Quiet quitting menjadi salah satu tren di tahun 2022 yang dikhawatirkan oleh para pemimpin saat ini. Tren ini mengacu pada perilaku karyawan yang kurang termotivasi untuk meningkatkan kemampuan dan kariernya sehingga cenderung tidak memiliki inisiatif dalam melakukan pekerjaan dengan lebih baik. Gallup’s State of the Global Workplace (2022) menyatakan bahwa perusahaan di dunia kehilangan $7,8 triliun karena menurunnya produktivitas dan keterlibatan karyawan dalam pekerjaannya. Di sisi lain, Gallup (2022) menemukan bahwa 50% atau bahkan lebih dari itu karyawan di AS merupakan tipikal karyawan yang mudah menyerah sehingga mendorong terjadinya quiet quitting. Fenomena quiet quitting disebabkan oleh satu masalah utama, yaitu terkait janji perusahaan pada karyawan yang tidak ditepati.
3 KONTRAK YANG MEMPENGARUHI EMPLOYEE EXPERIENCE
Proses Onboarding merupakan salah satu peluang pertama dalam memberikan kesan yang baik tentang perusahaan. Ini adalah touchpoint awal karyawan berinteraksi dengan perusahaan. Berdasarkan survei yang dilakukan oleh BambooHR (2018), 31% karyawan baru meninggalkan pekerjaan mereka dalam kurun waktu enam bulan, yang disebabkan oleh kurang optimalnya proses orientasi karyawan baru.
(BACA JUGA: Elemen Employee Experience: Employee Journey & Employee Touchpoint)
Untuk mempertahankan karyawannya, manajemen perlu memahami ekspektasi karyawan dari awal mereka bergabung dengan perusahaan. Maylett, dkk. (2017) menjelaskan bahwa terdapat tiga kontrak yang mempengaruhi Employee Experience. Berikut penjelasannya:
The Brand Contract
The Brand Contract merupakan kontrak pertama yang berhubungan dengan karyawan. Brand Contract didefinisikan sebagai semua janji tersirat yang ditujukan untuk semua orang yang berhubungan dengan brand. Kontrak ini memainkan peran penting dalam mengelola keinginan calon karyawan baru untuk bergabung dengan organisasi Anda. Salah satu bentuk nyata Brand Contract adalah Employee Value Proposition.
Jika perusahaan memiliki segmentasi pelanggan berusia muda dan berkarakteristik trendi, setidaknya perusahaan harus menarik karyawan semacam itu juga. Fasilitas, manfaat, dan reputasi merupakan sebagian aspek yang digunakan untuk menciptakan suasana tersebut. Brand Contract Anda, baik yang berlaku di seluruh organisasi atau di dalam tim Anda sendiri, harus sejalan dengan pelanggan yang dilayani, talenta yang ingin ditarik, dan jenis layanan atau produk yang ingin diberikan.
The Transactional Contract
Jika Brand Contract bersifat intangible, Transactional Contract bersifat tangible. Transactional Contract adalah perjanjian yang diterima bersama, timbal balik, dan eksplisit antara dua entitas atau lebih yang mendefinisikan ketentuan operasi dasar hubungan. Pada umumnya kontrak ini berupa tulisan (dokumen kontrak), ataupun lisan. Sederhananya, kontrak ini berisikan janji perusahaan atas kompensasi terhadap pekerjaan dan dedikasi karyawan.
Dalam membuat Transactional Contract, perusahaan perlu memerhatikan dua faktor berikut:
- Berwawasan ke depan dan antisipatif. Transactional Contract ditawarkan sebagai syarat kerja dan harapan untuk masa depan. Ini adalah titik awal yang ditandai secara resmi.
- Syarat, ketentuan, persyaratan, dan reward. Transactional Contract adalah satu-satunya dari tiga subkontrak yang harus sepenuhnya sepenuhnya eksplisit. Oleh karena itu, perusahaan perlu mendefinisikannya secara jelas dan lugas.
The Psychological Contract
Jika Brand Contract dan Transactional Contract membahas harapan karyawan yang biasanya jelas dan terbuka, sebaliknya, Psychological Contract adalah tentang harapan lainnya yang seringkali bersifat terselubung dan tidak jelas. Beberapa hal yang tersembunyi di dalam hati karyawan adalah ide, harapan, dan impian yang benar-benar mendefinisikan diri karyawan. Dengan kata lain, Psychological Contract merupakan seperangkat harapan dan kewajiban yang tidak tertulis dan implisit yang mendefinisikan ketentuan pertukaran dalam suatu hubungan
Tantangan pemimpin dalam mengimplementasikan Psychological Contract adalah pada memahami dan mengelola sesuatu yang bergantung pada elemen-elemen seperti perasaan, persepsi, budaya, ingatan, dan dinamika kognitif lainnya. Faktor-faktor ini biasanya sulit didefinisikan atau diukur. Meski organisasi memiliki Employee Value Proposition yang menarik, reputasi yang hebat (Brand Contract), dan setumpuk kontrak karyawan (Transactional Contract), tetapi tanpa Psychological Contract, perusahaan tidak akan tahu apakah karyawan puas dan memiliki harapan yang selaras dengan tujuan perusahaan.
Kontrak memperjelas harapan, baik dari sisi karyawan maupun organisasi. Tanpa memahami ketiga kontrak ini, masing-masing dapat menimbulkan kesalahpahaman dan miskomunikasi. Memahami keberadaan kontrak merupakan salah satu cara untuk meningkatkan ekspektasi masing-masing pihak. Dengan demikian, Employee Experience yang didesain dapat lebih tepat sasaran sesuai dengan nilai perusahaan dan aspirasi karyawannya.
(BACA JUGA: 5 Atribut untuk Mendesain Employee Experience)
Referensi:
Maylett, T., Wride, M. Patterson, K. (2017). The Employee Experience How to Attract Talent, Retain Top Performers, and Drive Result. Wiley
https://www.reworked.co/employee-experience/improve-your-onboarding-for-a-better-employee-experience/
https://teambuilding.com/blog/employee-turnover-statistics
5 Atribut untuk Mendesain Employee Experience
Persepsi karyawan terhadap perusahaan tercipta dari serangkaian pengalaman yang dilalui selama berada di dalam perusahaan. Survei IDC (2021) menemukan bahwa 85% responden setuju bahwa Employee Experience (EX) yang positif dan Employee Engagement yang tinggi akan menghasilkan Customer Experience (CX) yang lebih baik. Dalam praktiknya, EX bukan hanya tentang milestone Sumber Daya Manusia (seperti: rekrutmen, onboarding, perkembangan karier, dan pensiun), tetapi EX adalah tentang bagaimana setiap persepsi yang dimiliki karyawan dalam menghadapi tanggung jawab, interaksi, dan hubungan antara pekerjaan dan kehidupan mereka sehari-hari.
(BACA JUGA: MENCIPTAKAN PUSAT EMPLOYEE EXPERIENCE)
Menurut IBM (n.d.), fokus untuk mendesain EX menjadi lebih penting dari sebelumnya. Beberapa ahli mengangkat topik-topik EX, seperti mengaitkan EX dengan budaya organisasi, mendorong komunitas yang kolaboratif, serta membangun nilai dan tujuan di dalam pekerjaan. Hal ini didorong oleh beberapa tren yang muncul, seperti:
- War of talent yang sedang berjalan semakin sengit. Perusahaan-perusahaan mulai menyadari pentingnya untuk mempertahankan talenta terbaik mereka.
- Pola pikir generasi milenial mempengaruhi seluruh lingkungan kerja. Mereka memiliki ekspektasi terhadap fleksibilitas, penggunaan alat/teknologi untuk bekerja, dan membutuhkan umpan balik kinerja yang lebih baik.
- Karyawan menginginkan pengalaman yang sama seperti pelanggan mereka, seperti teknologi yang lebih sederhana, kemampuan untuk membagikan pendapat, dan akses ke pembuat keputusan.
- Organisasi mulai mengenali keterkaitan antara EX dan CX. Banyak peneliti menemukan bahwa perusahaan yang menawarkan CX yang positif juga memiliki lingkungan kerja di mana karyawan dapat mengerjakan pekerjaan mereka secara efektif.
(BACA JUGA: TEKNOLOGI DALAM PEKERJAAN)
Pengalaman perlu didesain dengan intensitas dan tipe yang berbeda-beda agar karyawan menjadi lebih fokus pada apa yang baik dan tidak mendapatkan informasi yang berlebihan. Dalam bukunya, Rossman & Duerden (2019) memberikan lima atribut untuk mendesain sebuah pengalaman:
Frequency and Impact
Di dalam perjalanan karier, karyawan akan lebih sering mengalami pengalaman yang tidak bermakna daripada pengalaman yang transformasional. Untuk merancang pengalaman yang baik, diperlukan kemampuan untuk menentukan takaran yang tepat tentang kapan frekuensi dan dampak digunakan. Perlu digarisbawahi juga bahwa frekuensi dan dampak memiliki hubungan yang terbalik. Semakin besar frekuensi, semakin kecil dampaknya, begitu pula sebaliknya.
Novelty (kebaruan)
Tingkat kebaruan sangat terikat dengan frekuensi. Semakin sering kita melakukan sesuatu, semakin jarang kita menaruh perhatian terhadap hal itu. Itulah mengapa pengalaman dapat berubah seiring berjalannya waktu. Oleh karena itu, kebaruan dibutuhkan untuk membuat pengalaman menjadi lebih menarik.
Engagement (keterlibatan)
Setiap pengalaman membutuhkan perbedaan tingkat keterlibatan setiap peserta. Tingkat keterlibatan ini dibedakan menjadi tiga fase, yaitu:
- Fase 1: individu menjadi sadar dan memerhatikan pengalamannya.
- Fase 2: individu mulai memikirkan dan menyiapkan respon atas pengalamannya.
- Fase 3: individu merespon dan mempertahankan keberlangsungan pengalamannya.
Ketika karyawan masuk dalam fase ketiga, maka mereka akan benar-benar terlibat (engage).
Required Energy
Setiap pengalaman memiliki “biaya” emosional, mental, dan fisik untuk partisipasinya. Saat berpartisipasi dalam pengalaman yang memiliki dampak tinggi, biasanya kita membutuhkan waktu “istirahat” untuk memproses dan memaknai pengalaman tersebut. Dalam penelitian Duerden (2012), ditemukan bahwa pertukaran pelajar membutuhkan waktu lebih untuk beristirahat dan mencerna pengalaman lintas budaya untuk benar-benar memaknai pengalamannya. Di sisi lain, pelajar yang tidak memiliki waktu untuk memproses pengalaman tersebut cenderung melewatkan pengenalan akan dampak pengalaman tersebut di dalam hidup mereka. Oleh karena itu, perusahaan perlu mengidentifikasi energi yang dibutuhkan di setiap pengalaman yang didesain.
Results
Pengalaman yang baik memerlukan tujuan atau hasil yang spesifik. Sering kali terdapat ekspektasi yang tidak realistis atas pengalaman sehingga menimbulkan kekecewaan. Seligman dalam bukunya “Authentic Happiness,” ada dua kategori hasil pengalaman yang positif, yaitu kesenangan dan kepuasan.
Dampak EX yang sesungguhnya terbentuk ketika karyawan merasa dihargai dan terkoneksi dengan perusahaan. Hal tersebut berarti bahwa EX adalah tentang sebuah maraton, bukan sprint. Tugas seorang pemimpin adalah membuat maraton tersebut menarik bagi karyawannya. Pada akhirnya, organisasi akan memperoleh dampak positif berupa tingkat retensi yang lebih baik sehingga berdampak pada peningkatan profitabilitas.
(BACA JUGA: SUASANA DAN RASA DI TEMPAT KERJA)
Referensi:
Rossman, J. & Duerden, M. (2019). Designing Experiences. Columbia Business School Publishing
https://www.forbes.com/sites/forbescommunicationscouncil/2022/02/08/how-to-design-an-amazing-employee-experience/?sh=6d5901911f7b
https://www.ibm.com/downloads/cas/zend5pm6
Elemen Employee Experience:
Employee Journey & Employee Touchpoint
Employee Experience (EX) didefinisikan sebagai “keseluruhan persepsi yang dimiliki karyawan mengenai interaksi mereka dengan perusahaan tempat mereka bekerja,” (Maylett, 2017). Sama halnya dengan pengalaman pelanggan (Customer Experience/CX), hal yang terpenting dari Employee Experience adalah menjadikan pengalaman itu nyata dan konsisten di setiap titik kontak (touchpoint) antara organisasi dan individu.
(BACA JUGA: PENTINGNYA MENERAPKAN EMPLOYEE EXPERIENCE DI PERUSAHAAN)
Saat mendesain EX, perusahaan perlu memperhatikan dua elemen, yaitu Employee Journey dan Employee Touchpoint.
Employee Journey
Employee Journey merupakan gambaran keseluruhan waktu yang dihabiskan seorang karyawan di perusahaan, mulai dari proses perekrutan hingga offboarding. Tahap awal masa kerja merupakan momen yang terpenting karena akan menetapkan persepsi dan ekspektasi karyawan tentang pengalaman kerja yang positif maupun negatif. Di sisi lain, momen ini juga penting bagi perusahaan karena pengalaman positif di awal karier seseorang akan menentukan apakah karyawan akan tinggal atau memutuskan keluar dari perusahaan. Employee Journey terkadang juga disebut siklus hidup karyawan (Employee Life Cycle).
Pengalaman yang berkesan dapat berupa peristiwa besar yang berdampak bagi karier atau bahkan sekadar sentuhan yang bersifat pribadi. Peristiwa besar dapat berupa promosi atau diberikan kepercayaan menjalankan proyek yang besar. Sentuhan pribadi dapat berupa pesta kejutan di tempat kerja atau dukungan perusahaan untuk tujuan pribadi. Pengalaman yang berkesan dapat memberikan dampak yang positif ataupun negatif sehingga penting bagi perusahaan untuk mengelolanya. Beberapa titik yang patut diperhatikan di antaranya adalah saat wawancara kerja pertama, review kinerja pertama, event perusahaan, promosi jabatan, dan exit interview.
Employee Touchpoint
Employee Touchpoint adalah titik kontak antara karyawan dan perusahaan. Sebagai contoh, pada tahap rekrutmen titik kontaknya adalah wawancara kerja dan orientasi karyawan baru. Titik kontak ini dibagi menjadi dua jenis: terkait tugas dan tidak terkait tugas. Bagi perusahaan, meningkatkan kedua titik kontak tersebut merupakan hal yang penting.
Titik kontak yang tidak terkait dengan tugas pada umumnya terkait dengan budaya organisasi, misalkan ucapan salam. Di sisi lain, titik kontak yang terkait dengan tugas dapat berupa diskusi topik pekerjaan, proyek, umpan balik, review kinerja, coaching, mentoring, dan sebagainya. Karena ada banyak titik kontak, perusahaan perlu membuat daftar seluruh kemungkinan titik kontak dan menentukan mana titik kontak yang paling berdampak pada Employee Experience, sehingga organisasi dapat mendesain pengalaman yang menarik bagi karyawan.
Employee journey pada umumnya akan sama di seluruh perusahaan, mulai dari karyawan masuk hingga keluar dari perusahaan. Hal yang membedakannya dari employee touchpoint, adalah bentuk-bentuk interaksi antara karyawan dan perusahaan. Untuk dapat mendesain employee experience yang baik, penting bagi perusahaan untuk mengenali setiap journey dengan masing-masing touchpoint yang berdampak bagi pengembangan pengalaman karyawannya.
(BACA JUGA: TIPS UNTUK MENINGKATKAN EMPLOYEE EXPERIENCE)
Referensi:
https://www.unleash.ai/employee-experience-and-engagement/defining-your-employee-experience-the-touchpoints/
https://www.netsuite.com/portal/resource/articles/human-resources/employee-experience-journey-mapping.shtml
https://www.emexmag.com/employee-experience-touchpoints-answers-to-what-how-and-why/#Employee_journey_touchpoints
Maylett, T. &. (2017). The Employee Experiencce: How to Attract Talent, Retain Top Performers, and Drive Results. Canada: Wiley.
Tucker, E. (2020). Strategic HR Review, 19(4), 183–187. doi:10.1108/shr-03-2020-0023
STRATEGI MEMBANGUN DIVERSITY, EQUITY, & INCLUSIVITY (DEI) DALAM ORGANISASI
Isu di dalam Diversity, Equity, & Incusivity (DEI) mulai mendapatkan perhatian dunia seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat tentang keberagaman. Muncul beberapa gerakan sosial di Amerika Serikat, seperti Women’s Right Movement (tahun 1960-an), Black Lives Matter (sejak tahun 2013), hingga Stop Asian Hate (sejak 2021), yang turut memberikan aksi nyata dalam membangun kesadaran atas keberagaman. Ini bukan saatnya perusahaan menutup mata, melainkan mengambil posisi untuk mendorong DEI melalui inisiatif, program, dan budaya untuk menangkap manfaat bagi kinerja perusahaan.
(BACA JUGA: TIGA KESALAHAN UTAMA DALAM PROGRAM DIVERSITY, EQUITY, DAN INCLUSIVITY (DEI))
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang mengelola keberagaman di dalamnya membuat lebih banyak keuntungan dan bernilai di mata investor. Menurut penelitian Roberson (2007), rata-rata investor lebih memilih perusahaan yang memiliki keragaman di tingkat pemimpin, terutama senior manajemen. Manajemen keberagaman dinilai sebagai sinyal positif tentang bagaimana perusahaan akan menghasilkan pendapatan di masa depan. Dengan demikian, ada kesan bahwa perusahaan memiliki risiko keuangan yang lebih kecil, seperti kurangnya pendapatan dan risiko pengembalian dividen, karena tidak mengelola keberagaman. Di sisi lain, diversity leader juga dipandang sebagai intangible asset yang memiliki future economic value.
(BACA JUGA: KERAGAMAN DAN INKLUSI DI TEMPAT KERJA)
Strategi Membangun DEI di Tempat Kerja
Menetapkan sasaran pencapaian DEI
Pertama, tentukan alasan mengapa organisasi ingin berkomitmen di dalam DEI, seperti menanamkan budaya kerja yang lebih produktif dan engaging, meningkatkan pengalaman pelanggan, atau menciptakan output dan kinerja yang lebih baik. Jika organisasi tidak memiliki komitmen yang jelas, sasaran inisiatif DEI tidak akan terdefinisi dengan baik. Selain itu, untuk memastikan akuntabilitas dan transparansi, organisasi perlu menentukan Key Performance Indicator (KPI) yang selaras dengan sasaran di tingkat tertinggi organisasi untuk menentukan keberhasilan perencanaan strategis DEI.
Dapatkan komitmen senior leader
Agar strategi DEI berjalan, kepemimpinan perlu menjadi model perilaku, nilai, dan norma yang mendorong tempat kerja adil dan inklusif. Secara historis, inisiatif DEI selalu menjadi daftar terbawah dalam tingkat prioritas di dalam organisasi. Kurangnya sumber daya dan dukungan dari pemimpin menjadikan inisiatif DEI sulit untuk diimplementasikan. Oleh karena itu, untuk memastikan keberhasilan DEI, penting untuk mengambil pendekatan top-down agar mendorong komitmen, kepatuhan, dan investasi, baik dalam hal sumber daya dan waktu. Dengan dukungan para pemimpin senior, karyawan memahami pentingnya DEI dan perannya dalam strategi bisnis secara keseluruhan.
Memberikan Behavior Based Training
Fokus terbesar di dalam program DEI adalah perubahan perilaku dan kebiasaan karyawan di tempat kerja. Pelatihan ini bukan hanya tentang meningkatkan kesadaran akan pentingnya DEI, melainkan tentang praktik perilaku tepat yang mampu mendorong DEI. Organisasi juga dapat memanfaatkan teknologi untuk mengurangi aktivitas administrasi DEI melalui otomatisasi, kurasi data benchmark, dan mempermudah karyawan untuk saling terhubung. Teknologi dan kemampuan seperti ini dapat meningkatkan partisipasi dan wawasan untuk membantu memaksimalkan inisiatif karyawan.
Gabungkan Anggota Tim
Pemahaman dan pembelajaran yang berasal dari beragam pendapat, pengalaman, keyakinan, dan budaya memacu kreativitas dalam tim. Untuk memastikan keberhasilan inisiatif DEI, gabungkan berbagai macam latar belakang anggota untuk menghasilkan berbagai perspektif, menginspirasi pemikiran yang segar, dan pendekatan yang berbeda untuk pemecahan masalah. Organisasi juga dapat membentuk Employee Resource Group (ERG), yaitu kelompok yang bersifat sukarela, serta dibangun dengan tujuan berbagi dan mendukung satu sama lain dalam konteks profesional maupun personal, sambil membangun persahabatan. Menurut Harvard Business Review (2020), ada beberapa manfaat yang bisa diperoleh perusahaan bila memiliki ERG, di antaranya adalah meningkatkan retensi, mengidentifikasi dan mengembangkan pemimpin dari internal organisasi, serta pendidikan karyawan yang lebih baik.
Ukur Kemajuan
Selain memantau kemajuan melalui dashboard KPI, organisasi dapat membagikan survei employee engagement untuk mengukur persepsi karyawan tentang DEI dan psychological safety. Dengan membandingkan hasil survei dengan tolok ukur, organisasi dapat mengidentifikasi titik masalah yang perlu menjadi fokus pembenahan selama inisiatif DEI berlangsung. Focus Group Discussion (FGD), Employee Resource Group (ERG), dan percakapan berkelanjutan adalah beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengumpulkan informasi kualitatif tentang tren data dan pengalaman kelompok tertentu.
Pada akhirnya, kesuksesan perusahaan dalam mengeksekusi strategi DEI tidak akan lepas dari komitmen senior leaders, sehingga setiap individu akan terlibat dan mengambil peran dalam membangun budaya organisasi secara kolektif yang dapat dibanggakan oleh semua orang.
Referensi:
https://hbr.org/2020/06/what-black-employee-resource-groups-need-right-now
https://www.brighterstrategies.com/blog/starting-your-dei-strategy/
https://www.communityboost.org/digital-marketing-blog/how-to-create-a-dei-strategy-in-2022/
https://www.ghjadvisors.com/blog/how-to-implement-a-successful-dei-program
https://www.ghjadvisors.com/blog/how-to-implement-a-successful-dei-program
https://www.td.org/atd-blog/4-ways-to-build-a-successful-dei-strategy
https://www.traliant.com/blog/6-actions-to-build-a-diversity-equity-inclusion-dei-program-for-your-organization/
Roberson, Q. M., & Jeong, H. (2007). Examining the Link Between Diversity and Firm Performance: The Effects of Diversity Reputation and Leader Racial Diversity. Group & Organization Management, 32(5), 548–568. https://doi.org/10.1177/1059601106291124
TIGA KESALAHAN UTAMA DALAM PROGRAM
DIVERSITY, EQUITY, & INCLUSIVITY
Diversity, Equity, dan Inclusivity (DEI) menjadi fokus di tempat kerja sejak beberapa tahun belakangan ini. Penelitian McKinsey (2021) menunjukkan bahwa 51% alasan karyawan meninggalkan pekerjaannya adalah karena kurangnya rasa memiliki atau engaged terhadap perusahaan. Alasan ini lebih sering didapati pada karyawan yang identitasnya kurang terwakili di perusahaan. Oleh karena itu, perusahaan perlu meningkatkan engagement dengan cara menciptakan keadilan dan kesetaraan bagi seluruh karyawannya.
Diversity
Diversity (keberagaman) merupakan suatu hal yang tidak dapat dihindari. Perbedaan di dalam keberagaman meliputi perbedaan sosial secara horizontal, seperti ciri fisik, etnis, ras, agama, gender, bahasa, hingga kewarganegaraan, dan juga perbedaan secara vertikal, seperti status sosial maupun ekonomi. Perbedaan ini sering kali sulit diubah dan tidak dapat dipisahkan dari setiap individu. Karena itu, perbedaan di antara setiap karyawan perlu dihargai.
Perusahaan sendiri ingin menciptakan keberagaman di tempat kerja dengan tujuan membangun beragam perspektif yang mampu mendorong kreativitas dan inovasi. Selain itu, karyawan yang merepresentasikan berbagai kelompok dari target pasar juga dapat memberikan wawasan yang berharga bagi bisnis yang lebih kompetitif dan menguntungkan. Dalam hal koneksi maupun keterampilan bahasa lokal, kepekaan budaya dapat mendorong perkembangan bisnis di tingkat lokal hingga internasional secara cepat. Dengan demikian, strategi pemasaran dapat didesain lebih akurat untuk menyasar target tertentu.
Equity
“Equity,” dalam Bahasa Indonesia berarti keadilan atau kewajaran. Menurut Universitas IOWA, equity merupakan praktik dan peraturan yang adil serta tidak memihak sehingga memberikan kesempatan yang sama bagi setiap individu. Untuk mencapai kesetaraan dan mempromosikan rasa saling menghargai, perusahaan biasanya menjalankan program DEI, seperti penggunaan survei anonim sehingga mendorong karyawan mempertanyakan apapun yang ada di pikiran mereka dengan tujuan menciptakan pemahaman terhadap perspektif dan preferensi kelompok yang beragam. Survei semacam ini akan membantu karyawan dari berbagai latar belakang untuk membantu mengatasi rasa takut salah dalam bertindak.
Inclusivity
Inclusivity merupakan praktik untuk memastikan bahwa karyawan mempunyai rasa memiliki di tempat kerja. Secara sederhana, inklusif juga dapat diartikan sebagai kerendahan hati atau kesederhanaan. Faktanya, semua orang ingin mengakui bahwa mereka memilikinya, namun sesungguhnya tidak. Menurut survei Delloitte (2017), 80% karyawan mempertimbangkan inklusivitas sebagai faktor penting dalam memilih perusahaan.
Menciptakan tempat kerja yang inklusif sangat berbeda dari hanya sekadar menciptakan budaya perusahaan yang beragam. Keberagaman di tempat kerja bisa dicapai dengan memiliki karyawan dari berbagai jenis kelamin, ras, dan etnis, namun inklusif berbicara tentang menghilangkan bias yang tidak disadari di lingkungan kerja. Jika inklusivitas dapat dicapai, karyawan akan merasa diikutsertakan terlepas dari siapa atau sebagai apa mereka mengidentifikasi dirinya.
Dalam rangka meningkatkan budaya DEI di tempat kerja, program yang dirancang dan diimplementasikan dengan efektif merupakan kunci utamanya. Meski sudah memberikan investasi yang cukup signifikan, banyak organisasi terjebak dalam kesalahan yang sama. Menurut McKinsey, berikut tiga kesalahan utama organisasi dalam membangun budaya DEI:
Terlalu fokus pada peningkatan awareness, tetapi melupakan objektif yang lebih luas.
Organisasi biasanya memulai program pelatihan DEI dengan serangkaian topik pengenalan atas isu-isu DEI. Memang program ini memberikan sense of awareness bagi karyawan, tetapi tidak ada aksi yang nyata akan terwujud jika hanya melalui sesi-sesi tersebut. Untuk mengatasi hal ini, organisasi perlu memberikan program lanjutan.
Setelah sesi pelatihan, mulai pahami perilaku yang akan diubah dan bagaimana perilaku saat ini memengaruhi pengalaman inklusi. Untuk mendapatkan wawasan dengan lebih akurat, perusahaan dapat melaksanakan survei karyawan tentang penilaian inklusi yang komprehensif atau melalui wawancara dengan tujuan agar memahami kesenjangan saat ini. Setelah itu, tentukan prioritas terbesar dan gabungkan umpan balik tersebut dengan program DEI yang dirancang khusus untuk mengajarkan perilaku agar lebih inklusif.
Memaksa semua karyawan menghadiri setiap pelatihan DEI secara mandatori.
Kewajiban menghadiri pelatihan biasanya merupakan strategi organisasi untuk mengajak setiap karyawan memahami pentingnya mempromosikan DEI di tempat kerja. Dengan menggunakan kehadiran sebagai Key Indicator Performance (KPI), karyawan akan merasa hak pilih mereka berkurang. Peserta yang merasa dipaksa untuk terlibat dalam topik DEI mungkin merasa kesal dan tidak dapat menyerap materi dengan baik.
Beberapa program mungkin wajib dihadiri untuk beberapa peran tertentu, tetapi beberapa pelatihan DEI lainnya mungkin dapat didesain sebagai kehadiran opsional. Tujuannya adalah untuk menciptakan kebebasan partisipasi pada program lainnya. Daripada menggunakan kehadiran sebagai KPI, perusahaan dapat mengevaluasi keberhasilan berdasarkan dampak dan perubahan perilaku yang terukur.
Menggunakan pendekatan business-as-usual sehingga fokus berkurang pada perubahan dari sisi kemanusiaan.
Membahas kesetaraan dan inklusi terkadang bisa menjadi rumit dan tidak nyaman, namun organisasi sering merancang program yang minim interaksi dan tidak didukung oleh fasilitator yang mumpuni. Selain itu, waktu untuk melakukan eksplorasi dan mempraktikkan perilaku DEI juga tidak dialokasikan dengan cukup. Karyawan hanya diinformasikan bahwa mereka perlu berubah, tanpa ada diskusi dan eksplorasi mendalam tentang bagaimana perubahan perilaku dapat memberikan manfaat bagi orang lain dan pengalaman mereka sendiri.
Organisasi perlu merancang sesi yang lebih singkat dalam frekuensi yang sering untuk memberikan ruang refleksi, diskusi, dan berlatih dalam kelompok kecil. Sesi mikro ini dapat mempertahankan momentum tanpa membebani audiens. Di sisi lain, organisasi juga harus menemukan fasilitator yang memiliki pengetahuan mendalam tentang DEI, bersedia berbagi pengalaman, dan mampu menciptakan ruang yang aman untuk refleksi yang rentan secara emosional.
Program membangun DEI mungkin terasa menantang dan kompleks, tetapi bukanlah tidak mungkin untuk dicapai. Program DEI yang sukses dapat mendorong pertukaran informasi yang lebih terbuka dan berani sehingga menghasilkan engagement yang lebih tinggi dan mengubah budaya organisasi. Dengan mengetahui kesalahan umum yang sering dilakukan, organisasi dapat selangkah lebih maju dalam mencapai keberhasilan membangun budaya yang lebih beragam, setara, dan inklusif.
Referensi:
https://www.hult.edu/blog/benefits-challenges-cultural-diversity-workplace/
https://www.qualtrics.com/au/experience-management/employee/dei/
https://www.mckinsey.com/business-functions/people-and-organizational-performance/our-insights/the-organization-blog/dont-train-your-employees-on-de-and-i-build-their-capabilities
https://diversity.uiowa.edu/resources/dei-definitions
https://www.snapcomms.com/blog/diversity-program-ideas
https://blog.vantagecircle.com/inclusion-at-the-workplace/
PROGRAM UPSKILLING YANG EFEKTIF
Upskilling merupakan salah satu bentuk investasi Learning & Development (L&D) dalam menyiasati pergeseran pekerjaan yang disebabkan oleh pandemi maupun teknologi. Pergeseran model kerja menyebabkan keterampilan-keterampilan baru muncul dan harus dikuasai SDM. Berdasarkan Manpower Group (2021), 69% perusahaan di seluruh dunia berjuang untuk menemukan karyawan yang terampil, terutama di bidang dengan permintaan tinggi seperti operations and logistics, manufacturing, production IT, sales, dan marketing. Dengan menyusutnya kumpulan keterampilan akibat transformasi digital dan perubahan demografis, organisasi perlu berinvestasi pada keterampilan internal dengan program upskilling yang tepat.
Upskilling adalah bentuk investasi jangka panjang dalam rangka menambah pengetahuan, keterampilan, dan kompetensi yang membantu karyawan memajukan karier serta bertahan dalam lingkungan bisnis saat ini. Menurut Harvad Business Review, karyawan yang memanfaatkan program upskilling untuk pertumbuhan pribadi atau profesional mereka mampu meningkatkan keterlibatan dan retensi karyawan. Penelitian LinkedIn (2021) mengungkapkan bahwa 59% profesional L&D mengidentifikasi program upskilling sebagai prioritas utama untuk program pelatihan. Sayangnya, banyak organisasi tidak mengetahui keterampilan dan pengembangan apa yang dibutuhkan.
Organisasi perlu mengambil peran dalam mengatasi kebingungan terhadap keterampilan yang relevan dengan kebutuhan organisasi maupun karyawan. Untuk itu, berikut beberapa hal yang harus dilakukan organisasi sebelum membangun program upskilling:
Mengidentifikasi keterampilan
Karier karyawan perlu didukung oleh para pemimpin organisasi agar kepentingan individu, tujuan operasional, dan kesenjangan organisasi dapat saling berkolaborasi. Selanjutnya, pemimpin juga dapat melakukan weekly check-in untuk mendiskusikan minat, tujuan, tantangan, dan kebutuhan karyawan. Melalui informasi ini, pemimpin dapat memberikan solusi berupa program upskilling yang sesuai.
Menilai keterampilan
Setelah mengetahui keinginan serta kebutuhan karyawan, organisasi perlu mencatat bahwa tidak semua keterampilan yang disebutkan karyawan sesuai dengan tujuan dan kebutuhan organisasi. Untuk itu, pemimpin perlu menilai apakah program upskilling yang diajukan mampu memajukan organisasi atau hanya sekadar keinginan semata karyawan untuk pengembangan dirinya sendiri. Penting bagi pemimpin untuk menyelaraskan tujuan karyawan dan organisasi sehingga karyawan terdorong untuk mengajukan program upskilling yang relevan dengan tujuan serta kebutuhan organisasi.
Menentukan program/pelatihan yang tepat
Setelah menentukan kebutuhan keterampilan yang harus dimiliki karyawan, organisasi harus mencari cara yang tepat untuk mengembangkan keterampilan tersebut. Organisasi dapat memberikan pelatihan jangka pendek untuk program upskilling berbasis pengetahuan dan pelatihan jangka panjang untuk keterampilan teknis. Selain pelatihan, organisasi dapat mempertimbangkan alat upskilling lainnya, seperti coaching, counseling, mentoring, dan lainnya.
Organisasi perlu mengetahui setiap detail program upskilling agar karyawan mampu mempersiapkan diri dengan baik dalam pelaksanaannya. Organisasi dapat menentukan apakah program tersebut membutuhkan waktu yang lama atau tidak. Umumnya, program upskilling yang berbasis peningkatan pengetahuan membutuhkan waktu yang cenderung singkat atau dilakukan dalam jangka pendek. Sebaliknya, program upskilling yang berbasis kompetensi, contohnya teknologi, membutuhkan waktu yang lebih lama atau dilakukan dalam jangka panjang.
Referensi:
https://hbr.org/2022/01/how-to-build-a-successful-upskilling-program
https://www.aihr.com/blog/learning-and-development-statistics/
https://learning.linkedin.com/content/dam/me/business/en-us/amp/learning-solutions/images/wlr21/pdf/LinkedIn-Learning_Workplace-Learning-Report-2021-EN-1.pdf
https://go.manpowergroup.com/meos
KETERAMPILAN BARU DAMPAK TEKNOLOGI DIGITAL
Saat ini hampir seluruh aspek dalam bisnis dipengaruhi oleh kemajuan teknologi digital. Kondisi di mana teknologi berkembang, bermutasi, dan beradaptasi, terutama sepanjang tahun 2020 membuktikan bahwa gelombang teknologi tidak dapat dihindari. Pengelolaan teknologi yang tepat mampu memberikan manfaat terhadap organisasi, seperti komunikasi yang lebih cepat serta peningkatan efisiensi, produktivitas, dan transparansi. Namun, sebelum menikmati kemudahan teknologi tersebut, perusahaan akan menjumpai beberapa tantangan, contohnya bagaimana memilih teknologi yang tepat, beradaptasi dengan teknologi baru, dan kebutuhan akan keterampilan baru dalam mengelolanya.
Salah satu kunci keberhasilan untuk bertahan di era digital ini adalah memastikan bahwa SDM cakap dalam mengadopsi, memanfaatkan, serta mengelola teknologi. Tahun 2021, Gartner menyatakan bahwa 58% karyawan membutuhkan keterampilan baru untuk menyelesaikan pekerjaan mereka. Untuk mempersiapkan sumber dayanya, organisasi dapat menyediakan program-program pengembangan diri berbasis keterampilan. Program pengembangan keterampilan yang efektif mampu memberikan dampak signifikan bagi organisasi, seperti peningkatan retensi dan meningkatkan kinerja karyawan.
Ada banyak keterampilan berbasis teknologi yang dapat memberikan dampak bagi kemajuan kinerja. Beberapa di antaranya, seperti:
Cloud Computing
Cloud computing adalah istilah umum untuk apa pun yang melibatkan layanan melalui internet. Dengan kemampuan pengelolaan cloud, kesenjangan bakat digital dapat dipersempit dan produktivitas juga dapat ditingkatkan. Selain itu, karyawan juga harus memahami etika digital, layanan kepatuhan, dan faktor keamanan siber yang terlibat dalam lanskap digital saat ini.
Big Data Analysis
Big data analysis adalah proses menganalisa, mengidentifikasi tren, dan membuat kesimpulan dari berbagai macam data yang ada sehingga dapat menghasilkan informasi penting yang dapat digunakan manajemen untuk mengambil keputusan yang tepat dan sesuai dengan kondisi yang ada. Big data merupakan komponen penting bisnis yang dimulai dari menargetkan pelanggan baru hingga membuat keputusan bisnis tentang produk, keuangan, dan yang lainnya.
Programming
Programming adalah penggunaan bahasa coding untuk membuat aplikasi, mengembangkan situs web, dan menghasilkan konten digital. Selain keterampilan mengelola dan menggunakan perangkat lunak, saat ini banyak pekerjaan membutuhkan keterampilan programming. Ragam konten atau aplikasi digital yang dihasilkan dari keterampilan programming diharapkan membawa organisasi lebih maju dan mampu bersaing dalam tren digitalisasi.
Fleksibilitas
Sebagian besar organisasi pasti mengalami perubahan, terutama yang berhubungan dengan teknologi. Bahkan, menurut penelitian Manpower Group (2015), 74% bisnis di Inggris telah mengalami restrukturisasi dalam lima tahun terakhir. Ketidakpastian lingkungan bisnis menyebabkan prediksi perubahan tidak selalu akurat sehingga perusahaan memerlukan fleksibilitas di mana fleksibilitas merupakan kemampuan untuk menjadi responsif, tangguh, dan berani dalam menghadapi perubahan. Kompetensi ini diperlukan agar karyawan mampu beradaptasi dengan berbagai tuntutan yang tidak terduga di tempat kerja.
Menurut IBERDROLA (2022) jumlah karyawan dengan keterampilan-keterampilan berbasis teknologi ini masih belum memenuhi permintaan di dunia kerja. Dalam upaya untuk mengisi kesenjangan ini, perusahaan memerlukan karyawan dengan keterampilan baru. Fenomena kesenjangan kerja ini dapat diatasi dengan program upskilling dan reskilling yang efektif.
Referensi:
https://www.tandfonline.com/doi/full/10.1080/14480220.2019.1629727
https://www.peoplematters.in/article/skilling/5-most-in-demand-skills-for-2022-that-you-cannot-miss-32225
https://www.indiatoday.in/education-today/jobs-and-careers/story/5-most-employable-skills-for-2022-and-how-you-can-build-a-career-in-each-1893344-2021-12-28
https://www.gartner.com/en/newsroom/press-releases/2021-02-03-gartner-hr-research-finds-fifty-eight-percent-of-the-workforce-will-need-new-skill-sets-to-do-their-jobs-successfully
https://www.topuniversities.com/student-info/careers-advice/future-skills-youll-need-your-career-2030
https://www.forbes.com/sites/bernardmarr/2019/04/29/the-10-vital-skills-you-will-need-for-the-future-of-work/?sh=67b2150d3f5b
https://www.iberdrola.com/talent/reskilling-upskilling
KOLABORASI KERANGKA SCRUM-OKR UNTUK AGILE ORGANIZATION (AO)
Seiring laju bisnis dan kondisi pasar yang meningkat, semakin banyak organisasi berlomba-lomba untuk menjadi organisasi yang tangkas atau lebih sering disebut dengan Agile Organization (AO). Fokus organisasi agile adalah mengutamakan kepuasan pelanggan dan selalu terbuka pada perubahan. Untuk menanggapi masalah akibat perubahan, SCRUM menjadi metode yang dapat digunakan organisasi untuk beradaptasi dengan cepat.
SCRUM sendiri didasarkan pada makalah tahun 1986 karya Hirotaka Takeuchi dan Ikujiro Nonaka untuk Harvard Business Review dengan judul “The New New Product Development Game.” Penulis menggambarkan manfaat tim yang mampu mengatur diri sendiri dalam pengembangan dan penyampaian produk yang inovatif dengan menggunakan metafora olahraga rugby. Selanjutnya, Jeff Sutherland, Ken Schwaber, dan Mike Beedle mengambil idenya dan menerapkannya pada bidang pengembangan perangkat lunak. Metode baru ini disebut dengan SCRUM yang diambil dari istilah rugby. SCRUM pertama kali diterapkan di Easel Corporation pada tahun 1993. Pengalaman ini ditulis dalam buku mereka, “Agile Software Development with SCRUM” pada tahun 2002. Selanjutnya Schwaber menulis buku “Agile Project Management with SCRUM” pada tahun 2004 tentang pengalaman kerja samanya dengan Primavera.
SCRUM merupakan metode manajemen proyek yang umum digunakan dalam pengembangan perangkat lunak dan produk kompleks lainnya. Kerangka kerja SCRUM tergolong ringan dan lincah sehingga cocok digunakan untuk menyelesaikan permasalahan dengan cepat. Titik fokus utama SCRUM adalah penekanan pada kerangka proses dan bukan pada metode. Inilah yang membuat SCRUM relevan, unik, dan sangat efektif dalam skenario global saat ini.
Dalam organisasi, SCRUM dilaksanakan beberapa individu dalam tim yang memiliki perannya masing-masing. Sebuah tim SCRUM terdiri dari 3 peran utama, yaitu:
- Scrum Master adalah individu yang berperan untuk memfasilitasi dan memastikan setiap peran dapat menjalankan SCRUM dengan baik.
- Product owner adalah individu yang berperan sebagai penentu kualitas dan spesifikasi produk yang diinginkan. Ia mengomunikasikan visi dari suatu produk yang dikembangkan.
- Tim pengembang adalah kumpulan individu yang bertanggung jawab mengembangkan produk yang diinginkan product owner.
Tim SCRUM tidak memiliki struktur hirarkis. Karakteristik tim SCRUM yang menonjol adalah dapat mengatur diri sendiri, memiliki tanggung jawab pribadi untuk terlibat, mengutamakan kolaborasi, memiliki tujuan dan sasaran yang sama, jumlah keanggotaan yang optimal (sesuai kebutuhan), memiliki kemampuan beragam, dan terkumpul dalam satu lokasi yang sama.
Meskipun OKR dan SCRUM berbeda secara fungsi, kita dapat menggunakan keduanya secara bersamaan. OKR dan SCRUM berbagi prinsip yang sama untuk memenuhi sasaran. Prinsip-prinsip tersebut adalah:
Transparansi
Transparansi adalah satu dari tiga pilar utama kerangka SCRUM. Demikian juga, OKR dimaksudkan untuk dibagikan dengan setiap anggota tim sehingga setiap orang memiliki satu halaman yang sama dan dapat menemukan peran dan tanggung jawab mereka dalam visi tersebut.
Tenggat waktu
Baik OKR maupun SCRUM sama-sama memilki tenggat waktu dalam pelaksanaannya. Ketepatan waktu dalam kedua kerangka kerja ini membangkitkan misi dan budaya akuntabilitas bersama di antara tim.
Kriteria keberhasilan
Hubungan lain antara OKR dan SCRUM adalah pentingnya memiliki kriteria keberhasilan mencapai sasaran. Keduanya memiliki standar ukuran yang jelas. Dalam OKR, keberhasilan ditentukan oleh persentase pencapaian target Key Results yang dikerjakan; sedangkan dalam SCRUM, proyek biasanya juga diukur menggunakan angka. Fase “selesai” merupakan batas akhir untuk mendapatkan hasil yang diharapkan dari pengembangan produk.
Jika mampu menguasai kedua kerangka kerja ini, organisasi dapat menemukan kemudahan dalam mengembangkan bisnisnya. OKR dapat berperan sebagai kompas untuk mengarahkan tim mencapai sasaran dan tujuan organisasi. OKR juga dapat memberikan otonomi kepada tim yang sering kali tidak didapatkan melalui SCRUM. SCRUM membatasi otonomi karena berfokus pada kemampuan tim untuk mengembangkan produk berdasarkan spesifikasi khusus. Kita dapat menggeser pemikiran “memenuhi spesifikasi produk” dengan “mencapai Key Results”. Dengan fleksibilitas ini, SCRUM dapat membantu tim menyelesaikan proyek atau inisiatif yang kompleks. Penting bahwa proyek yang sedang dikerjakan oleh tim SCRUM memenuhi tujuan yang dinyatakan dalam OKR.
Sumber
https://www.agilealliance.org/agile101/12-principles-behind-the-agile-manifesto/
https://www.mckinsey.com/business-functions/organization/our-insights/the-five-trademarks-of-agile-organizations
https://www.pmi.org/learning/library/agile-project-management-scrum-6269
https://www.scrumversity.org/scrum-characteristics
https://www.todaysoftmag.com/article/2603/how-okrs-and-scrum-work-together
https://www.whatmatters.com/resources/okr-vs-scrum-difference-between/
Tips Menangani Isu Kepercayaan di Perusahaan
Kepercayaan merupakan sebuah hal penting dalam setiap hubungan yang ada. Tidak hanya dalam relasi antara anggota keluarga maupun teman, masalah kepercayaan juga memiliki peran yang sangat penting di dalam dunia kerja. Hasil studi membuktikan bahwa 53% kesejahteraan pekerja berhubungan dengan masalah kepercayaan. Namun, nampaknya isu kepercayaan sering kali terjadi di sekitar kita. Kurang dari 50% pekerja di dunia yang mempercayai pimpinan maupun rekan kerja mereka.
Jika kata ‘percaya’ didefinisikan, maka bisa dikatakan bahwa percaya adalah sebuah keyakinan akan keandalan, kemampuan, atau kekuatan seseorang atau sesuatu untuk melakukan suatu hal. Sedangkan isu kepercayaan terjadi ketika seseorang memiliki kesulitan untuk mempercayai orang lain akibat pengkhianatan atau alasan lainnya. Pada dasarnya, seseorang harus mengetahui motivasi, kemampuan, dan keandalan orang lain untuk mempercayai orang tersebut.
Dalam membangun kepercayaan, terdapat 8 pilar yang harus ada terlebih dahulu, yaitu:
- Kejelasan
Orang-orang cenderung lebih mempercayai sesuatu yang lebih jelas dan tidak mempercayai sesuatu yang ambigu.
- Compassion
Orang-orang lebih mempercayai seseorang yang peduli terhadap orang lain.
- Karakter
Seseorang lebih mempercayai orang yang melakukan hal yang benar dibandingkan dengan orang yang melakukan hal yang mudah.
- Kompeten
Seseorang lebih mempercayai orang yang memiliki kemampuan untuk mencapai suatu tujuan yang relevan.
- Komitmen
Orang-orang lebih mempercayai orang yang teguh menghadapi kesulitan demi mencapai tujuan mereka.
- Koneksi
Orang-orang lebih ingin mengikuti atau membeli sesuatu dari orang yang mereka kenal.
- Kontribusi
Seseorang lebih mempercayai orang yang dapat membuahkan sebuah hasil.
- Konsistensi
Orang-orang senang melihat dan percaya pada orang yang melakukan hal-hal kecil secara konsisten.
Banyak pimpinan perusahaan yang mengalami “Illusion of Trust”. Mereka menyangka bahwa tidak ada isu kepercayaan di dalam perusahaan mereka. Hal ini dikarenakan pimpinan tidak pernah bekerja dalam sebuah kelompok yang memiliki tingkat kepercayaan yang tinggi. Walaupun banyak pekerja yang merasa bahwa perusahaan telah memperlakukan mereka dengan baik, tapi 1 orang dari setiap 5 pekerja mengatakan bahwa mereka masih belum bisa mempercayai pimpinan mereka.
Berikut merupakan masalah yang dapat terjadi di dalam perusahaan akibat isu kepercayaan:
- Kolaborasi dan komunikasi antar pekerja maupun dengan perusahaan menjadi tidak lancar
- Inovasi dan kreativitas berhenti
- Keterlibatan karyawan dalam aktivitas perusahaan menurun
- Produktivitas turun
- Tempat kerja menjadi tempat yang tidak nyaman untuk bekerja
Ada beberapa langkah yang dapat dilakukan pimpinan untuk menangani isu-isu kepercayaan di perusahaan, antara lain:
- Tetapkan ekspektasi yang jelas
Pimpinan harus memberikan perintah yang jelas kepada para pekerja sehingga pimpinan layak mempertanyakan kinerja bawahannya.
- Biarkan kegagalan terjadi
Sebaiknya pimpinan tidak mengganggu pekerjaan pekerja secara terus-menerus dan membiarkan mereka bekerja dengan sendirinya. Terkadang pimpinan perlu membiarkan timnya untuk gagal agar mereka bisa belajar dari kesalahan.
- Temukan permasalahan dan solusi
Jika sebuah tim tidak memiliki kemampuan untuk mengerjakan sesuatu, maka pimpinan harus membimbing mereka. Jika para pekerja tidak memiliki motivasi, maka pimpinan harus menemukan cara untuk meningkatkan motivasi mereka.
Referensi:
http://www.hrinasia.com/hr-news/trust-issues-most-often-employees-hop-jobs-or-quit-because-of-stress-and-distrust/
https://www.behler-young.com/tech-tips/business-tips/the-importance-of-trust-in-business
https://www.forbes.com/sites/forbescoachescouncil/2018/12/20/the-illusion-of-trust/#4e15694d6ecc
https://www.thoughtfulleader.com/lack-of-trust-ruining-your-team/