannya. Contoh yang diberikan Kahn menggambarkan apresiasi yang tepat kepada individu yang berhasil melakukan karakteristik tugas yang sulit. Kahn menggambarkan situasi dimana seorang instruktur selam memberikan kesan terhadap kelas selam yang barusan ia ajar;“Kelas barusan merupakan kelas yang paling sulit dan paling berarti daripada kelas-kelas lain yang pernah saya ajar. Penyelaman tadi merupakan penyelaman yang sulit karena kondisi cuaca yang berbahaya. Saya juga harus berhati-hati setiap saat—saya harus mengawasi para penyelam dan persediaan oksigen mereka, kondisi kompas, juga gelombang dan ombak yang ada. Penyelaman tadi sulit, tapi rasanya sangat hebat.”

  1. Karakteristik peran

    Dimensi peran juga termasuk bahan yang perlu dipertimbangkan perusahaan. Pasalnya peran melambangkan influence, status, dan rasa “penting”. Seseorang akan merasa berarti saat ia memiliki sebuah peran dimana dia dapat meng-influence orang lain, menempati posisi yang penting dalam sistem, dan menerima status yang diinginkan. Menurut Lasch (1984), manusia akan selalu mencari-cari cara yang membuat mereka merasa penting dan istimewa, terutama bila dilihat dari skala dunia dimana mereka merasa bukan siapa-siapa. Perusahaan perlu merancang peran dimana meskipun karyawan hanya menyelesaikan pekerjaan kecil, namun mereka secara tidak langsung juga memberikan dampak bagi masyarakat luas. Peran karyawan perlu dibuat seakan-akan posisi tersebut dirancang hanya untuk orang pilihan atau dirinya seorang. Peran yang seperti ini akan membuat karyawan merasa dibutuhkan dan bukan hanya sebagai ‘budak’ pelaku pekerjaan perusahaan.

  1. Interaksi dalam pekerjaan

    Interaksi yang dimaksud dalam konteks ini adalah interaksi yang bersifat mengapresiasi pekerjaan seseorang. Saat seorang karyawan dipuji, maka pujian tersebut sifatnya meleburkan dimensi dunia profesional dan dimensi pribadi. Interaksi seperti ini cenderung mempersatukan dan menciptakan hubungan baik. Karyawan yang dipujipun merasa bahwa dirinya bernilai, dihargai, dan berarti bagi perusahaan. Bila pekerjaannya tidak diakui, maka karyawan akan cenderung menahan diri untuk kembali memberikan usaha mereka yang terbaik. Meski terlihat sepele, interaksi positif seperti ini sangat ampuh hingga sekarang. Contoh pemberian pujian paling sederhana yang dilakukan sebuah rumah sakit di Amerika Serikat adalah dengan menerapkan  taktik “interaksi positif” ini untuk mendorong staf rumah sakit untuk mencuci tangan. Pihak rumah sakit menaruh sebuah monitor di atas wastafel yang akan secara otomatis memberikan pujian seperti “good job!” ketika staf mencuci tangannya. Upaya pemberian pujian ini sangat simple dan terbukti lebih efektif dibandingkan dengan upaya sebelumnya yaitu memasang poster-poster berisi bermacam-macam bahaya higienitas yang minim. Dari penjabaran di atas, perusahaan dapat mengetahui bahwa pengakuan atas pekerjaan, peran dan interaksi positif dapat meningkatkan rasa ‘belonging’ karyawan. Meskipun terlihat sederhana, ternyata aspek psikologis berupa penghargaan dan pemberian arti sangat berpengaruh pada engagement karyawan. Setelah seragkaian penjelasan di atas, tidak terlambat bagi perusahaan untuk mulai menciptakan lingkungan pekerjaan yang lebih baik dari sekarang.

 

Referensi:

Kahn, W. A. (1990). Psychological Conditions of Personal Engagement and Disengagement at Work. The Academy of Management Journal, 33(4), 692–724. https://doi.org/10.2307/256287
Kahn, W. A. (1992). To Be Fully There: Psychological Presence at Work. Human Relations, 45(4), 321–349. https://doi.org/10.1177/001872679204500402
Lasch, Christopher. 1984. The Minimal Self: Psychic Survival in Troubled Times. London : Picador.

SAD TRUTH: YOU ARE JUDGED BY YOUR COVER

Seperti kata pepatah, jangan nilai orang dari fisiknya. Namun kenyataannya, di era dimana waktu menjadi sesuatu yang terbatas dan sangat langka, you do judge a book by its cover. Bagaimanapun juga, kita tidak bisa mengelak dari kenyataan bahwa selain diciptakan untuk merepresentasikan apa yang ada didalamnya, cover memang dirancang untuk menarik perhatian. Bahkan tidak jarang, cover malah menjadi lebih penting daripada isi dalamnya. Tidakkah sering kita jumpai perilaku orang yang membeli barang hanya karena packagingnya lucu? Pula betapa seringnya kita jumpai perilaku orang yang akhirnya memutuskan untuk membeli satu brand dibanding brand lain karena tampaknya lebih ‘meyakinkan’?

Banyak perusahaan akan mengelak untuk menjawab jujur, namun dalam proses perekrutan, menarik tidaknya penampilan calon karyawan berpengaruh sangat besar. Bahkan seringkali penampilan juga termasuk kriteria yang disandingkan dengan tingkat pendidikan, kompetensi, dan pengalaman. Lalu wajarkah penilaian penampilan ini dilakukan oleh perusahaan meskipun penilaian penampilan juga belum tentu merepresentasikan kompetensi?

Sebuah studi yang diterbitkan oleh American Psychology Association memetakan secara jelas antara hubungan presentasi individu dengan penilaian interview dan performa pekerjaan. Studi ini mengangkat teori ‘social influence’ dan ‘interdependence’ sebagai landasan teori dan mempelajari variabel yang terkait, yaitu penampilan fisik, manajemen impresi, dan perilaku verbal dan non-verbal.

Social Influence & Interdependence

Teori social influence berbicara mengenai natur manusia ketika berinteraksi secara sederhana—mereka ingin memberikan pengaruh kepada orang lain atau mereka ingin dipengaruhi oleh orang lain (Cialdini & Trost, 1998; Levy, Collins, & Nail, 1998). Saat berinteraksi, manusia akan secara alamiah menempatkan diri dan mengekspresikan perilaku yang sekiranya memancing reaksi tertentu pada lawan bicaranya (Goffman, 2006). Contohnya, sewaktu seseorang ingin memberikan pengaruh, maka orang ini akan menunjukkan perilaku yang meyakinkan pendengarnya. Entah itu dengan berbicara dengan penekanan atau dengan suara keras, dan lain-lain. Hal yang sama juga berlaku pada saat seseorang ingin dipengaruhi—ia akan secara sengaja mendengarkan, berkonsentrasi, dan memperhatikan pembicaranya.

Sementara teori interdependence (Rusbult & Van Lange, 2003), di sisi lain, lebih menekankan pada peran situasi dimana interaksi tersebut berlangsung. Situasi ini berhubungan dengan bergantungnya satu pihak dengan pihak lain dalam berbagai hal. Contohnya dalam konteks interview, kandidat bisa saja secara sengaja membuat representasi dirinya supaya terlihat profesional karena dalam situasi interview, si kandidat memiliki kepentingan yang bergantung pada keputusan interviewernya.

Penampilan Fisik, Manajemen Impresi, dan Perilaku Verbal dan Non-Verbal

Setelah memahami apa yang menjadi latar belakang interaksi manusia, berikut dijabarkan faktor-faktor yang menjadi highlight utama dalam proses penilaian presentasi diri.

  • Penampilan Fisik

    Penampilan fisik adalah faktor paling mentah dan paling mudah diidentifikasi dari penilaian presentasi diri. Faktor ini dapat secara gamblang ditimbang kesesuaiannya. Faktor penampilan fisik antara lain meliputi tingkat higienitas (kebersihan), personal grooming, dan kelayakan busana.

  • Manajemen Impresi

    Manajemen impresi berbicara mengenai taktik bagaimana seorang individu menempatkan diri untuk membangun citra yang diinginkannya di benak lawan bicaranya. Orang yang lihai dalam manajemen impresi akan memanipulasi opini dan evaluasi afektif lawan bicaranya tanpa disadari (Rosenfeld, Giacalone, & Riordan, 1995). Dalam konteks pekerjaan, manajemen impresi bisa dikaitkan dengan persepsi performa pekerjaan dan promosi. Seseorang yang memiliki impresi yang baik, tentu akan memiliki kesempatan yang lebih besar untuk unggul.

  • Perilaku Verbal dan Non-Verbal

    Perilaku verbal dan non-verbal adalah bentuk komunikasi yang paling umum dimana individu mengikatkan diri dan hal ini menjadi bentuk yang penting dalam social influence (Ferris et al., 2002). Contoh bentuk perilaku verbal yang bisa diamati adalah kecepatan bicara dan pemilihan kata, sementara untuk aspek non-verbal adalah gestur tubuh, senyum, dan kontak mata. Sering kali perilaku ini dikendalikan dibawah alam sadar individu, namun melalui latihan, seseorang bisa saja mengontrol perilakunya. Penggunaan taktik ini bisa juga mengeliminasi persepsi ‘stranger’ dan membuat lawan bicara menjadi merasa lebih nyaman dan ramah. Dalam konteks interview, penggunaan taktik yang baik akan membuat interviewer mengamati dan mendengarkan si kandidat dan bisa saja menaikkan rating kandidat terkait.

Bila disimpulkan, seluruh pembahasan ini adalah pembahasan mengenai kecenderungan sikap dan perilaku manusia. Sulit dipungkiri bahwa first impression memang sangat penting dalam membentuk persepsi jangka panjang—dalam hal ini, terkait dengan penerimaan dan performa pekerjaan di masa depan. Namun tentu saja penilaian ini tidak mampu seratus persen menjamin representasi yang valid dan standar penilaian ini sangat objektif. Baiknya perusahaan mempelajari lebih lanjut mengenai analisa lebih dalam terhadap sikap dan perilaku kandidat dan bukannya terpaku pada penilaian pada situasi interview saja. Pula bagi calon karyawan, ada baiknya untuk mengerti pentingnya peranan representasi diri sehingga individu dapat menempatkan diri sewajarnya dan sepantasnya.

 

Referensi:

Cialdini, Robert & Goldstein, Noah. (2004). Social Influence: Compliance and Conformity. Annual review of psychology. 55. 591-621. 10.1146/annurev.psych.55.090902.142015.

Ferris, G.R., Perrewé, P.L., & Douglas, C. 2002. Social effectiveness in organizations: Construct validity and research directions. Journal of Leadership & Organizational Studies, 9: 49-63

Goffman, E. (2006). The Presentation of Self. In D. Brissett & C. Edgley (Eds.), Life as theater: A dramaturgical sourcebook (pp. 129–139). AldineTransaction.

Levy, David & Collins, B.E. & Nail, Paul. (1998). A new model of interpersonal influence characteristics. Journal of Social Behavior and Personality. 13. 715-733.

Rosenfeld, P. & Giacalone, R. & Riordan, C. (1994). Impression Management Theory and Diversity: Lessons for Organizational Behavior. American Behavioral Scientist – AMER BEHAV SCI. 37. 601-604. 10.1177/0002764294037005002.

Rusbult, C. & Van Lange, P. (2003). Interdependence, Interaction, and Relationships. Annual review of psychology. 54. 351-75. 10.1146/annurev.psych.54.101601.145059.

APA YANG DITUNTUT GENERASI MILENIAL DI TEMPAT KERJA?

Bila dilihat dari generasi X dan generasi sebelumnya, fenomena yang kerap terjadi adalah tenaga kerja generasi milenial lebih mudah berpindah pekerjaan. Survei Deloitte (2017) pada 30 negara maju dan berkembang, 38% tenaga kerja generasi milenial berencana pindah perusahaan dalam 2 tahun mendatang. Bahkan, tidak jarang pula mereka benar-benar berpindah industri. Kecilnya retensi tenaga kerja generasi milenial membuat perusahaan harus mengeluarkan banyak biaya untuk perputaran karyawan setiap tahunnya. Lalu apa sebenarnya yang diharapkan oleh tenaga kerja generasi milenial di tempat kerja?

Pada TedX, Keevin O’Rourke, CEO Monday Creatives sekaligus mewakili generasinya, memaparkan bahwa ada dua hal utama yang dituntut oleh generasi milenial di tempat kerja; otonomi dan arti.

Otonomi

Otonomi yang dimaksud, dijabarkan lebih jelas oleh Daniel Pink dalam bukunya Drive: The Surprising Truth About What Motivates Us, dibagi menjadi 4 bagian sederhana:

  • What to do

    Generasi milenial akan lebih suka bila mereka diberi kebebasan terhadap role apa yang mereka mau ambil dalam perusahaan. Mereka ingin melakukan sesuatu yang mereka sukai, dan meskipun mereka tidak mempunyai hak untuk memilah segala hal, setidaknya dengan adanya kebebasan ini, mereka merasa tugas yang dibebankan sesuai dengan karakteristik masing-masing.

  • When to do

    Flexible work-time, tidak dapat dipungkiri, termasuk tuntutan utama generasi ini. Tidak ada lagi batasan ‘jam masuk kerja’ dan ‘jam pulang kerja’, apalagi ‘sembilan jam sehari’. Konsep mindset mereka adalah; pekerjaan mereka, tanggung jawab mereka. Selama mereka mengumpulkan apa yang diminta perusahaan tepat pada waktunya, mereka tidak suka diatur kapan mereka harus melakukan sesuatu.

  • How to do it

    Cara konvensional tidak lagi ampuh untuk tenaga kerja generasi milenial. Generasi ini lebih terbuka pikirannya, lebih kreatif dan lebih mampu menyesuaikan dengan keadaan sekarang. Hal ini membuat usaha pemecahan masalah oleh generasi ini lebih efektif dan efisien. Perusahaan harus memberikan ruang bagi karyawan generasi milenial untuk memecahkan masalah dengan caranya sendiri.

  • Whom to do it with

    Generasi milenial tahu apa yang mereka ingin lakukan dan dengan siapa mereka ingin melakukannya. Mereka lebih suka bekerja dengan orang-orang yang mereka sudah kenal sebelumnya dan orang yang mereka tahu akan mendatangkan benefit untuk mereka. Karena itu, generasi ini cenderung lebih suka memiliki bargaining power dalam menentukan dengan siapa mereka harus bekerja.

Arti

Dibanding generasi sebelum mereka, generasi milenial lebih tidak mengejar reward yang berupa upah. Dibanding dengan upah material, mereka lebih suka mengerjakan sesuatu yang memberikan kepuasan dan kebahagiaan bagi mereka. Hal ini juga termasuk alasan mengapa ada tren ‘I decided to follow my passion’ pada generasi ini. Tingkat kebutuhan mereka sudah mencapai level dimana mereka membutuhkan aktualisasi diri dalam pekerjaan. Bukannya tidak mencari kestabilan finansial, namun diatas segalanya mereka lebih willing untuk berkorban demi sesuatu yang benar-benar mereka sukai dibanding sebuah obligasi.

Dapat disimpulkan, bahwa generasi milenial memang adalah generasi yang cenderung lebih sulit diatur dibanding generasi sebelumnya. Mereka menuntut agar tidak dikekang, diberi suara dan perhatian, juga diberi kesempatan. Mereka menuntut bargaining power yang belum siap diberikan kebanyakan perusahaan yang cenderung masih terikat pesona cara kerja tradisional. Namun di era baru memasuki 2020, perusahaan harus menerima perubahan masif ini. Pasalnya, diperkirakan di tahun 2020, generasi milenial sudah mendominasi 50% operasi seluruh perusahaan di dunia. Perusahaan yang masih terikat cara-cara konvensional dapat dipastikan tidak mampu bertahan, dan perusahaan yang mampu beradaptasi dengan tuntutan generasi dan menggunakan powernya untuk maju akan menang di kompetisi pasar.

EKSPEKTASI GENERASI Z DI DUNIA KERJA

Dalam waktu dekat, dunia kerja akan mendapatkan pendatang baru dari generasi yang berbeda. Perusahaan yang sedang mencoba menerima dan mengolah ide segar dari generasi Y, sebentar lagi akan dikejutkan dengan kehadiran generasi Z. Saat ini, rata-rata tenaga kerja aktif berasal dari tiga generasi sekaligus berada di satu tempat pekerjaan yang sama, yaitu generasi Baby Boomers, generasi X, dan generasi Y. Namun seiring dengan berjalannya waktu, terjadi pergeseran generasi Baby Boomers yang mulai memasuki masa pensiun dengan generasi Z yang mulai masuk ke dunia profesional.

Apa yang perlu kita pahami tentang generasi Z?

Perlu diketahui bahwa generasi Z cenderung dicap jelek oleh masyarakat. Generasi ini disebut sebagai generasi ‘berandal yang narsistik’ dan ‘generasi yang terobsesi oleh self-branding’. Dalam interviewnya yang menjadi viral di Inside Quest, Simon Sinek menjelaskan mengenai bagaimana generasi Z sangat terekspos oleh zat Dopamine, yaitu zat biokimia yang diproduksi oleh otak untuk rangsangan yang menyenangkan. Dengan konektivitas internet dan media sosial tak terbatas, generasi Z menjadi ‘pecandu’ zat Dopamine, zat yang sama yang diproduksi otak saat menerima rangsangan narkotika dan minuman keras. Zat ini pun, tragisnya, diproduksi otak saat menerima balasan ‘chat’ dan ‘like’ di Facebook atau Instagram yang begitu dinanti-nantikan. Belum ditambah dengan gaya hidup instan yang sudah mendarah daging pada generasi Z, hingga mayoritas generasi ini tidak tahu bagaimana caranya bertahan dalam kondisi kerja yang ‘tidak sesuai harapan’ atau ‘tidak sesuai dengan passion’ mereka.

Bagaimana perusahaan harus mempersiapkan diri menyambut generasi Z?

Dalam sebuah penelitian di Slovakia, 237 mahasiswa yang termasuk generasi Z disurvei dan ditanya mengenai ekspektasi mereka dalam dunia kerja. Lalu hasil penelitian ini dibandingkan dengan hasil penelitian yang sudah ada mengenai generasi Y. Penelitian ini juga dikaji dalam 4 tahap pekerjaan, dimulai dari pencarian perusahaan potensial, ekspektasi karir, retensi pekerjaan, dan kepuasan pekerjaan. Hasilnya, generasi Z ternyata kurang lebih mewarisi harapan yang sama dari generasi Y.

  1. Pencarian perusahaan potensial

    Faktor paling penting yang dipertimbangkan oleh generasi Z dalam tahap mencari perusahaan potensial adalah natur pekerjaan dan work-life balance. Kedua faktor ini tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian sebelumnya mengenai generasi Y, yang membawa perubahan pada cara pemberian kompensasi, dari yang semula dihitung dari jam kerja kepada jumlah output yang dihasilkan selama bekerja. Dalam penelitian lain juga dinyatakan bahwa generasi Z lebih banyak mencari ‘kepuasan’ dan ‘kesenangan’ di luar lingkup kerja, seperti dalam komunitas atau lingkaran pergaulan mereka. Akhirnya, dalam setiap kesempatan, generasi Z akan cenderung menghabiskannya untuk kegiatan yang sifatnya memuaskan entertainment pribadi dibanding membangun karir formal. Dapat disimpulkan bahwa penekanan pada keseimbangan jam kerja pada dua generasi ini merupakan sebuah poin penting yang harus diperhatikan perusahaan.

  2. Ekspektasi karir

    Dalam tahap ekspektasi karier, generasi Z cenderung lebih mengutamakan faktor pemenuhan kepuasan internal dan kesempatan untuk mengembangkan skill dan talent.

  3. Retensi pekerjaan

    Dalam tahap retensi pekerjaan, hubungan yang baik dengan boss merupakan faktor krusial yang sama pentingnya dengan jumlah penghargaan dan kompensasi pekerjaannya. Semua faktor ini juga semakin membuktikan nature generasi Z yang cenderung social dan mencari pembuktian diri. Perusahaan baiknya memfasilitasi lingkungan kerja yang dinamis dan menciptakan hubungan antar pekerja yang harmonis.

  4. Kepuasan pekerjaan

    Generasi Z menganggap financial reward, kontribusi terhadap sesuatu yang berarti, dan pengakuan merupakan faktor yang utama. Penekanan pada pengakuan dan kesempatan untuk membuktikan diri adalah poin penting yang harus dicatat oleh perusahaan. Dengan demikian, suasana dan lingkungan pekerjaan dapat beradaptasi dengan membludaknya supply tenaga kerja generasi Z dimasa mendatang.

Perbedaannya adalah jika generasi Y adalah generasi yang berorientasi pada masa depan, maka generasi Z tumbuh menjadi generasi yang lebih realistis atau berorientasi pada masa sekarang. Seiring meleburnya generasi Z menjadi karyawan full time, perusahaan perlu beradaptasi dengan harapan karir mereka agar dapat menarik calon kandidat talent pool masa depan dari generasi ini. Dibandingkan dengan generasi Y, generasi Z lebih fokus menemukan pekerjaan impian daripada stabilitas finansial. Perusahaan secara kreatif dapat menciptakan penawaran kerja dan jalur karir yang spesifik untuk menarik kandidat generasi Z yang lebih kompetitif dan matang daripada generasi sebelumnya.

 

Referensi:

Kirchmayer, Z. & Fratričová, J. (2017). On the Verge of Generation Z: Career Expectations of Current University Students. from https://www.researchgate.net/publication/316789680_On_the_Verge_of_Generation_Z_Career_Expectations_of_Current_University_Students

REKRUTER: AGEN MASA DEPAN

SELAMAT DATANG DI MASA DEPAN

Dalam beberapa tahun ke depan, proses rekrutmen semakin menjadi isu strategis, terlebih bagi perusahaan yang lambat bahkan tidak mampu beradaptasi dengan perubahan jaman. Penyebab perubahan paling signifikan di dalam proses rekrutmen adalah adanya:

  1. Teknologi Baru Dalam Rekrutmen
    1. Semakin banyak HR Software Platforms
      Sistem integrasi smartphone, software applicant tracking system, online learning, and media sosial akan menjadi sebuah alat yang biasa dipakai sehari-hari
    2. Semakin sedikit kertas
      Semakin banyak platform HR Software yang canggih dan proses rekrutmen yang otomatis, rekruter akan meluangkan lebih sedikit waktu untuk menyelesaikan proses administrasi
    3. Media sosial berperan semakin besar
      Banyak kandidat muda yang sudah tidak tertarik mengikuti proses rekrutmen dengan cara lama dan memilih bekerja di perusahaan yang memiliki keberadaan kuat di media sosial.
  1. Gaya Baru Kandidat: Mobile Recruitment

    Menurut Linkedin’s Mobile Recruiting Playbook, 72% dari kandidat aktif mengunjungi mobile site perusahaan untuk mempelajari tentang kesempatan karier dan 45% di antaranya sudah melamar pekerjaan secara mobile. (A Min, 2016)

REKRUTER SEBAGAI AGEN MASA DEPAN

Semakin berkembangnya teknologi dan meningkatnya harapan talents memberikan tekanan kepada para eksekutif di perusahaan untuk berkembang ke level akselerasi. Lebih dari 56% para CEO perusahaan setuju bahwa proses rekrutmen dan retention adalah fokus utama, namun hanya 12% yang percaya bahwa organisasi mereka sudah memiliki strategi rekrutmen yang efektif (Clark, 2017). Cara berbeda yang dapat dilakukan oleh rekruter untuk beradaptasi dengan kemajuan teknologi adalah dengan:

  1. Go Digital

    Bentuk proses rekrutment berdasarkan penerapan teknologi adalah:

    1. Social Media
      Dengan menggunakan media sosial, perusahaan dapat mempercepat waktu perekrutan, melakukan cross check data, dan sebagai media promosi lowongan pekerjaan (Sleek, 2016). Contoh: Linkedin, Facebook, bahkan Instagram dapat membantu perusahaan mendeteksi talent.
    2. Gamification
      Gamification adalah sebuah metode menerapkan konsep permainan (game) terhadap proses lain yang berbeda. Contoh: Google menerapkan Google Code Jam, sebuah kompetisi software-writing yang memberikan hadiah $50,000 untuk pemenang, tetapi hadiah yang sebenarnya adalah Google akan merekrut siapapun yang memenangkan kontes game tersebut.
    3. Software ATS (Applicant Tracking System)
      ATS adalah software aplikasi dimana perusahaan dapat mengontrol seluruh kegiatan rekrutmen, dari tahap seleksi, pengaturan jadwal interview, hingga proses offering secara digital. Contoh: workable, recruiterbox, Urbanhire.
  1. Interactive Interviews

    Rekruter perlu mengembangkan proses rekrutmen menjadi proses yang cepat dan tidak membosankan, terutama untuk generasi kandidat saat ini yang terbiasa mobile (Miller-Meller, 2016):

    1. Proses interview yang dinamis
    2. Mengurangi proses yang formal
    3. Menanyakan pertanyaan yang tepat

    Saat ini rekruter juga dapat menggunakan software untuk interview, seperti CBS Interactive Interviews (Glassdoor, 2017) yang dapat diunduh sebagai aplikasi android.

  1. New Skill Sets

    Rekruter perlu rutin mengidentifikasi new skill sets yang dapat menegaskan kualitas SDM yang dibutuhkan dalam mengembangkan perusahaan dan karir karyawan itu sendiri di masa yang akan datang (GMAC, 2016). Misal: Entrepreneurship skills saat ini dapat digunakan oleh talents atau manajemen senior untuk mengembangkan produk; Creativity menjadi salah satu skill karyawan yang utama di dalam konsep manufacturing 4.0, karena robot dan teknologi lain dapat membantu bekerja lebih cepat, namun tidak dapat berpikir kreatif seperti manusia. (Gray, 2016)

  1. Headhunters

    Saat ini proses headhunting pun bergeser ke arah digital, yaitu menggunakan platform dan penerapan teknologi terbaru untuk semakin mendekatkan diri dengan klien perusahaan dan kandidat.

Teknologi yang semakin baik sebenarnya dapat semakin membantu menganalisa dan memastikan hasil dari proses rekrutmen atau yang disebut dengan Predictive Recruitment Analytics. Di sinilah para rekruter dapat berperan menjadi agen masa depan dengan membantu perusahaan beradaptasi dan menjaga keberlangsungan perusahaan dengan menerapkan strategi rekrutmen yang lebih modern dan efektif.