3 KONTRAK YANG MEMPENGARUHI EMPLOYEE EXPERIENCE

Proses Onboarding merupakan salah satu peluang pertama dalam memberikan kesan yang baik tentang perusahaan. Ini adalah touchpoint awal karyawan berinteraksi dengan perusahaan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BambooHR (2018), 31% karyawan baru meninggalkan pekerjaan mereka dalam kurun waktu enam bulan, yang disebabkan oleh kurang optimalnya proses orientasi karyawan baru.

(BACA JUGA: Elemen Employee Experience: Employee Journey & Employee Touchpoint)

Untuk mempertahankan karyawannya, manajemen perlu memahami ekspektasi karyawan dari awal mereka bergabung dengan perusahaan. Maylett, dkk. (2017) menjelaskan bahwa terdapat tiga kontrak yang mempengaruhi Employee Experience. Berikut penjelasannya:

 

The Brand Contract

The Brand Contract merupakan kontrak pertama yang berhubungan dengan karyawan. Brand Contract didefinisikan sebagai semua janji tersirat yang ditujukan untuk semua orang yang berhubungan dengan brand. Kontrak ini memainkan peran penting dalam mengelola keinginan calon karyawan baru untuk bergabung dengan organisasi Anda. Salah satu bentuk nyata Brand Contract adalah Employee Value Proposition.

Jika perusahaan memiliki segmentasi pelanggan berusia muda dan berkarakteristik trendi, setidaknya perusahaan harus menarik karyawan semacam itu juga. Fasilitas, manfaat, dan reputasi merupakan sebagian aspek yang digunakan untuk menciptakan suasana tersebut. Brand Contract Anda, baik yang berlaku di seluruh organisasi atau di dalam tim Anda sendiri, harus sejalan dengan pelanggan yang dilayani, talenta yang ingin ditarik, dan jenis layanan atau produk yang ingin diberikan.

 

The Transactional Contract

Jika Brand Contract bersifat intangible, Transactional Contract bersifat tangible. Transactional Contract adalah perjanjian yang diterima bersama, timbal balik, dan eksplisit antara dua entitas atau lebih yang mendefinisikan ketentuan operasi dasar hubungan. Pada umumnya kontrak ini berupa tulisan (dokumen kontrak), ataupun lisan. Sederhananya, kontrak ini berisikan janji perusahaan atas kompensasi terhadap pekerjaan dan dedikasi karyawan.

Dalam membuat Transactional Contract, perusahaan perlu memerhatikan dua faktor berikut:

  1. Berwawasan ke depan dan antisipatif. Transactional Contract ditawarkan sebagai syarat kerja dan harapan untuk masa depan. Ini adalah titik awal yang ditandai secara resmi.
  2. Syarat, ketentuan, persyaratan, dan reward. Transactional Contract adalah satu-satunya dari tiga subkontrak yang harus sepenuhnya sepenuhnya eksplisit. Oleh karena itu, perusahaan perlu mendefinisikannya secara jelas dan lugas.

 

The Psychological Contract

Jika Brand Contract dan Transactional Contract membahas harapan karyawan yang biasanya jelas dan terbuka, sebaliknya, Psychological Contract adalah tentang harapan lainnya yang seringkali bersifat terselubung dan tidak jelas. Beberapa hal yang tersembunyi di dalam hati karyawan adalah ide, harapan, dan impian yang benar-benar mendefinisikan diri karyawan. Dengan kata lain, Psychological Contract merupakan seperangkat harapan dan kewajiban yang tidak tertulis dan implisit yang mendefinisikan ketentuan pertukaran dalam suatu hubungan

Tantangan pemimpin dalam mengimplementasikan Psychological Contract adalah pada memahami dan mengelola sesuatu yang bergantung pada elemen-elemen seperti perasaan, persepsi, budaya, ingatan, dan dinamika kognitif lainnya. Faktor-faktor ini biasanya sulit didefinisikan atau diukur. Meski organisasi memiliki Employee Value Proposition yang menarik, reputasi yang hebat (Brand Contract), dan setumpuk kontrak karyawan (Transactional Contract), tetapi tanpa Psychological Contract, perusahaan tidak akan tahu apakah karyawan puas dan memiliki harapan yang selaras dengan tujuan perusahaan.

 

Kontrak memperjelas harapan, baik dari sisi karyawan maupun organisasi. Tanpa memahami ketiga kontrak ini, masing-masing dapat menimbulkan kesalahpahaman dan miskomunikasi. Memahami keberadaan kontrak merupakan salah satu cara untuk meningkatkan ekspektasi masing-masing pihak. Dengan demikian, Employee Experience yang didesain dapat lebih tepat sasaran sesuai dengan nilai perusahaan dan aspirasi karyawannya.

(BACA JUGA: 5 Atribut untuk Mendesain Employee Experience)

 

Referensi:

Maylett, T., Wride, M. Patterson, K. (2017). The Employee Experience How to Attract Talent, Retain Top Performers, and Drive Result. Wiley
https://www.reworked.co/employee-experience/improve-your-onboarding-for-a-better-employee-experience/
https://teambuilding.com/blog/employee-turnover-statistics

BUDAYA TOXIC:
RED FLAG UNTUK KINERJA ORGANISASI

Menurut MIT Sloan (2022), lebih dari 40% karyawan berpikir untuk meninggalkan pekerjaan mereka pada awal tahun 2021. Tingkat turnover yang tinggi ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti masalah kompensasi, budaya toxic, tidak adanya fleksibilitas, serta minimnya peluang pengembangan diri. MIT Sloan (2022) menyatakan bahwa budaya toxic 10,4 kali lebih berpengaruh dari pada masalah kompensasi. Budaya toxic merupakan budaya yang menimbulkan situasi tidak nyaman di dalam organisasi yang menimbulkan ketidakpuasan karyawan dan mengakibatkan peningkatan turnover.

Untuk mengantisipasi budaya toxic, organisasi perlu memperhatikan checklist budaya toxic:

  • Toxic Leadership

    Salah satu penyebab budaya toxic yang sering kali tidak disadari adalah toxic leadership. Berdasarkan penelitian Schmidt (2014), salah satu penyebab karyawan keluar dari perusahaan adalah toxic leadership, yaitu praktik penyalahgunaan kekuasaan. Temuan ini juga didukung oleh temuan Rayner dan Cooper (1997) mengenai hubungan positif antara toxic leadership dan tingkat turnover karyawan. Untuk membangun budaya, pemimpin memiliki pengaruh yang signifikan, melalui role modelling, menangkap wawasan di dalam perusahaan, dan mengelola umpan balik karyawan. Jika pemimpin yang tidak kompeten dan memberikan contoh yang buruk, tidak heran jika karyawan akan melakukan hal yang sama sehingga menciptakan budaya yang tidak sehat.

  • Ketidakamanan pekerjaan

    Ketidakamanan pekerjaan mengacu pada lingkungan kerja di perusahaan dan mencakup semua faktor yang berdampak pada keselamatan, kesehatan, dan kesejahteraan karyawan. Salah satu contoh ketidakamanan pekerjaan adalah PHK. Organisasi yang sering menekankan tindakan PHK dan bentuk ancaman lain akan menimbulkan rasa ketidakamanan pekerjaan. Karyawan cenderung mencari lebih banyak keamanan kerja dan peluang profesional di tempat lain. Menurut Kurnia dan Widigdo (2021), karyawan akan sibuk bertanya-tanya kapan gilirannya untuk diberhentikan sehingga menimbulkan perasaan stres, ketidakamanan kerja, dan menurunkan tingkat kesejahteraan mereka yang berdampak pada peningkatan turnover.

  • Ketidakseimbangan tingkat inovasi dan tuntutan kerja karyawan

    Menurut Kurnia & Widigdo (2021), tuntutan kerja yang semakin tinggi dapat menimbulkan stres sehingga menurunkan tingkat kesejahteraan karyawan. Di lain sisi, perusahaan yang berinovasi tinggi sering kali juga menuntut karyawan memiliki beban kerja yang lebih banyak. Kegiatan inilah yang menyebabkan karyawan mengalami kelelahan secara psikologis sehingga mengurangi kesejahteraannya. Akibatnya, karyawan lebih cenderung keluar dari perusahaan yang inovatif.

  • Kurang mengapresiasi kinerja karyawan

    Selain menuntut kinerja yang tinggi dari karyawannya, perusahaan perlu memperhatikan kebutuhan karyawan atas apresiasi kinerja mereka. Karyawan yang merasa underappreciated cenderung akan meninggalkan organisasi mereka. Apollo Technical (2022) menekankan bahwa mengakui karyawan secara terbuka atas pekerjaan yang dilakukannya dengan baik mampu memotivasi karyawan. Selain memotivasi, pengakuan karyawan dapat meningkatkan moral, produktivitas, dan membangun hubungan positif di lingkungan kerja.

(BACA ARTIKEL KAMI SELENGKAPNYA: Merasa “Berarti” Itu Perlu)

Untuk mengatasi beberapa permasalahan di atas, berikut beberapa tips yang dapat dilakukan organisasi dalam mempertahankan karyawan (MIT Sloan, 2022):

  • Merekomendasikan pekerjaan lain

    Tidak semua karyawan ingin dipromosi ke jenjang yang lebih tinggi. Banyak karyawan yang ingin menantang dirinya dengan mencoba sesuatu yang baru. Pekerjaan baru menawarkan tantangan tersendiri bagi karyawan. Menurut MIT Sloan (2022), karyawan dua belas kali lebih mungkin untuk bertahan dengan tantangan baru dari pekerjaan dari pada promosi.

  • Mengadakan kegiatan kebersamaan

    Kegiatan kebersamaan yang diselenggarakan perusahaan seperti happy hour, tamasya, team building, dan makan bersama adalah elemen kunci dari budaya organisasi yang sehat. Kegiatan kebersamaan difokuskan untuk membangun hubungan antar karyawan yang lebih intim sehingga mengurangi tingkat gesekan di kantor. Annie McKee, penulis How to Be Happy at Work, mengatakan, “salah satu cara untuk membuat diri kita bahagia di tempat kerja kita adalah dengan membangun persahabatan dengan orang-orang yang bekerja dengan kita, bekerja untuk kita dan bahkan dengan bos kita.”

  • Mengijinkan opsi working from home (WFH)

    Semenjak pandemi, opsi kerja yang lebih fleksibel lebih diminati dari sebelumnya. Dilansir Bloomberg, karyawan lebih memilih untuk keluar dari pekerjaannya dari pada harus  mengorbankan fasilitas WFH. Fleksibilitas ini bukan hanya diinginkan oleh karyawan biasa, tetapi juga para eksekutif. Berdasarkan hasil survei PWC (Desember, 2020), hanya 13% eksekutif saja yang siap kembali bekerja dari kantor. Oleh karena itu, penting bagi organisasi untuk menawarkan cara kerja yang diinginkan karyawan tanpa mengurangi kapasitas kerja dan kinerja mereka.

Mendeteksi budaya toxic memang tidak mudah, apalagi jika budaya tersebut telah menjadi kebiasaan yang ‘dianggap’ baik. Penting bagi pemimpin mendeteksi dan menilai budayanya, apakah sudah menjadi budaya yang benar-benar baik, melalui survei, seperti tentang kepuasan karyawan. Hasil survei kepuasan karyawan yang rendah mungkin dapat menjadi perhatian organisasi karena mungkin mengindikasi adanya budaya toxic. Dengan mengetahui bagaimana budaya menjadi toxic, pemimpin dapat lebih mudah dan tepat memperbaikinya.

Referensi:
https://inside.6q.io/toxic-work-culture/
https://satupersen.net/blog/lingkungan-kerja-toxic-bagi-kesehatan-mental
https://sloanreview.mit.edu/article/toxic-culture-is-driving-the-great-resignation/
https://smallbusiness.chron.com/negative-impacts-high-turnover-rate-20269.html
https://www.apollotechnical.com/why-employee-recognition-is-important/
https://www.octanner.com/insights/articles/2019/10/23/how_does_leadership_.html
https://www.peepshr.co.uk/resource-centre/7-common-causes-of-high-employee-turnover/
Kurnia, C., & Widigdo, A. M. (2021). Effect of work-life balance, job demand, job insecurity on employee performance at PT Jaya Lautan Global with employee well-being as a mediation variable. European Journal of Business and Management Research, 6(5), 147–152. https://doi.org/10.24018/ejbmr.2021.6.5.948
Rayner, C., & Cooper,C. (1997). Workplace bullying: myth or reality can we afford to ignore it? Leadership & Organization Development Journal, 18 (4), 211-214.