Quiet quitting menjadi salah satu tren di tahun 2022 yang dikhawatirkan oleh para pemimpin saat ini. Tren ini mengacu pada perilaku karyawan yang kurang termotivasi untuk meningkatkan kemampuan dan kariernya sehingga cenderung tidak memiliki inisiatif dalam melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Gallup’s State of the Global Workplace (2022) menyatakan bahwa perusahaan di dunia kehilangan $7,8 triliun karena menurunnya produktivitas dan keterlibatan karyawan dalam pekerjaannya. Di sisi lain, Gallup (2022) menemukan bahwa 50% atau bahkan lebih dari itu karyawan di AS merupakan tipikal karyawan yang mudah menyerah sehingga mendorong terjadinya quiet quitting. Fenomena quiet quitting disebabkan oleh satu masalah utama, yaitu terkait janji perusahaan pada karyawan yang tidak ditepati.
Naiknya tingkat turnover karyawan menuntut perusahaan untuk memperbaiki employee value proposition mereka. Salah satu cara meningkatkan keterikatan karyawan adalah dengan menawarkan brand promise, yaitu membuat prioritas terkait dengan kesejahteraan karyawan. Dengan adanya janji ini, banyak karyawan akan menaruh harapan baru dan optimis terhadap perusahaan. Namun, jika hal tersebut tidak terealisasi dengan baik, maka akan berujung pada ketidakpuasan karyawan. Untuk mencegah hal tersebut, perusahaan tidak hanya memberikan janji, namun juga harus menciptakan employee experience yang selaras dengan janji yang diberikan. Selain itu, untuk mempertahankan talenta, perusahaan harus mampu menginternalisasi brand promises yang sudah diberikan di awal ke dalam budaya perusahaan.
Berikut tiga pertanyaan refleksi agar perusahaan membangun budaya untuk menghambat pertumbuhan quiet quiting:
Apakah perusahaan mampu memenuhi apa yang telah dijanjikan?
Salah satu cara untuk mempertahankan karyawan adalah memberikan brand promise yang nyata. Generasi saat ini mengharapkan pekerjaan mereka dapat memberikan makna dan pengaruh terhadap dunia, di samping karyawan juga mengharapkan kesempatan untuk berkembang dan lingkungan kerja yang fleksibel. Perlu digarisbawahi bahwa pendekatan dalam membangun brand promise tanpa memahami budaya perusahaan, tidak akan bertahan lama jika pemimpin tidak memahami apa yang menjadi kebutuhan dan karakteristik dari perusahaan itu sendiri. Oleh karena itu, perusahaan harus menawarkan hal yang unik, yang membedakan perusahaan dengan perusahaan lainnya, serta bagaimana perusahaan dapat menerapkan nilai tersebut di internal perusahaan dan pelanggan yang mereka layani.
Apakah perusahaan mampu mengukur dan meninjau budayanya?
Para pemimpin yang sukses mengukur, meninjau, dan memastikan nilai-nilai dari budaya perusahaan tersampaikan dengan baik kepada setiap karyawan yang ada di perusahaan tersebut. Salah satu caranya dengan melakukan pengukuran baik secara kuantitatif maupun kualitatif untuk memahami employee experience dan kepercayaan karyawan, seperti:
- Faktor apa yang memotivasi karyawan untuk tetap tinggal?
- Momen seperti apa yang dapat meyakinkan karyawan bahwa di sini adalah tempat kerja yang tepat untuk mereka?
- Apa yang membuat karyawan meninggalkan perusahaan?
Ketika perusahaan memahami budayanya dan momen bermakna seperti apa yang dapat menciptakan employee experience yang baik, maka perusahaan dapat membuat perubahan berdasarkan data untuk meningkatkan komitmen karyawan.
Apakah perusahaan sudah melakukan bagiannyaterkait dengan perubahan budaya?
Untuk mengatasi fenomena quiet quitting, para pemimpin perlu mengambil tindakan nyata dan konsisten untuk memastikan bahwa perusahaan serius dalam melakukan perubahan budaya tersebut. Pemimpin merupakan peran vital dalam mengimplementasikan budaya baru karena mereka yang terlibat dalam kegiatan operasional sehari-hari, berinteraksi langsung dengan karyawan, dan membentuk pengalaman di sepanjang proses kerja bersama dengan karyawan. Mereka memberikan pengaruh pada karyawan secara konsisten agar karyawan dapat selaras dengan budaya perusahaan. Tanpa pemimpin yang dapat menginternalisasi budaya perusahaan dengan baik, maka hal tersebut tidak akan dapat terinternalisasi dengan baik di level karyawan.
Meskipun terlihat sebagai ancaman, quiet quitting dapat diatasi jika perusahaan memiliki budaya yang tepat. Budaya perusahaan tidak perlu sempurna untuk menarik talenta yang tepat dan meminimalisasi terjadinya quiet quitting, namun budaya yang dibangun perusahaan harus dapat terealisasi di dalam kesehariannya.
Referensi
https://www.gallup.com/workplace/398306/quiet-quitting-real.aspx
https://www.gallup.com/workplace/403598/need-answer-quiet-quitting-start-culture.aspx
https://teambuilding.com/blog/quiet-quitting-statistics.
https://www.forbes.com/sites/kevinkruse/2022/09/15/why-half-the-workforce-is-quiet-quitting-and-what-to-do-about-it/