Meningkatkan Retensi dengan Internal Employer Branding

Banyak perusahaan memandang bahwa gaji dan tunjangan saja cukup untuk mempertahankan karyawan, namun karyawan sekarang lebih memilih bekerja di perusahaan yang memiliki reputasi yang bagus. Bahkan untuk skala bisnis yang kecil, perusahaan juga perlu memperhatikan brand management mereka untuk mempertahankan talent dan menarik kandidat yang berkualitas (Blankenship, 2022). Aktivitas untuk mengelola brand ini disebut sebagai employer branding.

Proses employer branding yang efektif harus dilaksanakan baik secara eksternal maupun internal. Secara eksternal, perusahaan perlu melaksanakan branding untuk menarik talenta potensial dari luar. Secara internal, departemen SDM harus memastikan bahwa karyawan dapat memvalidasi Employee Value Proposition (EVP) perusahaan, termasuk ekspektasi karyawan terhadap pengalaman setiap hari (Cascio & Graham, 2016). Proses ini dimulai dari rekrutmen karyawan hingga sepanjang Employee Life Cycle (ELC). Untuk memahami proses internal employer branding, berikut elemen-elemen yang berada di dalamnya:

  1. Brand Identity & Brand Image

Brand identity adalah tentang bagaimana perusahaan mengidentifikasi dirinya. Hal ini berkaitan dengan brand voice, brand name, tagline, brand association, dan lain sebagainya. Inilah yang pada umumnya dikomunikasikan perusahaan saat hendak membentuk brand mereka. Di sisi lain, kita juga mengenal istilah brand image, yaitu persepsi orang lain terhadap brand perusahaan. Keselarasan antara brand identity dan brand image inilah yang hendak dicapai perusahaan ketika mengelola employer branding mereka.

  1. Misi dan Visi Perusahaan

Misi dan visi perusahaan merupakan salah satu fondasi saat membangun brand identity. Ketika hendak menanamkan persepsi yang positif tentang perusahaan, misi dan visi dapat menjadi pesan utamanya: “Why we exist?” (misi) serta “What we want to be?“ (visi) (Greyser & Urde, 2019).

  1. Budaya (Culture)

Budaya perusahaan merupakan nilai, etika, perilaku, dan lingkungan kerja yang ada dalam perusahaan. Budaya ini mewakili realita yang ada dalam perusahaan sehingga dapat digunakan sebagai brand message yang autentik untuk disampaikan kepada target kandidat maupun karyawan yang ada saat ini. Pada umumnya, budaya harus selaras dengan misi dan nilai perusahaan untuk memperkuat hubungan dan kepercayaan antara karyawan dengan perusahaan.

INTERNAL MARKETING

Kegiatan yang dilakukan dalam usaha membangun employer branding secara internal juga dikenal sebagai internal marketing. Perusahaan mempromosikan tujuan, budaya, brand, produk, hingga layanan pada seluruh karyawan. Pada umumnya, internal marketing memiliki tujuan yang berbeda dengan marketing yang dilakukan perusahaan pada pelanggan dan calon pembelinya. Internal marketing bertujuan untuk menyediakan informasi yang dapat membentuk persepsi positif karyawan terhadap perusahaan (Backhaus, 2016). Persepsi yang positif tersebut merupakan salah satu indikator leading yang membuat karyawan tetap bertahan di perusahaan. Oleh karena itu, agar dapat meningkatkan retensi karyawan, perusahaan perlu mengidentifikasi faktor apa saja yang dapat membuat karyawan bertahan di perusahaan melalui penelitian seputar kontrak psikologi, baik dari sisi perusahaan maupun karyawan agar dapat memberikan pesan internal yang tepat untuk mendukung implementasi internal marketing (Backhaus, 2016).

EMPLOYEE LIFE CYCLE

Ketika Departemen SDM diberikan tanggung jawab untuk mengelola aktivitas internal employer branding, mereka perlu membangun internal brand message yang konsisten dengan apa yang disampaikan kepada pihak eksternal. Lebih lanjut, pesan-pesan ini perlu disampaikan, baik secara verbal maupun non-verbal kepada karyawan di seluruh tahap employee life cycle (Cascio, 2016). Misalkan, jika hendak mendesain pelatihan, Departemen SDM perlu memperhatikan apa saja brand message yang perlu disampaikan. Perusahaan yang mengutamakan nilai-nilai kerja sama, dapat mendesain pelatihannya dengan menggunakan lebih banyak metode team building, diskusi, brainstorming, dan lain sebagainya selain menyampaikan nilai tersebut secara verbal. Dengan menyisipkan brand message selama pelatihan, upaya internal employer branding juga terlaksana.

Referensi:
Backhaus, K., & Tikoo, S. (2004). Conceptualizing and researching employer branding. Career Development International, 9(5), 501-517.
Backhaus, K. (2016). Employer Branding Revisited. Organization Management Journal, 13(4), 193-201. Doi: 10.1080/15416518.2016.1245128
Blankenship, W. (2022, Apr 19). How Internal Employer Branding Helps You Retain Employees. From Okto Post: https://www.oktopost.com/blog/internal-employer-branding-retain-employees/
Cascio, W.F., Graham, B. (2016). New Strategic Role for HR: Leading the Employer Branding Process. Organization Management Journal, 13(4), 1541-6518. Doi: 10.1080/15416518.2016.124464
https://www.feedough.com/brand-identity/ (What is Brand Identity?)
Greyser, S.A., & Urde, M. (2019). What Does Your Corporate Brand Stand For? Harvard Business Review

Transformasi Budaya sebagai Kunci Mengatasi Quiet Quitting

Quiet quitting menjadi salah satu tren di tahun 2022 yang dikhawatirkan oleh para pemimpin saat ini. Tren ini mengacu pada perilaku karyawan yang kurang termotivasi untuk meningkatkan kemampuan dan kariernya sehingga cenderung tidak memiliki inisiatif dalam melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Gallup’s State of the Global Workplace (2022) menyatakan bahwa perusahaan di dunia kehilangan $7,8 triliun karena menurunnya produktivitas dan keterlibatan karyawan dalam pekerjaannya. Di sisi lain, Gallup (2022) menemukan bahwa 50% atau bahkan lebih dari itu karyawan di AS merupakan tipikal karyawan yang mudah menyerah sehingga mendorong terjadinya quiet quitting. Fenomena quiet quitting disebabkan oleh satu masalah utama, yaitu terkait janji perusahaan pada karyawan yang tidak ditepati.

Continue reading

Tren Kerja Gen Z: Quiet Quitting

Di tahun 2022 ini banyak bermunculan komentar pada platform Tiktok dari karyawan generasi Z yang mengungkapkan rasa frustrasi mereka mengenai lingkungan kerja. Fenomena ini menyebabkan banyak karyawan melakukan quiet quitting, yaitu cara bagi karyawan untuk berhenti sejenak dari pekerjaannya, menetapkan batasan dan tidak melakukan pekerjaan tambahan, tidak ada keinginan untuk mengembangkan kemampuan, memandang pekerjaan atau tempat bekerja secara apatis sehingga seseorang bersikap pasif dan kurang inisiatif. Intinya, quiet quitting tidak berarti karyawan meninggalkan pekerjaan sepenuhnya karena mereka tetap membutuhkan pendapatan.

Menurut penelitian Gallup (2022), hampir 50% karyawan di Amerika Serikat ingin melakukan quiet quitting. Akibatnya, 32% dari karyawan tersebut mengalami penurunan keterlibatan sedangkan 18% dari mereka tetap terlibat aktif di perusahaan. Gallup menemukan bahwa angka tersebut didominasi oleh karyawan muda di bawah umur 35 tahun. Gen Z merasa bahwa perusahaan tidak peduli atas kehidupan pribadi maupun kariernya sehingga mereka terdorong untuk melakukan quiet quitting.

Terdapat beberapa penyebab di balik maraknya quiet quitting yang dilakukan oleh Gen Z, di antaranya:

  • Beberapa karyawan Gen Z menuliskan keluhan mereka di media sosial mengenai kekecewaan mereka terhadap perusahaan yang berpengaruh pada kebahagiaan dan kepuasan karyawan sehingga mereka memilih untuk melakukan quiet quitting daripada resign karena tetap mempertimbangkan jenjang kariernya.
  • Beberapa karyawan senior berpendapat bahwa tren quiet quitting adalah akibat dari kemalasan atau kurangnya ambisi karyawan Gen Z. Beberapa karyawan Gen Z berpendapat bahwa mereka hanya melakukan apa yang diharapkan dari mereka secara kontraktual sehingga mampu menjaga work-life balance.
  • Bagi Jaya Dass, direktur pelaksana Randstad untuk Singapura dan Malaysia, quiet quitting adalah dampak dari pandemi Covid – 19, di mana sistem work from home membuat karyawan merasa diberdayakan untuk mengerjakan pekerjaan lebih banyak dari tugas mereka sebelumnya dan secara bersamaan juga harus menyeimbangkan kehidupan pribadinya sehingga mereka merasa kelelahan.

Quiet quitting memiliki dampak positif dan negatif bagi karyawan maupun perusahaan. Dampak positifnya adalah work life balance bagi pekerja yang menurunkan stres dan burn out. Dampak negatifnya adalah produktivitas pekerja yang menurun dan konsekuensi paling fatal adalah PHK karyawan karena dianggap tidak memiliki performa yang baik dalam bekerja.

Tentu saja untuk menghadapi tren ini, HR perlu mengambil beberapa langkah strategis. Ada 3 hal yang dapat dilakukan, antara lain:

  • Membangun relasi dengan komunikasi yang lebih terbuka

    Jika manajemen memutuskan memberikan penambahan tanggung jawab untuk tujuan pengembangan karyawan ybs, maka perlu disampaikan secara lebih transparan. Selain itu, juga perlu didiskusikan ekspektasi dan aspirasi karir dari karyawan ybs sehingga program pengembangan yang telah direncanakan dapat berjalan maksimal dan mendukung optimalisasi kapasitas individu.

  • Menjaga batasan “professional life vs personal life”

    Memahami batasan antara waktu kerja dan waktu pribadi adalah penting, seperti contohnya perlu diperjelas bahwa memberikan respon (menjawab panggilan/ pesan singkat) di luar jam kerja sifatnya opsional namun dengan tetap memperhatikan urgency-nya.

  • Menyiapkan program apresiasi dan pengembangan

    Salah satu yang menjadi penyebab quiet quitting adalah perasaan kecewa dengan perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan dapat menyiapkan program apresiasi yang dapat diberikan oleh karyawan, baik secara finansial maupun non-finansial. Selain itu, program pelatihan dan pengembangan karyawan juga penting untuk terus dilakukan. Ketika hal ini dilakukan secara konsisten, maka dapat memberikan kontribusi positif ke tingkat employee engagement karyawan.

 

Referensi:
https://www.cnbc.com/2022/08/30/is-quiet-quitting-a-good-idea-heres-what-workplace-experts-say.html
https://www.hrexchangenetwork.com/employee-engagement/articles/gen-z-is-quiet-quitting-a-problem-or-a-wake-up-call
https://www.techtarget.com/whatis/feature/Quiet-quitting-explained-Everything-you-need-to-know
https://www.gallup.com/workplace/398306/quiet-quitting-real.aspx
https://employers.glints.com/id-id/blog/menghindari-queit-quitting/

TIPE-TIPE WAWANCARA

Wawancara merupakan salah satu tahap terpenting dari proses rekrutmen karena melalui proses wawancara ini, hiring manager dapat melihat dan mengenali kandidat lebih dalam daripada hanya dengan membaca CV atau resume. Perusahaan pada umumnya mengatur jadwal wawancara secara tatap muka, namun karena adanya problem pandemik, menuntut perusahaan untuk beradaptasi menjadi sistem online. Wawancara online dapat dilakukan melalui beberapa aplikasi konferensi video yang dapat digunakan dengan mudah dan bebas seperti Zoom, Google Meet, dan Whatsapp.

Beberapa tipe wawancara yang sering dijumpai:

  • Wawancara tatap muka

    Wawancara tatap muka merupakan bentuk wawancara yang paling populer. Wawancara ini mewajibkan seluruh kandidat datang ke tempat dan waktu yang telah ditentukan atau disepakati bersama. Jenis wawancara ini memungkinkan pewawancara untuk lebih mengenal karakteristik setiap kandidat secara langsung.

  • Wawancara online

    Wawancara online merupakan salah satu bentuk wawancara yang merupakan dampak dari pandemi. Wawancara dilakukan dengan menggunakan teknologi atau aplikasi yang memungkinkan pewawancara dapat bertanya secara real-time kepada kandidat. Jadi, wawancara tipe ini dapat dilakukan di manapun kandidat atau pewawancara berada.

  • Wawancara situasional

    Dalam wawancara situasional, pewawancara akan bertanya kepada kandidat tentang perilakunya dalam situasi tertentu. Kandidat diwawancarai tentang tindakan apa yang akan mereka ambil dalam berbagai situasi terkait pekerjaan. Wawancara situasional meminta kandidat untuk menggambarkan bagaimana mereka akan bereaksi terhadap situasi hipotetis hari ini atau besok.

  • Wawancara perilaku

    Dalam wawancara perilaku, pewawancara meminta kandidat untuk menggambarkan bagaimana mereka bereaksi terhadap situasi aktual di masa lalu. Wawancara tipe ini menggunakan pertanyaan yang dirancang untuk menyelidiki perilaku masa lalu kandidat dalam situasi tertentu dengan memenanyakan semua kandidat dengan pertanyaan standar tentang bagaimana mereka menangani situasi masa lalu yang serupa dengan situasi yang mungkin mereka hadapi di tempat kerja.

  • Wawancara kelompok

    Wawancara dengan cara mengumpulkan beberapa kandidat dalam satu ruangan, jarang dilakukan oleh pewawancara. Wawancara tipe ini dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu wawancara individu; dengan mengajukan pertanyaan yang sama untuk seluruh kandidat. Wawancara ini memberikan kesempatan kepada setiap kandidat untuk bersaing memberikan kesan yang positif dan unggul bagi pewawancara. Cara yang kedua dilakukan dengan menempatkan beberapa kandidat dalam diskusi dan pewawancara duduk di belakang untuk mengamati dan mengevaluasi kinerja para kandidat.

  • Wawancara panel

    Wawancara panel adalah percakapan dengan dua atau lebih anggota tim perekrutan. Wawancara tipe ini sama dengan wawancara tatap muka individu, tetapi dengan dua atau lebih pewawancara di dalam ruangan. Keuntungan utama wawancara panel adalah untuk menghindari bias pribadi. Setiap pewawancara akan memiliki pandangan yang berbeda mengenai karakteristik, kekuatan dan kelemahan kandidat sehingga mampu membuat penilaian yang lebih adil.

Perusahaan dapat menentukan tipe wawancara yang disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisinya, bahkan dapat menggunakan beberapa macam tipe wawancara untuk proses rekrutmen yang lebih efektif.

(BAJA JUGA: BEHAVIORAL EVENT INTERVIEW)

Referensi:

https://www.iedunote.com/interview
https://coburgbanks.co.uk/blog/assessing-applicants/6-different-types-of-interview/
https://www.lebow.drexel.edu/academics/undergraduate/current-students/career-services/interviewing/interview-types

Pentingnya Membuat Catatan Wawancara

Membuat catatan wawancara adalah langkah pertama dalam mendokumentasikan wawancara dari segi kualifikasi kandidat. Catatan wawancara dibutuhkan oleh pewawancara karena adanya keterbatasan dalam mengingat semua kualifikasi setiap kandidat. Dengan membuat catatan, pewawancara dapat menilai, membedakan, dan memilih kandidat terbaik untuk setiap posisi.

Tips untuk membuat catatan wawancara yang efektif:

  • Singkat dan ringkas, artinya catatan wawancara tidak perlu panjang dan harus fokus pada faktor-faktor kunci yang terkait dengan kualifikasi kandidat.
  • Mudah dipahami, artinya catatan wawancara harus dapat mudah dipahami oleh anggota tim lain yang terlibat dalam keputusan perekrutan.
  • Catatan wawancara harus relevan dengan posisi yang dilamar dan mencantumkan kualifikasi kandidat untuk posisi tersebut. Jika pewawancara mendokumentasikan informasi yang tidak dapat digunakan dalam pengambilan keputusan perekrutan, catatan tersebut bisa dianggap tidak relevan.

Berikut beberapa cara untuk melakukan pencatatan wawancara:

  • Membuat daftar pertanyaan

    Sebelum melakukan wawancara, biasanya pewawancara akan mempersiapkan beberapa daftar pertanyaan umum atau pertanyaan khusus terkait dengan profil kandidat untuk mengetahui apakah profil kandidat sesuai dengan posisi yang sedang dicari.

  • Mencatat poin penting dari jawaban kandidat

    Pewawancara cukup mencatat poin penting dari jawaban kandidat atas pertanyaan yang diberikan sebagai catatan untuk membedakan dan mengelompokkan kandidat.

  • Membuat catatan observasi selama wawancara berlangsung

    Pewawancara dapat mencatat beberapa hal mengenai perilaku dan bahasa tubuh kandidat yang menggambarkan kepercayaan diri atau karakteristik kandidat. Apakah kandidat merasa tidak percaya diri atau over – confident atas kemampuan dan keterampilannya. Bahasa tubuh kandidat saat menjawab pertanyaan juga dapat mencerminkan karakternya.

Dalam proses rekrutmen, membuat catatan wawancara merupakan kegiatan yang lebih efektif daripada hanya mendengarkan informasi yang diberikan kandidat, lalu melupakannya. Catatan wawancara akan membantu pewawancara untuk memastikan bahwa tidak ada kesalahan informasi dalam mengutip atau mengingat sesuatu.

(BACA JUGA: TINDAKAN LANGSUNG SETELAH WAWANCARA)

 

Referensi:

https://eddy.com/hr-encyclopedia/interview-note-taking/
https://otter.ai/blog/good-interview-notes
https://work.chron.com/notes-during-employee-interview-7076.html

LIMA MANFAAT KOLABORASI DI TEMPAT KERJA

Kolaborasi merupakan praktik kerja di mana setiap individu bekerja sama dengan menggunakan kemampuan dan pengetahuannya untuk mencapai satu tujuan yang sama. Saat ini, kolaborasi dapat diwujudkan dengan dua cara yaitu, sinkronus dan asinkronus. Sinkronus artinya setiap orang berinteraksi secara real-time, seperti rapat online, pesan instan, atau zoom, sedangkan asinkronus merupakan interaksi yang dilakukan secara tidak real-time, misalnya karyawan dapat berinteraksi atau berdiskusi melalui platform tertentu, antara lain chat atau forum. Meskipun terlihat sepele, kolaborasi dapat memberikan dampak yang signifikan kepada perusahaan. Penelitian Zippia (2022) menyatakan bahwa perusahaan yang memprioritaskan kolaborasi di tempat kerja, memiliki tingkat kinerja lima kali lebih tinggi daripada perusahaan yang tidak memprioritaskan kolaborasi.

Berikut beberapa manfaat lain dari lingkungan kerja kolaboratif:

  1. Problem-solving

    Karyawan mungkin membutuhkan bantuan dari rekan kerjanya dalam menyelesaikan suatu masalah, bahkan dari divisi lain. Dengan berdiskusi, bertukar pikiran, dan meminta pendapat dari rekan kerja, bahkan tim, karyawan bisa mendapatkan pencerahan yang digunakan sebagai solusi masalah yang ada.

  1. Komunikasi yang terbuka

    Kolaborasi mendorong setiap anggota dalam tim untuk berkomunikasi dalam bentuk bertukar pikiran, brainstorming, dan menyampaikan pendapat. David Hassel mengatakan: “mempertahankan komunikasi langsung yang teratur dengan anggota tim membantu perusahaan memperoleh wawasan tentang cara operasi setiap departemen sehingga dapat menyelesaikan masalah dengan cepat.” Selain itu, komunikasi membuat hubungan karyawan menjadi lebih dekat satu dengan yang lain.

  1. Skill-sharing

    Kolaborasi dapat dimanfaatkan sebagai salah satu sarana untuk mengembangkan keterampilan antarkaryawan dengan berbagi pengalaman atau pengetahuan. Karyawan harus meminta umpan balik, pendapat, berbagi pengetahuan, dan mendapatkan pemahaman yang lebih baik tentang cara kerja rekan mereka. Belajar dari rekan kerja bukan hanya manfaat dari kolaborasi, namun ini adalah langkah pertama membangun budaya kerja yang berpusat pada learning and development.

  1. Pencapaian tujuan

    Karyawan perlu bekerja sama dengan rekan kerja mereka untuk mencapai tujuan individu maupun perusahaan. Dengan kolaborasi, hubungan antarkaryawan akan dipererat sehingga memiliki rasa kepemilikan yang sama dalam mencapai sebuah tujuan tertentu.  Untuk mencapainya, karyawan dapat menggabungkan kemampuan dan pengetahuan yang dimiliki sehingga tujuan lebih mudah diraih. Oleh karena itu, pemimpin perlu menyelaraskan tujuan sehingga setiap anggota memiliki pandangan dan tujuan yang sama.

  1. Peningkatan keterlibatan

    Kolaborasi mampu meningkatkan hubungan antarkaryawan sehingga karyawan merasa nyaman dan puas dalam bekerja. Rasa nyaman membuat karyawan merasa lebih bebas menyampaikan pendapat serta ide yang menjadi salah satu bentuk keterlibatan. Di sisi lain, keterlibatan mampu meningkatkan aspek bisnis lainnya, seperti peningkatan produktivitas, profitabilitas, retensi, serta kebahagiaan karyawan.

Membangun kolaborasi menjadi salah satu tantangan bagi HR leaders karena tren kerja jarak jauh menyebabkan karyawan harus berinteraksi secara tidak langsung. Untuk mengatasi fenomena ini, HR leaders dapat memanfaatkan beberapa platform komunikasi secara rutin, seperti Zoom, Googlemeet, dan Skype. Selain itu, HR leaders dapat meluangkan waktu singkat untuk melakukan brainstorming bersama anggota tim sehingga karyawan dapat membangun hubungan dengan berbagi ide atau pandangan.

Referensi:

https://www.zippia.com/advice/workplace-collaboration-statistics/
https://hbr.org/2007/11/eight-ways-to-build-collaborative-teams
https://www.beekeeper.io/blog/benefits-collaboration-business/
https://americassbdc.org/8-reasons-to-consider-collaborating-with-another-small-business/
https://blog.jostle.me/blog/why-collaboration-is-important
https://blog.flock.com/benefits-team-collaboration-work

TIGA PRIORITAS UTAMA DALAM REKRUTMEN

Recruiter & Employer Sentiment Survey MRI Network (2016) menyatakan bahwa 56% perusahaan melakukan proses rekrutmen dengan prosedur yang rumit. Sebenarnya, fenomena ini dapat diatasi dengan membuat prioritas rekrutmen yang relevan dengan keadaan bisnis saat ini. Dengan menentukan prioritas, perusahaan dapat melakukan rekrutmen sesuai dengan tingkat urgensinya sehingga perusahaan tidak perlu mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk merekrut posisi yang penting dan mendesak. Untuk melakukan rekrutmen yang efektif, perusahaan dapat mengidentifikasi critical roles, membangun candidate pipeline, serta mengutamakan diversity, equity, and inclusion (DEI) di lingkungan kerja.

  1. Mengidentifikasi Critical Roles

    Critical roles merupakan posisi penting yang sangat berdampak pada perusahaan sehingga harus diisi oleh orang yang tepat. Untuk mengidentifikasinya, perusahaan dapat menilai dampak signifikan yang ditimbulkan jika terjadi kekosongan posisi. Critical roles tidak selalu mengarah pada posisi level atas, namun dapat dilihat dari peran dalam proses bisnis. Berikut beberapa pertanyaan yang dapat membantu perusahaan dalam menganalisis ciritical roles:

  • Apakah ini pekerjaan inti atau posisi kepemimpinan kunci?
  • Apakah posisi tersebut memiliki dampak yang tinggi pada produk atau proyek penting?
  • Seberapa besar tekanan yang diberikan peran terbuka pada staf atau departemen yang tersisa?
  • Apakah lowongan tersebut secara langsung mempengaruhi pendapatan perusahaan?
  • Apakah itu posisi yang selalu Anda rekrut?
  1. Membangun candidate pipeline yang kuat

    Mengumpulkan kandidat-kandidat potensial mampu menghemat waktu dan sumber daya perusahaan. Penelitian Beamery (2018) menyatakan bahwa 83% perusahaan secara proaktif mencari kandidat terlepas dari lowongan mereka saat ini. Memiliki database kandidat yang dapat ditelusuri sebelumnya akan membuat proses rekrutmen lebih mudah untuk dikelola. Database kandidat ini dapat dikumpulkan melalui media sosial seperti LinkedIn atau Facebook. Selain itu, database kandidat juga dapat diperoleh melalui rekomendasi dari karyawan. Di sisi lain, perusahaan dapat mengumpulkan database dari kandidat yang sudah pernah melamar ke perusahaan. Terdapat beberapa kandidat yang memiliki budaya atau nilai yang cocok dengan perusahaan, namun kurang cocok untuk posisi yang dilamar sehingga perusahaan dapat mempertimbangkan apakah kandidat tersebut mampu mengisi posisi kosong yang dibutuhkan.

  1. Memprioritaskan DEI

    Diversity, equity, inclusion (DEI) merupakan salah satu faktor yang berpengaruh pada proses rekrutmen karena kandidat lebih tertarik bergabung dengan perusahaan yang memiliki keberagaman yang tinggi. Menurut Glassdoor (2020), 3 dari 4 (76%) kandidat merasa tempat kerja yang beragam merupakan faktor penting dalam penilaian mereka terhadap perusahaan. Glassdoor juga menyatakan bahwa hampir sepertiga (32%) kandidat tidak akan melamar pekerjaan di perusahaan yang tidak memiliki keragaman di tempat kerja. Keragaman mengacu pada perbedaan yang dimiliki oleh setiap karyawan dalam perusahaan, baik ras, etnis, agama, budaya, dll. Sedangkan inklusi mengacu pada perasaan dihargai, dihormati, diterima, dan didorong untuk berpartisipasi penuh dalam perusahaan. Untuk mencapai inklusi, perusahaan perlu mendorong ekuitas untuk memastikan kesetaraan dan keadilan di tengah perbedaan.

Dengan penggunaan teknologi digital yang lebih baik lagi, perusahaan tidak perlu bergantung pada metode perekrutan tradisional untuk menarik dan mempertahankan talenta berkualitas. Sebaliknya, perusahaan bisa berfokus pada pengembangan dan implementasi strategi rekrutmen yang terdefinisi dengan baik untuk hasil perekrutan yang lebih efektif dan optimal.

 

Referensi:

https://zety.com/blog/hr-statistics
https://www.aihr.com/blog/hiring-priorities/
https://www.glassdoor.com/employers/blog/diversity/

MELAKUKAN PRIORITAS REKRUTMEN

Menurut EDsmart (2022), sebanyak 48 juta orang mengundurkan diri dari pekerjaannya pada tahun 2021. Jumlah karyawan yang mengundurkan diri secara signifikan dapat menyebabkan kesenjangan posisi yang berpengaruh pada meningkatnya beban kerja karyawan dan berpotensi menyebabkan stres pada karyawan tersebut. Untuk menghindari hal itu, perusahaan harus segera tanggap dalam mengisi posisi yang kosong dengan menentukan prioritas posisi yang harus direkrut terlebih dahulu.

Tiga tahapan dasar dalam proses rekrutmen, yaitu:

  1. Prioritas
  2. Komunikasi
  3. Persiapan
Prioritas

Langkah pertama yang harus dilakukan adalah memprioritaskan posisi atau pekerjaan yang sedang dibutuhkan. Beberapa cara untuk menentukan prioritas dalam rekrutmen, antara lain:

  • Mengumpulkan semua daftar pekerjaan yang dibutuhkan dan tahap perekrutan yang akan dilakukan
  • Identifikasi tantangan yang akan dihadapi untuk merekrut posisi tersebut, seperti kemampuan khusus yang diperlukan untuk posisi tersebut, kondisi market dan ketersediaan kandidat, kualitas kandidat yang ada di bank data saat ini, serta potensi kehilangan kandidat selama proses rekrutmen berlangsung.
  • Identifikasi kebutuhan bisnis dapat dianalisa dengan beberapa pertanyaan seperti:
    • Apakah pekerjaan tersebut memiliki dampak yang besar terhadap produk, layanan, atau proyek?
    • Apakah ini merupakan pekerjaan inti atau key manager?
    • Apakah ada biaya untuk memasang iklan lowongan pekerjaan? (c/o untuk merekrut posisi yang dapat meningkatkan revenue)
    • Berapa besar tekanan yang diberikan pada anggota tim yang tersisa dari posisi kosong yang ada?
    • Apakah posisi tersebut sering kali direkrut?

Perlu diperhatikan, apakah posisi yang kosong ini sering dicari? Jika demikian, maka perlu dievaluasi kembali target obyektif dan deskripsi pekerjaan posisi tersebut. Selain itu, dapat dipertimbangkan pula hal berikut:

  • Apakah posisi tersebut dapat digunakan sebagai sarana promosi internal bagi karyawan yang ada?
  • Apakah tugas tanggung jawab di posisi tersebut dapat dibagi ke anggota tim yang ada?
  • Apakah posisi tersebut perlu untuk dipenuhi atau bahkan dapat berkembang menjadi pekerjaan baru?
Komunikasi

Komunikasi menjadi bagian terpenting dalam proses rekrutmen. Ketika Line Manager mengidentifikasi posisi yang dibutuhkan dan melimpahkannya pada divisi rekrutmen untuk mencari posisi tersebut, maka setiap kemajuan proses rekrutmen harus diinformasikan kepada Line Manager sehingga Line Manager juga membantu menguji kandidat tersebut atau memutuskan apakah pekerjaan tersebut dapat dikerjakan sementara oleh karyawan kontrak jika sangat dibutuhkan.

Persiapan

Langkah ketiga yaitu mempersiapkan perusahaan dalam menghadapi kebutuhan di masa depan yang tidak pasti. Artinya, Manajer SDM perlu mengidentifikasi beberapa hal untuk menyusun prioritas, seperti:

  • Area organisasi mana yang memiliki potensi tertinggi untuk pertumbuhan di masa depan.
  • Identifikasi departemen yang berisiko mengalami turnover.
  • Melakukan diskusi dengan Line Manager untuk mengidentifikasi potensi posisi yang akan dibutuhkan.
  • Identifikasi departemen yang memiliki kandidat internal yang berpotensi untuk mendapatkan promosi.
  • Membangun database untuk kandidat yang potensial namun tidak sesuai dengan pekerjaan yang mereka lamar, tetapi cocok dengan budaya perusahaan sehingga dapat dipertimbangkan di kemudian hari untuk direkrut di posisi yang berbeda.

Melakukan prioritas dalam proses rekrutmen dapat menjadi salah satu solusi dalam mengatasi atau menghindari kesenjangan posisi yang menjadi masalah krusial bagi perusahaan. Dengan prioritas, perusahaan mampu merekrut kandidat yang tepat di waktu yang tepat pula sehingga perusahaan tidak akan mengalami krisis kekosongan posisi. Untuk menjalankan prioritas rekrutmen yang baik, perusahaan perlu mempertimbangkan beberapa aspek, seperti siapa yang direkrut, membangun candidate pipeline yang solid secara internal dan eksternal, serta mengupayakan diversity, equity, inclusion, and belonging (DEIB) dalam proses perekrutan.

Referensi:

https://www.predictiveindex.com/blog/how-to-identify-your-hiring-priorities/
https://www.edsmart.org/the-great-resignation-statistics/
https://www.aihr.com/blog/hiring-priorities/

START-UP VS PERUSAHAAN KONVENSIONAL:
MANA YANG LEBIH BAIK UNTUK PENGEMBANGAN KARIER?

Perusahaan konvensional merupakan perusahaan yang menganut budaya tradisional dalam menjalankan proses bisnis. Sedangkan perusahaan start-up merupakan perusahaan yang baru beroperasi dan masih berada pada fase pengembangan untuk menemukan pasar dan mengembangkan produk.

Alcatel-Lucent Enterprise menjabarkan tiga perbedaan antara start-up dan perusahaan konvensional dilihat dari:

  • Pola Pikir dan Tujuan

    Menurut Steve Blank, seorang pakar start-up Silicon Valley, start-up merupakan perusahaan yang dibangun dengan tujuan untuk berkembang menjadi sangat besar dan menjadi pemimpin pada industri tersebut. Perusahaan akan melakukan berbagai cara untuk berinovasi serta meraih pertumbuhan yang cepat. Sedangkan perusahaan konvensional berfokus pada profit serta perkembangan yang lambat namun pasti.

  • Cara Pendanaan

    Perusahaan konvensional berjalan dengan mengandalkan profit dari hasil keuntungan usahanya. Sedangkan start-up karena memiliki tujuan untuk menjadi pemimpin industri dalam waktu cepat, maka membutuhkan modal yang besar di fase awal pembangunan bisnis yang biasanya diperoleh dari venture capital.

  • Ritme Kerja Karyawan

    Karyawan start-up dituntut untuk selalu berkembang, dan bekerja secara lebih cepat. Hal ini dikarenakan banyaknya pekerjaan dan proyek yang harus dipelajari dan diselesaikan dalam waktu yang cepat. Sedangkan, pada perusahaan konvensional biasanya setiap pekerjaan telah diplot dengan baik sehingga pekerjaan yang harus diselesaikan pun cenderung lebih mudah ditebak.

Dari karakteristik kedua model perusahaan, perusahaan konvensional dan start-up memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Kelebihan perusahaan konvensional adalah struktur perusahaan lebih tertata dan disiplin karena memiliki hierarki yang panjang. Selain itu, karyawan yang bekerja di perusahaan konvensional memiliki tugas atau tanggung jawab yang jelas dan gaji yang diberikan cenderung stabil. Di sisi lain, panjangnya hierarki menyebabkan arus komunikasi lebih tertutup sehingga sering kali terjadi miss communication dari atasan ke bawahan. Perusahaan jenis ini biasanya cenderung menghindari risiko agar perusahaan tetap dalam area yang aman, namun terjebak dalam status quo sehingga kehilangan kesempatan untuk berkembang.

Berbanding terbalik dengan start-up, perusahaan jenis ini tidak memiliki hierarki yang panjang sehingga komunikasi lebih terbuka dan potensi miskomunikasi yang lebih kecil. Selain itu, start-up mampu memberikan fleksibilitas pada jam kerja maupun lokasi pengerjaan tugas yang berpotensi pada peningkatan kepuasan dan retensi karyawan. Start-up merupakan perusahaan yang tidak takut gagal dan mampu merespon perubahan dengan tanggap yang berdampak pada proses inovasi yang cepat. Namun, perlu digarisbawahi bahwa start-up merupakan perusahaan yang cenderung belum stabil. Menurut Exploding Topics (2022), lebih dari 90% perusahaan start-up gagal dalam di tahun pertamanya. Selain itu, perusahaan harus memastikan bahwa karyawan mampu melakukan multitasking pekerjaan karena start-up menganut budaya multiple hats, yaitu setiap karyawan memiliki lebih dari satu peran atau tanggung jawab yang mungkin memberatkan karyawan.

Dari segi karakteristik, kelebihan, serta kelemahan kedua tipe perusahaan tersebut, karyawan dapat melihat perusahaan tipe apa yang cocok untuk pengembangan karier mereka. Berikut beberapa karakteristik karyawan yang lebih cocok bekerja di perusahaan start-up:

  • Ingin mempelajari hal-hal baru
  • Ingin memperluas pengalaman bekerja
  • Lebih menyukai bekerja dengan tim yang lebih kecil
  • Tertarik dengan teknologi terbaru
  • Ingin jam kerja yang fleksibel
  • Berani mengambil risiko

Sebaliknya, berikut beberapa karakteristik karyawan yang cocok bekerja pada perusahaan konvensional:

  • Lebih menyukai peran dan tanggung jawab yang jelas
  • Ingin mendapat bimbingan dari pemimpin.
  • Ingin memiliki keterampilan khusus (spesialis) di bidang tertentu
  • Lebih menyukai mengerjakan proyek besar jangka panjang daripada proyek jangka pendek

Bekerja di perusahaan yang tepat menjadi salah satu kunci kesuksesan karier yang diimpikan oleh karyawan. Untuk itu, karyawan perlu mengetahui seperti apa gaya kerja serta budaya yang mereka inginkan dan menyesuaikannya dengan karakteristik start-up dan perusahaan konvensional. Jika karyawan mencari stabilitas, spesialisasi, dan bimbingan, pilihlah perusahaan konvensional. Di sisi lain, jika karyawan mencari sesuatu yang baru dan menarik dengan banyak pengalaman, pilihlah pekerjaan di dunia start-up.

(BACA JUGA: BUDAYA START-UP UNTUK MENARIK TALENTA)

Referensi:

https://angel.co/blog/startup-vs-corporate
https://glints.com/id/lowongan/plus-minus-bekerja-di-startup/#.YosJ3qhByK9
https://builtin.com/company-culture/startup-culture
https://www.techtarget.com/searchcio/definition/startup-culture
https://startup.siliconindia.com/startup_talks/differences-between-traditional-business-and-startups-nwid-16525.html
https://explodingtopics.com/blog/startup-failure-stats

FLEKSIBEL SEPERTI START UP

Selama masa pandemik, perusahaan yang sangat mengontrol kinerja karyawannya tidak memberikan efek pada meningkatnya produktivitas dan engagement pada karyawan. Berdasarkan penelitian EY, “2022 Work Reimagined Survey”, pengaruh karyawan terhadap employment terms tumbuh sebanyak 43%, artinya mereka akan meninggalkan pekerjaan demi upah yang lebih baik, kesempatan karier yang lebih besar, dan opsi fleksibilitas di tempat kerja. Fleksibilitas merupakan salah satu kunci bagi produktivitas karyawan (Gartner, 2021).

Continue reading