MELAKUKAN PRIORITAS REKRUTMEN

Menurut EDsmart (2022), sebanyak 48 juta orang mengundurkan diri dari pekerjaannya pada tahun 2021. Jumlah karyawan yang mengundurkan diri secara signifikan dapat menyebabkan kesenjangan posisi yang berpengaruh pada meningkatnya beban kerja karyawan dan berpotensi menyebabkan stres pada karyawan tersebut. Untuk menghindari hal itu, perusahaan harus segera tanggap dalam mengisi posisi yang kosong dengan menentukan prioritas posisi yang harus direkrut terlebih dahulu.

Tiga tahapan dasar dalam proses rekrutmen, yaitu:

  1. Prioritas
  2. Komunikasi
  3. Persiapan
Prioritas

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memprioritaskan posisi atau pekerjaan yang sedang dibutuhkan. Beberapa cara untuk menentukan prioritas dalam rekrutmen, antara lain:

  • Mengumpulkan semua daftar pekerjaan yang dibutuhkan dan tahap perekrutan yang akan dilakukan
  • Identifikasi tantangan yang akan dihadapi untuk merekrut posisi tersebut, seperti kemampuan khusus yang diperlukan untuk posisi tersebut, kondisi market dan ketersediaan kandidat, kualitas kandidat yang ada di bank data saat ini, serta potensi kehilangan kandidat selama proses rekrutmen berlangsung.
  • Identifikasi kebutuhan bisnis dapat dianalisa dengan beberapa pertanyaan seperti:
    • Apakah pekerjaan tersebut memiliki dampak yang besar terhadap produk, layanan, atau proyek?
    • Apakah ini merupakan pekerjaan inti atau key manager?
    • Apakah ada biaya untuk memasang iklan lowongan pekerjaan? (c/o untuk merekrut posisi yang dapat meningkatkan revenue)
    • Berapa besar tekanan yang diberikan pada anggota tim yang tersisa dari posisi kosong yang ada?
    • Apakah posisi tersebut sering kali direkrut?

Perlu diperhatikan, apakah posisi yang kosong ini sering dicari? Jika demikian, maka perlu dievaluasi kembali target obyektif dan deskripsi pekerjaan posisi tersebut. Selain itu, dapat dipertimbangkan pula hal berikut:

  • Apakah posisi tersebut dapat digunakan sebagai sarana promosi internal bagi karyawan yang ada?
  • Apakah tugas tanggung jawab di posisi tersebut dapat dibagi ke anggota tim yang ada?
  • Apakah posisi tersebut perlu untuk dipenuhi atau bahkan dapat berkembang menjadi pekerjaan baru?
Komunikasi

Komunikasi menjadi bagian terpenting dalam proses rekrutmen. Ketika Line Manager mengidentifikasi posisi yang dibutuhkan dan melimpahkannya pada divisi rekrutmen untuk mencari posisi tersebut, maka setiap kemajuan proses rekrutmen harus diinformasikan kepada Line Manager sehingga Line Manager juga membantu menguji kandidat tersebut atau memutuskan apakah pekerjaan tersebut dapat dikerjakan sementara oleh karyawan kontrak jika sangat dibutuhkan.

Persiapan

Langkah ketiga yaitu mempersiapkan perusahaan dalam menghadapi kebutuhan di masa depan yang tidak pasti. Artinya, Manajer SDM perlu mengidentifikasi beberapa hal untuk menyusun prioritas, seperti:

  • Area organisasi mana yang memiliki potensi tertinggi untuk pertumbuhan di masa depan.
  • Identifikasi departemen yang berisiko mengalami turnover.
  • Melakukan diskusi dengan Line Manager untuk mengidentifikasi potensi posisi yang akan dibutuhkan.
  • Identifikasi departemen yang memiliki kandidat internal yang berpotensi untuk mendapatkan promosi.
  • Membangun database untuk kandidat yang potensial namun tidak sesuai dengan pekerjaan yang mereka lamar, tetapi cocok dengan budaya perusahaan sehingga dapat dipertimbangkan di kemudian hari untuk direkrut di posisi yang berbeda.

Melakukan prioritas dalam proses rekrutmen dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi atau menghindari kesenjangan posisi yang menjadi masalah krusial bagi perusahaan. Dengan prioritas, perusahaan mampu merekrut kandidat yang tepat di waktu yang tepat pula sehingga perusahaan tidak akan mengalami krisis kekosongan posisi. Untuk menjalankan prioritas rekrutmen yang baik, perusahaan perlu mempertimbangkan beberapa aspek, seperti siapa yang direkrut, membangun candidate pipeline yang solid secara internal dan eksternal, serta mengupayakan diversity, equity, inclusion, and belonging (DEIB) dalam proses perekrutan.

Referensi:

https://www.predictiveindex.com/blog/how-to-identify-your-hiring-priorities/
https://www.edsmart.org/the-great-resignation-statistics/
https://www.aihr.com/blog/hiring-priorities/

BUDAYA TOXIC:
RED FLAG UNTUK KINERJA ORGANISASI

Menurut MIT Sloan (2022), lebih dari 40% karyawan berpikir untuk meninggalkan pekerjaan mereka pada awal tahun 2021. Tingkat turnover yang tinggi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti masalah kompensasi, budaya toxic, tidak adanya fleksibilitas, serta minimnya peluang pengembangan diri. MIT Sloan (2022) menyatakan bahwa budaya toxic 10,4 kali lebih berpengaruh dari pada masalah kompensasi. Budaya toxic merupakan budaya yang menimbulkan situasi tidak nyaman di dalam organisasi yang menimbulkan ketidakpuasan karyawan dan mengakibatkan peningkatan turnover.

Untuk mengantisipasi budaya toxic, organisasi perlu memperhatikan checklist budaya toxic:

  • Toxic Leadership

    Salah satu penyebab budaya toxic yang sering kali tidak disadari adalah toxic leadership. Berdasarkan penelitian Schmidt (2014), salah satu penyebab karyawan keluar dari perusahaan adalah toxic leadership, yaitu praktik penyalahgunaan kekuasaan. Temuan ini juga didukung oleh temuan Rayner dan Cooper (1997) mengenai hubungan positif antara toxic leadership dan tingkat turnover karyawan. Untuk membangun budaya, pemimpin memiliki pengaruh yang signifikan, melalui role modelling, menangkap wawasan di dalam perusahaan, dan mengelola umpan balik karyawan. Jika pemimpin yang tidak kompeten dan memberikan contoh yang buruk, tidak heran jika karyawan akan melakukan hal yang sama sehingga menciptakan budaya yang tidak sehat.

  • Ketidakamanan pekerjaan

    Ketidakamanan pekerjaan mengacu pada lingkungan kerja di perusahaan dan mencakup semua faktor yang berdampak pada keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan karyawan. Salah satu contoh ketidakamanan pekerjaan adalah PHK. Organisasi yang sering menekankan tindakan PHK dan bentuk ancaman lain akan menimbulkan rasa ketidakamanan pekerjaan. Karyawan cenderung mencari lebih banyak keamanan kerja dan peluang profesional di tempat lain. Menurut Kurnia dan Widigdo (2021), karyawan akan sibuk bertanya-tanya kapan gilirannya untuk diberhentikan sehingga menimbulkan perasaan stres, ketidakamanan kerja, dan menurunkan tingkat kesejahteraan mereka yang berdampak pada peningkatan turnover.

  • Ketidakseimbangan tingkat inovasi dan tuntutan kerja karyawan

    Menurut Kurnia & Widigdo (2021), tuntutan kerja yang semakin tinggi dapat menimbulkan stres sehingga menurunkan tingkat kesejahteraan karyawan. Di lain sisi, perusahaan yang berinovasi tinggi sering kali juga menuntut karyawan memiliki beban kerja yang lebih banyak. Kegiatan inilah yang menyebabkan karyawan mengalami kelelahan secara psikologis sehingga mengurangi kesejahteraannya. Akibatnya, karyawan lebih cenderung keluar dari perusahaan yang inovatif.

  • Kurang mengapresiasi kinerja karyawan

    Selain menuntut kinerja yang tinggi dari karyawannya, perusahaan perlu memperhatikan kebutuhan karyawan atas apresiasi kinerja mereka. Karyawan yang merasa underappreciated cenderung akan meninggalkan organisasi mereka. Apollo Technical (2022) menekankan bahwa mengakui karyawan secara terbuka atas pekerjaan yang dilakukannya dengan baik mampu memotivasi karyawan. Selain memotivasi, pengakuan karyawan dapat meningkatkan moral, produktivitas, dan membangun hubungan positif di lingkungan kerja.

(BACA ARTIKEL KAMI SELENGKAPNYA: Merasa “Berarti” Itu Perlu)

Untuk mengatasi beberapa permasalahan di atas, berikut beberapa tips yang dapat dilakukan organisasi dalam mempertahankan karyawan (MIT Sloan, 2022):

  • Merekomendasikan pekerjaan lain

    Tidak semua karyawan ingin dipromosi ke jenjang yang lebih tinggi. Banyak karyawan yang ingin menantang dirinya dengan mencoba sesuatu yang baru. Pekerjaan baru menawarkan tantangan tersendiri bagi karyawan. Menurut MIT Sloan (2022), karyawan dua belas kali lebih mungkin untuk bertahan dengan tantangan baru dari pekerjaan dari pada promosi.

  • Mengadakan kegiatan kebersamaan

    Kegiatan kebersamaan yang diselenggarakan perusahaan seperti happy hour, tamasya, team building, dan makan bersama adalah elemen kunci dari budaya organisasi yang sehat. Kegiatan kebersamaan difokuskan untuk membangun hubungan antar karyawan yang lebih intim sehingga mengurangi tingkat gesekan di kantor. Annie McKee, penulis How to Be Happy at Work, mengatakan, “salah satu cara untuk membuat diri kita bahagia di tempat kerja kita adalah dengan membangun persahabatan dengan orang-orang yang bekerja dengan kita, bekerja untuk kita dan bahkan dengan bos kita.”

  • Mengijinkan opsi working from home (WFH)

    Semenjak pandemi, opsi kerja yang lebih fleksibel lebih diminati dari sebelumnya. Dilansir Bloomberg, karyawan lebih memilih untuk keluar dari pekerjaannya dari pada harus  mengorbankan fasilitas WFH. Fleksibilitas ini bukan hanya diinginkan oleh karyawan biasa, tetapi juga para eksekutif. Berdasarkan hasil survei PWC (Desember, 2020), hanya 13% eksekutif saja yang siap kembali bekerja dari kantor. Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk menawarkan cara kerja yang diinginkan karyawan tanpa mengurangi kapasitas kerja dan kinerja mereka.

Mendeteksi budaya toxic memang tidak mudah, apalagi jika budaya tersebut telah menjadi kebiasaan yang ‘dianggap’ baik. Penting bagi pemimpin mendeteksi dan menilai budayanya, apakah sudah menjadi budaya yang benar-benar baik, melalui survei, seperti tentang kepuasan karyawan. Hasil survei kepuasan karyawan yang rendah mungkin dapat menjadi perhatian organisasi karena mungkin mengindikasi adanya budaya toxic. Dengan mengetahui bagaimana budaya menjadi toxic, pemimpin dapat lebih mudah dan tepat memperbaikinya.

Referensi:
https://inside.6q.io/toxic-work-culture/
https://satupersen.net/blog/lingkungan-kerja-toxic-bagi-kesehatan-mental
https://sloanreview.mit.edu/article/toxic-culture-is-driving-the-great-resignation/
https://smallbusiness.chron.com/negative-impacts-high-turnover-rate-20269.html
https://www.apollotechnical.com/why-employee-recognition-is-important/
https://www.octanner.com/insights/articles/2019/10/23/how_does_leadership_.html
https://www.peepshr.co.uk/resource-centre/7-common-causes-of-high-employee-turnover/
Kurnia, C., & Widigdo, A. M. (2021). Effect of work-life balance, job demand, job insecurity on employee performance at PT Jaya Lautan Global with employee well-being as a mediation variable. European Journal of Business and Management Research, 6(5), 147–152. https://doi.org/10.24018/ejbmr.2021.6.5.948
Rayner, C., & Cooper,C. (1997). Workplace bullying: myth or reality can we afford to ignore it? Leadership & Organization Development Journal, 18 (4), 211-214.

EMPLOYEE ENGAGEMENT DALAM TEORI MASLOW

Dalam teorinya “Hierarchy of Needs”, Abraham Maslow mengungkapkan bahwa setiap individu harus memenuhi kebutuhan mendasar mereka seperti rasa aman serta tempat untuk tinggal dan berlindung sebelum akhirnya memiliki hasrat untuk tumbuh dan berkembang. Teori Maslow ini juga dapat digunakan dalam dunia kerja sehari-hari, yaitu untuk menemukan cara yang tepat bagi manajemen organisasi untuk memperlakukan karyawan serta berhubungan dengan mereka.

Berdasarkan teori Maslow, terdapat 5 macam karyawan berdasarkan tingkat engagement mereka terhadap organisasi:

  1. The Disengaged

    Sama sekali tidak terhubung atau engaged dengan organisasi, tipe karyawan ini hanya bekerja untuk memenuhi kebutuhan survival seperti makanan, air, dan tempat tinggal. Karyawan ini adalah mereka yang hanya memedulikan upah yang mereka peroleh tanpa bekerja demi tercapainya visi dan misi organisasi.

  1. The Not Engaged

    Tipe karyawan ini masih memiliki kebutuhan untuk mendapatkan stabilitas dan perlindungan dari hukum serta peraturan yang berlaku dalam hidup mereka. Ciri-ciri tipe karyawan ini dalam sebuah organisasi adalah mereka yang sering meminta izin sakit melebihi jatah yang seharusnya dan mengambil jatah lembur. Selain itu, karyawan ini juga tidak selalu menyukai pekerjaan mereka dan bahkan masih mencari-cari pekerjaan lain di luar organisasinya.

  1. The Almost Engaged

    Tipe karyawan ini berada pada tahapan di mana mereka belum sepenuhnya engaged dengan organisasi. Masih membutuhkan rasa cinta dan kasih sayang, karyawan ini berada dalam sebuah breaking point antara loyalitas dan lack of interest. Dalam kehidupan sehari-hari, mereka adalah karyawan yang merasa bangga dengan pekerjaan mereka namun masih membuka kemungkinan untuk bekerja di tempat lain. Hal ini mereka lakukan karena mereka merasa bahwa pekerjaan mereka sekarang tidak memberikan peluang untuk mengembangkan karir sesuai keinginan mereka.

  1. The Engaged

    Merasa engaged dengan perusahaan, karyawan ini merupakan individu yang memiliki hasrat untuk meraih hal-hal yang lebih besar dan berarti, serta untuk mendapatkan rasa hormat dan kebebasan. Mereka adalah para karyawan yang menyadari peran penting mereka dalam organisasi serta selalu fokus dan sibuk dalam pekerjaan mereka.

  1. The Highly Engaged

    Karyawan ini berada di tingkat teratas dalam teori “Hierarchy of Needs” menurut Maslow. Telah memenuhi segala kebutuhan mendasar serta menyadari peran pentingnya dalam organisasi, karyawan ini benar-benar mencintai pekerjaannya dan bahkan berminat untuk menginspirasi orang-orang lain di sekitarnya.

Akhirnya, Employee Engagement berperan penting dalam mengidentifikasi tingkat engagement dan motivasi seseorang dalam bekerja. Dengan adanya informasi tersebut, maka manajemen akan mampu menciptakan kondisi lingkungan kerja yang mendukung karyawannya untuk mengeluarkan kemampuan mereka sepenuhnya dalam bekerja demi perkembangan mereka serta tercapainya visi, misi, dan tujuan organisasi.