BUDAYA TOXIC:
RED FLAG UNTUK KINERJA ORGANISASI

Menurut MIT Sloan (2022), lebih dari 40% karyawan berpikir untuk meninggalkan pekerjaan mereka pada awal tahun 2021. Tingkat turnover yang tinggi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti masalah kompensasi, budaya toxic, tidak adanya fleksibilitas, serta minimnya peluang pengembangan diri. MIT Sloan (2022) menyatakan bahwa budaya toxic 10,4 kali lebih berpengaruh dari pada masalah kompensasi. Budaya toxic merupakan budaya yang menimbulkan situasi tidak nyaman di dalam organisasi yang menimbulkan ketidakpuasan karyawan dan mengakibatkan peningkatan turnover.

Untuk mengantisipasi budaya toxic, organisasi perlu memperhatikan checklist budaya toxic:

  • Toxic Leadership

    Salah satu penyebab budaya toxic yang sering kali tidak disadari adalah toxic leadership. Berdasarkan penelitian Schmidt (2014), salah satu penyebab karyawan keluar dari perusahaan adalah toxic leadership, yaitu praktik penyalahgunaan kekuasaan. Temuan ini juga didukung oleh temuan Rayner dan Cooper (1997) mengenai hubungan positif antara toxic leadership dan tingkat turnover karyawan. Untuk membangun budaya, pemimpin memiliki pengaruh yang signifikan, melalui role modelling, menangkap wawasan di dalam perusahaan, dan mengelola umpan balik karyawan. Jika pemimpin yang tidak kompeten dan memberikan contoh yang buruk, tidak heran jika karyawan akan melakukan hal yang sama sehingga menciptakan budaya yang tidak sehat.

  • Ketidakamanan pekerjaan

    Ketidakamanan pekerjaan mengacu pada lingkungan kerja di perusahaan dan mencakup semua faktor yang berdampak pada keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan karyawan. Salah satu contoh ketidakamanan pekerjaan adalah PHK. Organisasi yang sering menekankan tindakan PHK dan bentuk ancaman lain akan menimbulkan rasa ketidakamanan pekerjaan. Karyawan cenderung mencari lebih banyak keamanan kerja dan peluang profesional di tempat lain. Menurut Kurnia dan Widigdo (2021), karyawan akan sibuk bertanya-tanya kapan gilirannya untuk diberhentikan sehingga menimbulkan perasaan stres, ketidakamanan kerja, dan menurunkan tingkat kesejahteraan mereka yang berdampak pada peningkatan turnover.

  • Ketidakseimbangan tingkat inovasi dan tuntutan kerja karyawan

    Menurut Kurnia & Widigdo (2021), tuntutan kerja yang semakin tinggi dapat menimbulkan stres sehingga menurunkan tingkat kesejahteraan karyawan. Di lain sisi, perusahaan yang berinovasi tinggi sering kali juga menuntut karyawan memiliki beban kerja yang lebih banyak. Kegiatan inilah yang menyebabkan karyawan mengalami kelelahan secara psikologis sehingga mengurangi kesejahteraannya. Akibatnya, karyawan lebih cenderung keluar dari perusahaan yang inovatif.

  • Kurang mengapresiasi kinerja karyawan

    Selain menuntut kinerja yang tinggi dari karyawannya, perusahaan perlu memperhatikan kebutuhan karyawan atas apresiasi kinerja mereka. Karyawan yang merasa underappreciated cenderung akan meninggalkan organisasi mereka. Apollo Technical (2022) menekankan bahwa mengakui karyawan secara terbuka atas pekerjaan yang dilakukannya dengan baik mampu memotivasi karyawan. Selain memotivasi, pengakuan karyawan dapat meningkatkan moral, produktivitas, dan membangun hubungan positif di lingkungan kerja.

(BACA ARTIKEL KAMI SELENGKAPNYA: Merasa “Berarti” Itu Perlu)

Untuk mengatasi beberapa permasalahan di atas, berikut beberapa tips yang dapat dilakukan organisasi dalam mempertahankan karyawan (MIT Sloan, 2022):

  • Merekomendasikan pekerjaan lain

    Tidak semua karyawan ingin dipromosi ke jenjang yang lebih tinggi. Banyak karyawan yang ingin menantang dirinya dengan mencoba sesuatu yang baru. Pekerjaan baru menawarkan tantangan tersendiri bagi karyawan. Menurut MIT Sloan (2022), karyawan dua belas kali lebih mungkin untuk bertahan dengan tantangan baru dari pekerjaan dari pada promosi.

  • Mengadakan kegiatan kebersamaan

    Kegiatan kebersamaan yang diselenggarakan perusahaan seperti happy hour, tamasya, team building, dan makan bersama adalah elemen kunci dari budaya organisasi yang sehat. Kegiatan kebersamaan difokuskan untuk membangun hubungan antar karyawan yang lebih intim sehingga mengurangi tingkat gesekan di kantor. Annie McKee, penulis How to Be Happy at Work, mengatakan, “salah satu cara untuk membuat diri kita bahagia di tempat kerja kita adalah dengan membangun persahabatan dengan orang-orang yang bekerja dengan kita, bekerja untuk kita dan bahkan dengan bos kita.”

  • Mengijinkan opsi working from home (WFH)

    Semenjak pandemi, opsi kerja yang lebih fleksibel lebih diminati dari sebelumnya. Dilansir Bloomberg, karyawan lebih memilih untuk keluar dari pekerjaannya dari pada harus  mengorbankan fasilitas WFH. Fleksibilitas ini bukan hanya diinginkan oleh karyawan biasa, tetapi juga para eksekutif. Berdasarkan hasil survei PWC (Desember, 2020), hanya 13% eksekutif saja yang siap kembali bekerja dari kantor. Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk menawarkan cara kerja yang diinginkan karyawan tanpa mengurangi kapasitas kerja dan kinerja mereka.

Mendeteksi budaya toxic memang tidak mudah, apalagi jika budaya tersebut telah menjadi kebiasaan yang ‘dianggap’ baik. Penting bagi pemimpin mendeteksi dan menilai budayanya, apakah sudah menjadi budaya yang benar-benar baik, melalui survei, seperti tentang kepuasan karyawan. Hasil survei kepuasan karyawan yang rendah mungkin dapat menjadi perhatian organisasi karena mungkin mengindikasi adanya budaya toxic. Dengan mengetahui bagaimana budaya menjadi toxic, pemimpin dapat lebih mudah dan tepat memperbaikinya.

Referensi:
https://inside.6q.io/toxic-work-culture/
https://satupersen.net/blog/lingkungan-kerja-toxic-bagi-kesehatan-mental
https://sloanreview.mit.edu/article/toxic-culture-is-driving-the-great-resignation/
https://smallbusiness.chron.com/negative-impacts-high-turnover-rate-20269.html
https://www.apollotechnical.com/why-employee-recognition-is-important/
https://www.octanner.com/insights/articles/2019/10/23/how_does_leadership_.html
https://www.peepshr.co.uk/resource-centre/7-common-causes-of-high-employee-turnover/
Kurnia, C., & Widigdo, A. M. (2021). Effect of work-life balance, job demand, job insecurity on employee performance at PT Jaya Lautan Global with employee well-being as a mediation variable. European Journal of Business and Management Research, 6(5), 147–152. https://doi.org/10.24018/ejbmr.2021.6.5.948
Rayner, C., & Cooper,C. (1997). Workplace bullying: myth or reality can we afford to ignore it? Leadership & Organization Development Journal, 18 (4), 211-214.

MENJADI SEORANG PEMIMPIN

“Tugas pemimpin organisasi adalah mengantisipasi krisis. Mungkin bukan menghindari, tapi mengantisipasinya. Menunggu hingga krisis menghantam merupakan kesalahan besar,” kata Peter Drucker. Seorang pemimpin harus siap menangani krisis dan secara proaktif mencari solusinya.

Salah satu penyebab krisis adalah kesuksesan. Kesuksesan menyebabkan efek kerusakan yang lebih parah dibandingkan dengan kegagalan karena jika sesuatu berjalan tidak semestinya, maka semua orang tahu bahwa mereka harus bekerja untuk mengatasinya. Ketika seseorang telah menjadi sukses, dia akan semakin takut untuk berkembang sehingga dia gagal untuk tetap menjadi sukses di tengah pasar yang berkembang.

Agar perusahaan dapat menjadi sukses dan tetap sukses, sudah menjadi tanggung jawab tim senior untuk memiliki kompetensi dalam melakukan inovasi yang terus – menerus. Inovasi yang terus – menerus akan membuat organisasi menjadi kuat berada selangkah di depan badai. Pemimpin yang memiliki kecakapan membangun organisasi memiliki karakteristik: siap tempur, moral yang tinggi, percaya diri, menjadi tempat orang – orang saling percaya, dan tahu cara bertindak di tengah krisis.

Terdapat kompetensi – kompetensi yang perlu dimiliki oleh seorang pemimpin untuk memimpin organisasi di segala cuaca (baik dan buruk) menurut Drucker:

  1. Kemauan, kemampuan, dan disiplin diri untuk mendengarkan.

    Mendengarkan pendapat orang dengan saksama tanpa menyela.

  1. Kemauan untuk berkomunikasi, membuat dirinya dipahami orang lain.

    Sabar memberitahukan maksud dan tujuan secara berulang – ulang.

  1. Tidak membuat alasan bagi dirinya sendiri.

    Bertanggung jawab pada apa yang tidak berjalan dengan baik dan menetapkan standar keunggulan.

  1. Pemahaman betapa tidak penting dirinya saat dibandingkan dengan tugas yang dilaksanakannya.

    Menjadi pelayan tugas yang dibutuhkan organisasi. Tidak menyamakan diri dengan tugas, tapi menganggap tugas lebih besar dari mereka.

Kompetensi – kompetensi ini penting dimiliki, baik oleh pemimpin alami dan juga pemimpin yang menempa dirinya untuk menjadi kompeten. Tantangan terbesar seorang pemimpin adalah untuk menjaga keseimbangan antara peluang dan risiko dalam setiap keputusan yang diambilnya.

 

Referensi:
Krames, J. A. (2008). Inside Drucker’s Brain. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.

TAK HANYA BUTUH MANAJER, KARYAWAN MILENIAL JUGA BUTUH MENTOR

Generasi milenial tidak hanya membutuhkan sosok pemimpin, melainkan juga mentor yang dapat membuat mereka semakin percaya diri serta memberikan semangat untuk bertahan ketika menghadapi berbagai pekerjaan yang berisiko besar. Mereka tidak ingin terikat dengan sistem manajemen kuno yang hanya menentukan aturan dan batasan. Bagi karyawan milenial, mereka membutuhkan sosok manajer yang dapat menciptakan hubungan kepercayaan dan pengertian terhadap karyawannya. Karyawan harus merasa bebas untuk mendekati manajer dan berbicara secara terbuka tanpa harus merasa terintimidasi, namun tetap menghormati batasan antara manajer dan karyawan.

  1. Membangun hubungan yang saling mengerti dan percaya

    Karyawan harus merasa bahwa manajer tidak akan mengarahkan mereka pada hal yang salah. Ketika karyawan merasa bahwa manajer mengetahui dan menghargai potensi mereka, maka karyawan pun akan berusaha lebih keras untuk unggul dalam segala pekerjaan yang mereka lakukan. Dinamika pendampingan ini berguna untuk membangun kepercayaan dan kesetiaan yang lebih besar dibandingkan kenaikan atau bonus, karena karyawan dan manajer dapat memupuk hubungan timbal balik, bukan sekadar transaksi.

  2. Memberi pengertian untuk belajar dari kesalahan

    Pemimpin harus mengajarkan karyawan untuk bertanggung jawab atas tindakan mereka, serta memiliki akuntabilitas untuk memperbaiki kesalahan tersebut. Karyawan takkan berkembang saat kita hanya menyalahkan atau memberikan ceramah kepada mereka. Sebaliknya, karyawan perlu diberi pengertian bahwa mereka telah melakukan kesalahan. Dalam hal ini, manajer dapat memberikan dukungan secara mental bahwa karyawan mampu memperbaiki kesalahan untuk dapat berkembang ke arah yang lebih baik.

  3. Memberi ruang untuk berkembang

    Jangan sampai seorang pemimpin memberikan rasa takut kepada karyawan milenial saat mereka mengalami kegagalan dalam pekerjaan yang mereka lakukan. Hal tersebut justru akan membuat kinerja karyawan semakin memburuk. Tidak hanya memberi pengertian mengenai kesalahan mereka, seorang pemimpin seharusnya dapat mendorong karyawan untuk memperbaiki kesalahan mereka serta keluar dari zona nyaman mereka untuk melakukan pekerjaan dengan lebih baik lagi. Dengan begitu, ketika karyawan melakukan kesalahan, ia akan tahu cara menghadapinya secara bertanggung jawab dan penuh percaya diri.

Pada akhirnya, seorang pemimpin harus memahami bahwa saat bekerja dengan generasi milenial, mereka harus lebih melihat proses untuk mencapai hasil, bukan hanya sekedar melihat hasil kerja karyawan milenial. Selain itu pemimpin juga perlu memberi ruang kepada karyawan untuk belajar dan berkembang sehingga produktivitas tim secara keseluruhan dapat berjalan dengan baik.

(BACA JUGA: PROGRAM MENTORING)