What is Balanced Scorecard?

Balanced Scorecard (BSC) adalah sistem manajemen kinerja yang digunakan untuk memetakan semua sasaran strategis dalam bentuk peta strategi yang menunjukkan hubungan sebab akibat. BSC merupakan alat eksekusi strategi yang mengidentifikasi semua inisiatif strategis yang diperlukan dan ukuran keberhasilan atas pencapaian sasaran strategis tersebut (biasanya dalam bentuk KPI).

Tujuan utama pendekatan BSC adalah membangun peta strategi yang menghubungkan beberapa aspek penting dalam kinerja perusahaan. Aspek finansial saja tidak cukup jika digunakan untuk mengukur kemajuan proses dalam mencapai sasaran strategis perusahaan. Hasil finansial menyoroti apa yang telah terjadi di masa lalu, bukan ke mana arah bisnis atau seharusnya sehingga BSC hadir untuk membantu perusahaan menyeimbangkan penilaian kinerja organisasi di luar aspek finansial (perspektif hari ini dan yang akan datang), juga aspek sebab (leading) dan aspek akibat (lagging).

Empat Perspektif Balanced Scorecard

  1. Learning and growth adalah perspektif awal yang perlu diperhatikan perusahaan dalam membangun keunggulan dan upaya mencapai tujuan Perusahaan perlu memilah dan memilih aspek Human Capital, Organization Capital, dan Information Capital untuk membangun proses bisinis yang solid.
  2. Internal business processes adalah perspektif kedua yang menggambarkan proses bisnis inti dalam menghasilkan nilai kepada Sasaran strategis di perspektif ini adalah untuk membangun keunikan dalam upaya memuaskan pelanggan.
  3. Customer adalah perspektif ketiga yang menggambarkan kebutuhan dan keinginan pelanggan yang hendak dipenuhi oleh Biasanya dimulai dari kepuasan pelanggan yang berujung pada pelanggan lama yang bertahan dan pelanggan baru yang datang.
  4. Financial adalah perspektif akhir yang biasanya menjadi tujuan utama perusahaan dalam Dari BSC kita memahami bahwa tujuan finansial adalah suatu proses yang panjang dan kompleks, namun dengan adanya peta strategi, manajemen mampu memahami jalan menuju ke sasaran finansial dan mereka bisa menggerakkan sumber daya sesuai dengan kebutuhannya.

Setiap perspektif terdiri dari strategic objective, yaitu sasaran strategis yang ingin dicapai dan measures, yaitu ukuran keberhasilan yang digunakan untuk mengukur pencapaian sasaran tersebut.

 

Manfaat BSC

  1. Perencanaan strategis yang lebih baik. BSC menyediakan framework yang kuat untuk membangun dan mengomunikasikan strategi. Strategi bisnis divisualisasikan dalam peta strategis yang membantu manajer untuk berpikir tentang hubungan “sebab dan akibat” di antara sasaran strategis yang berbeda. Ini artinya hasil kinerja dan pemicu (sebab) untuk kinerja masa depan dapat diidentifikasi untuk membentuk gambaran komplit strategi tersebut.
  2. Peningkatan komunikasi dan eksekusi strategi. Peta strategi memampukan perusahaan mengomunikasikan strateginya secara eksternal dan internal dengan mudah. Hal ini berhubungan dengan pepatah yang sering kali didengar, yaitu “sebuah gambar bermakna seribu kata”. “Rencana dalam gambar” ini memfasilitasi pengertian strategi dan membantu karyawan dan pemangku kepentingan eksternal untuk ikut terlibat dalam pembahasan strategi. Sulit untuk mengeksekusi strategi jika orang tersebut tidak paham sepenuhnya, jadi “gambar” ini akan meningkatkan pemahaman bagi semua pihak yang terlibat.
  3. Manajemen informasi yang lebih baik. Pendekatan dengan BSC membantu organisasi untuk mendesain indikator kinerja utama (KPI) yang mengukur hal penting bagi perusahaan. Riset perusahaan yang menggunakan BSC cenderung member hasil yang lebih tinggi pada kualitas informasi dan pembuatan keputusan yang lebih baik.
  4. Penyelarasan organisasi yang lebih baik. BSC membantu perusahaan untuk menyelaraskan struktur organisasinya dengan sasaran strategis yang telah dibentuk. Dalam mengeksekusi rencana dengan baik, organisasi harus memastikan bahwa seluruh unit bisnis dan fungsi dukungan sedang bekerja pada tujuan yang sama. Menyebarkan BSC kepada semua unit akan membantu perusahaan tersebut mencapai dan menghubungkan strategi dengan kompetensi.

DAPATKAN INFORMASI LEBIH LANJUT PADA BUKU PMS

Referensi:
https://www.investopedia.com/terms/b/balancedscorecard.asp
https://www.spiderstrategies.com/blog/the-benefits-of-the-balanced-scorecard/ https://www.techtarget.com/searchcio/definition/balanced-scorecard-methodology
https://hbr.org/1992/01/the-balanced-scorecard-measures-that-drive-performance-2

Kesalahan dalam Mengimplementasikan OKR

Menetapkan sasaran (objective) strategis merupakan salah satu langkah krusial yang memengaruhi keberlangsungan bisnis secara keseluruhan sehingga muncul beberapa alat atau metode yang dapat digunakan untuk membantu perusahaan dalam merumuskan sasaran. Salah satunya adalah Objective and Key Results (OKR). OKR akan membantu perusahaan untuk menentukan sasaran strategis secara garis besar berikut penyelarasannya (alignment). Setiap Key Results harus diberikan target sehingga keberhasilan pencapaian sasaran lebih dapat diukur. Selain itu, OKR juga memiliki jangka waktu yang relatif pendek (biasanya 3 bulan) sehingga tim dapat melakukan perbaikan jika terjadi masalah atau penyimpangan sasaran.

Salah satu perusahaan yang berhasil mengimplementasikan OKR adalah Google. John Doerr memperkenalkan metode OKR ke Google pada tahun 1999 ketika Google belum berumur 1 tahun dan hanya memiliki 40 karyawan. Saat ini, Google mempekerjakan hampir 140.000 orang dan masih menggunakan metode OKR. Konsep OKR John Doerr didasarkan pada penetapan sasaran triwulanan dan tahunan. Bagi John, Key Results harus dapat diukur dan berfungsi untuk mencapai sasaran yang dirumuskan.

Namun, tidak semua perusahaan mampu mengimplementasi OKR dengan baik dan benar.

 

Kesalahan – Kesalahan dalam Mengimplementasi OKR

  • Tidak ada monitoring (pengawasan)

Sering kali tim hanya merumuskan OKR,namun tidak ada tindakan lebih lanjut sehingga berpotensi munculnya penyimpangan dari sasaran yang ditentukan. Follow-up dapat dilakukan dengan rapat mingguan untuk melacak bagaimana perkembangan progress pencapaian setiap Key Results yang ditentukan. Ini juga termasuk dalam kategori rapat evaluasi, apakah ada proses yang perlu diperbaiki atau ditingkatkan.

  • Menentukan OKR tidak berdasarkan data

Tim mungkin merumuskan OKR menggunakan perasaan atau prasangka saja tanpa memperhatikan data-data yang ada sehingga sasaran sering kali tidak relevan dengan keadaan bisnis atau bahkan tidak menjawab tantangan bisnis saat ini. Selain ituOKR sendiri menghasilkan data yang perlu dimonitor dan dianalisis untuk proses pembelajaran sehingga tim paham apa yang sedang terjadi dan bagaimana menyikapinya.

  • Tidak ada komitmen manajemen puncak

OKR hanya akan berhasil jika semua orang, mulai dari atas sampai bawah terlibat dalam seluruh prosesnya. Eksekutif tidak bisa hanya merancang OKR , lalu melupakannya dan menyerahkan implementasi dan pengawasannya kepada bawahan. Mereka harus memimpin dengan memberi contoh dalam menyelaraskan sasaran OKR dengan pendekatan yang realistis dan transparan. Di sisi lain, karyawan harus ikut serta mengambil peran dengan memberikan kinerja terbaik dan membagikan pembelajaran yang didapat untuk mencapai sasaran strategis.

  • Terlalu Banyak Sasaran

Perusahaan yang biasanya menetapkan lebih dari 5 OKR dalam satu periode akan kehilangan fokus terhadap sasaran yang ingin dicapai. Fokuskan tim pada tiga sasaran yang agresif dan aspirasional untuk memotivasi mereka dalam meningkatkan kinerjanya. Selain itu, tim akan lebih fokus pada sasaran tersebut dan berdampak pada peningkatan kinerjanya karena mereka tidak terbebani dengan banyak target yang harus dicapai.

 

Referensi:
https://www.peoplebox.ai/blog/why-okrs-dont-work-fail/#:~:text=OKRs%20don’t%20work%20and%20fail%20in%20some%20companies%3B%20there,challenges%20in%20drafting%20realistic%20OKRs.
https://blog.weekdone.com/10-reasons-why-your-okrs-arent-working/
https://www.radicalproduct.com/blog/okrs-criticism
https://www.workpath.com/magazine/okr-google

OKR dalam Project Management

Objectives and Key Results (OKR) merupakan salah satu kerangka kerja yang dapat digunakan perusahaan untuk menetapkan tujuan dan mengomunikasikannya kepada seluruh tim, bahkan perusahaan. Untuk menyusun OKR, perusahaan perlu menentukan suatu tujuan yang besar beserta dengan faktor-faktor pendukung yang akan menjadi tolok ukur keberhasilan dari tujuan besar tersebut. OKR memang tidak menjelaskan langkah utama atau prosedur baku yang harus dilakukan tim untuk mencapai tujuan tersebut. Sebagaimana metode manajemen kinerja yang lain, OKR juga memerlukan proyek untuk mencapai sasaran strategi dan ukuran keberhasilannya. Oleh karena itu, untuk mencapai sasaran utama organisasi dan divisi, OKR harus dijalankan bersama dengan manajemen proyek.

Manfaat penggunaan OKR dalam manajemen proyek

Integrasi OKR dan manajemen proyek merupakan salah satu cara bagi perusahaan untuk mengatasi berbagai masalah, salah satunya adalah eksekusi strategi. Gartner (2021) menyatakan bahwa 40% pemimpin tidak selaras dalam pelaksanaan strategi. Salah satu alasan paling umum adalah ketidakselarasan proyek strategis. Di sini, OKR akan berfungsi untuk menyelaraskan persepsi tim tentang sasaran yang sama dan bagaimana mencapainya. OKR juga akan memonitoring setiap pencapaian demi pencapaian apakah selaras dengan Key Results dan Inisiatif (proyek) yang ditentukan. Di sisi lain, project management akan membantu tim untuk memberikan arahan atas apa yang harus dipersiapkan, seperti anggaran, metode, dan sumbner daya lain untuk mencapai sasaran tersebut.

Kesalahan dalam merumuskan OKR terkait proyek

Untuk mendapatkan hasil yang maksimal, tim harus memiliki pemahaman yang jelas mengenai OKR dan manajemen proyek. Key Results dalam OKR sering kali disalahartikan menjadi daftar tugas sehingga anggota tim cenderung berpikir bahwa KR ini merupakan job desc tambahan mereka.

Contoh OKR yang salah:

  • Objective: Meningkatkan interaksi dengan konsumen di media sosial
  • KR:
    • Membuat video yang menarik
    • Menggunakan fasilitas yang ada di sosial media

Contoh ini tidak menjelaskan apakah KR yang ditentukan akan mendukung pencapaian tujuan utama tersebut.

Contoh OKR yang benar:

  • Objective: Meningkatkan interaksi dengan konsumen di media sosial
  • KR:
    • 000 Views di Reels Instagram
    • 500 Audiens mengikuti giveaway.
  • Inisiatif:
    • Membuat 3 video untuk Reels Instagram
    • Mengadakan giveaway produk untuk 3 pemenang

OKR dan Manajemen Proyek

Tujuan utama OKR adalah untuk menentukan tujuan yang strategis dan mudah diukur. Dengan OKR tim dapat memonitor progres pencapaian sehingga sasaran strategis tercapai. Untuk mencapai OKR, tim dapat menggunakan alat manajemen proyek untuk melakukan perbaikan, seperti Kanban, Agile, dan waterfall.

Referensi:
https://monday.com/blog/project-management/okr-for-project-management/#:~:text=What%20are%20OKRs%3F,you’re%20hoping%20to%20see.https://kanbanize.com/okr-resources/okr/project-managementhttps://blog.weekdone.com/project-management-okr-examples-okrs-vs-projects/
https://www.gartner.com/smarterwithgartner/the-five-pillars-of-strategy-execution

Meningkatkan Retensi dengan Internal Employer Branding

Banyak perusahaan memandang bahwa gaji dan tunjangan saja cukup untuk mempertahankan karyawan, namun karyawan sekarang lebih memilih bekerja di perusahaan yang memiliki reputasi yang bagus. Bahkan untuk skala bisnis yang kecil, perusahaan juga perlu memperhatikan brand management mereka untuk mempertahankan talent dan menarik kandidat yang berkualitas (Blankenship, 2022). Aktivitas untuk mengelola brand ini disebut sebagai employer branding.

Proses employer branding yang efektif harus dilaksanakan baik secara eksternal maupun internal. Secara eksternal, perusahaan perlu melaksanakan branding untuk menarik talenta potensial dari luar. Secara internal, departemen SDM harus memastikan bahwa karyawan dapat memvalidasi Employee Value Proposition (EVP) perusahaan, termasuk ekspektasi karyawan terhadap pengalaman setiap hari (Cascio & Graham, 2016). Proses ini dimulai dari rekrutmen karyawan hingga sepanjang Employee Life Cycle (ELC). Untuk memahami proses internal employer branding, berikut elemen-elemen yang berada di dalamnya:

  1. Brand Identity & Brand Image

Brand identity adalah tentang bagaimana perusahaan mengidentifikasi dirinya. Hal ini berkaitan dengan brand voice, brand name, tagline, brand association, dan lain sebagainya. Inilah yang pada umumnya dikomunikasikan perusahaan saat hendak membentuk brand mereka. Di sisi lain, kita juga mengenal istilah brand image, yaitu persepsi orang lain terhadap brand perusahaan. Keselarasan antara brand identity dan brand image inilah yang hendak dicapai perusahaan ketika mengelola employer branding mereka.

  1. Misi dan Visi Perusahaan

Misi dan visi perusahaan merupakan salah satu fondasi saat membangun brand identity. Ketika hendak menanamkan persepsi yang positif tentang perusahaan, misi dan visi dapat menjadi pesan utamanya: “Why we exist?” (misi) serta “What we want to be?“ (visi) (Greyser & Urde, 2019).

  1. Budaya (Culture)

Budaya perusahaan merupakan nilai, etika, perilaku, dan lingkungan kerja yang ada dalam perusahaan. Budaya ini mewakili realita yang ada dalam perusahaan sehingga dapat digunakan sebagai brand message yang autentik untuk disampaikan kepada target kandidat maupun karyawan yang ada saat ini. Pada umumnya, budaya harus selaras dengan misi dan nilai perusahaan untuk memperkuat hubungan dan kepercayaan antara karyawan dengan perusahaan.

INTERNAL MARKETING

Kegiatan yang dilakukan dalam usaha membangun employer branding secara internal juga dikenal sebagai internal marketing. Perusahaan mempromosikan tujuan, budaya, brand, produk, hingga layanan pada seluruh karyawan. Pada umumnya, internal marketing memiliki tujuan yang berbeda dengan marketing yang dilakukan perusahaan pada pelanggan dan calon pembelinya. Internal marketing bertujuan untuk menyediakan informasi yang dapat membentuk persepsi positif karyawan terhadap perusahaan (Backhaus, 2016). Persepsi yang positif tersebut merupakan salah satu indikator leading yang membuat karyawan tetap bertahan di perusahaan. Oleh karena itu, agar dapat meningkatkan retensi karyawan, perusahaan perlu mengidentifikasi faktor apa saja yang dapat membuat karyawan bertahan di perusahaan melalui penelitian seputar kontrak psikologi, baik dari sisi perusahaan maupun karyawan agar dapat memberikan pesan internal yang tepat untuk mendukung implementasi internal marketing (Backhaus, 2016).

EMPLOYEE LIFE CYCLE

Ketika Departemen SDM diberikan tanggung jawab untuk mengelola aktivitas internal employer branding, mereka perlu membangun internal brand message yang konsisten dengan apa yang disampaikan kepada pihak eksternal. Lebih lanjut, pesan-pesan ini perlu disampaikan, baik secara verbal maupun non-verbal kepada karyawan di seluruh tahap employee life cycle (Cascio, 2016). Misalkan, jika hendak mendesain pelatihan, Departemen SDM perlu memperhatikan apa saja brand message yang perlu disampaikan. Perusahaan yang mengutamakan nilai-nilai kerja sama, dapat mendesain pelatihannya dengan menggunakan lebih banyak metode team building, diskusi, brainstorming, dan lain sebagainya selain menyampaikan nilai tersebut secara verbal. Dengan menyisipkan brand message selama pelatihan, upaya internal employer branding juga terlaksana.

Referensi:
Backhaus, K., & Tikoo, S. (2004). Conceptualizing and researching employer branding. Career Development International, 9(5), 501-517.
Backhaus, K. (2016). Employer Branding Revisited. Organization Management Journal, 13(4), 193-201. Doi: 10.1080/15416518.2016.1245128
Blankenship, W. (2022, Apr 19). How Internal Employer Branding Helps You Retain Employees. From Okto Post: https://www.oktopost.com/blog/internal-employer-branding-retain-employees/
Cascio, W.F., Graham, B. (2016). New Strategic Role for HR: Leading the Employer Branding Process. Organization Management Journal, 13(4), 1541-6518. Doi: 10.1080/15416518.2016.124464
https://www.feedough.com/brand-identity/ (What is Brand Identity?)
Greyser, S.A., & Urde, M. (2019). What Does Your Corporate Brand Stand For? Harvard Business Review

External Employer Branding: Menarik Kandidat Potensial

Akhir-akhir ini, employer branding menjadi salah satu aktivitas wajib bagi perusahaan yang hendak menarik talenta potensial di workforce market maupun dalam mempertahankan talenta terbaiknya yang ada saat ini. Konsep employer branding semakin mendapatkan perhatian setelah peristiwa pandemi COVID-19, talent war, hingga the great resignation terjadi dan membuat banyak perusahaan kehilangan talentanya. Kesadaran untuk memiliki Sumber Daya Manusia (SDM) yang berkualitas pun semakin meningkat.

Untuk menarik kandidat yang diinginkan, perusahaan perlu melaksanakan external employer branding, yaitu usaha membangun employer brand yang positif di mata target kandidat. Hal ini dapat dicapai dengan memberikan employer brand attribute yang relevan. Employer brand attribute didefinisikan sebagai ekspresi yang dijanjikan dan diharapkan dari sebuah perusahaan (Bonaiuto, et. al., 2013). Terlepas dari segala macam atribut yang ditawarkan, dalam mengelola employer branding perusahaan perlu fokus pada tiga komponen utama, yaitu (Adams, 2022):

  1. Reputasi

Di era media sosial, segala informasi tentang suatu perusahaan sangat mudah ditemukan. Serangkaian informasi tersebut secara tidak langsung dapat memengaruhi reputasi suatu perusahaan di mata kandidat. Oleh karena itu, reputasi menjadi salah satu alasan kandidat di era modern untuk mempertimbangkan perusahaan yang hendak dilamar. Dalam konteks mengakuisisi dan mempertahankan talenta, reputasi dapat dievaluasi dalam 3C:

      • Career Catalyst

Sejauh dan sejelas apa perusahaan menawarkan kesempatan berkarier bagi karyawan. Pada umumnya, top talent akan lebih memilih perusahaan yang menawarkan jenjang karier yang transparan.

      • Culture (Budaya)

Bagaimana lingkungan kerja dan interaksi antar karyawan benar-benar mencerminkan budaya perusahaan.

      • Citizenship

Sejauh mana perusahaan mampu memberikan dampak positif bagi komunitas atau lingkungan yang lebih besar.

  1. Employee Value Proposition (EVP)

EVP merupakan serangkaian penawaran dan pengalaman yang diberikan organisasi kepada karyawan atau kandidat sebagai timbal balik atas keterampilan, kemampuan, dan pengalaman yang diberikan karyawan atau kandidat untuk organisasi. EVP akan menjadi janji yang dipegang kandidat ketika memutuskan bergabung dalam suatu perusahaan. Janji ini meliputi kompensasi, tunjangan, fasilitas, kesempatan berkembang, atau apapun yang ingin didapatkan kandidat. Jika employer brand selaras dengan EVP, maka perusahaan akan lebih mudah menghadirkan realita yang diharapkan calon karyawan.

  1. Employee Experience (EX)

EX mewakili realita yang dialami oleh kandidat maupun karyawan yang berada di perusahaan. Semakin positif EX, semakin positif dan kuat employer brand sebuah perusahaan. Hal ini terjadi karena terdapat keselarasan antara kenyataan dan persepsi yang berusaha dibangun. Lebih lanjut, kandidat maupun karyawan dengan EX positif juga akan menjadi brand ambassador yang secara aktif menceritakan hal-hal positif yang ada di perusahaannya.

Perusahaan melaksanakan external employer branding dengan tujuan mendapatkan kandidat yang ideal. Untuk meningkatkan employer brand attractiveness, perusahaan perlu memastikan bahwa ketiga komponen di atas sudah selaras. Reputasi yang baik menunjukkan bahwa target kandidat memiliki persepsi yang positif terhadap perusahaan. Hal ini juga perlu didukung dengan EVP yang dikomunikasikan dengan jelas serta realita EX yang mendukung persepsi tersebut.

Referensi:

Adams, B. (2022). Make Your Employer Brand Stand Out in the Talent Marketplace. From Harvard Business Review: https://hbr.org/2022/02/make-your-employer-brand-stand-out-in-the-talent-marketplace

Banta, K. & Watras, M. (2019). Why We Need to Rethink “Employer Brand”. From Harvard Business Review: https://hbr.org/2019/06/why-we-need-to-rethink-employer-brand

Bonaiuto, M., De Dominicis, S., Illia, L., Canovas, R., & Lizzani, G. (2013). Managing Employer Brand Attributes to Attract Potential Future Leaders. Journal of Brand Management, 20(9), 779-792. doi:10.1057/bm.2013.18

Engine Group. (2015). Attracting Top Talent with a Strong Employer Brand. From Youtube: https://youtu.be/A0a8HFz7OEU

Mempersiapkan Human Capital untuk Mencapai Strategi Bisnis

Perusahaan perlu selalu siap menghadapi situasi dengan memperhatikan kesiapannya secara strategis. Dari sisi Human Capital (HC), kesiapan perusahaan secara strategis diukur dari apakah karyawan memiliki kompetensi yang dibutuhkan untuk mengerjakan proses internal yang penting dalam strategy map. Oleh karena itu, dalam mengukur kesiapan perusahaan dari segi HC pertama-tama perusahaan perlu mengidentifikasi strategic job families, yaitu posisi atau pekerjaan yang dapat memberikan dampak terbesar pada peningkatan proses internal tersebut.

Semua pekerjaan penting bagi perusahaan, namun memang ada beberapa pekerjaan yang memberikan dampak terbesar bagi bisnis. John Bronson, VP HR di Williams-Sonoma, menyatakan bahwa hanya orang-orang yang berada di lima job families dapat menentukan 80% dari prioritas strategis perusahaannya. Di sisi lain, Kimberlee Williams, VP HR di Unicco, mengatakan bahwa hanya terdapat tiga job family yang merupakan kunci strategi perusahaannya: project managers, yang mengawasi operasional secara spesifik; operation directors, yang memperluas operasional dalam akun-akun yang spesifik; serta business development executive, yang membantu perusahaan mendapatkan akun baru. Ketiga job families tersebut hanya mempekerjakan 215 orang, kurang dari 4% total karyawan Unicco. Dengan fokus pada aktivitas pengembangan HC di individu-individu yang penting ini, perusahaan dapat secara luar biasa memanfaatkan investasi HC mereka.

TAHAP MEMPERSIAPKAN HUMAN CAPITAL SECARA STRATEGIS

  1. Mengidentifikasi Strategic Job Families

    Strategic job families dapat diidentifikasi dengan berfokus pada isu-isu strategis proses internal (Molina-Morejon, et al., 2017). Pada umumnya, perusahaan dapat menentukan strategic job families dengan memperhatikan prioritas strategi apa yang hendak dicapai. Misalkan, jika perusahaan hendak mengembangkan produk baru, maka memerlukan prioritas strategi utama, yaitu kerja sama product development. Dalam kasus ini, job family yang berperan strategis adalah manajer joint venture program.

  2. Mendefinisikan Profil Kompetensi

    Setelah mendapatkan strategic job families selanjutnya perusahaan dapat menentukan kebutuhan kompetensi yang diperlukan agar dapat sukses mengimplementasikan strategi tersebut. Departemen HR memiliki berbagai macam metode untuk menentukan profil kompetensi tersebut. Salah satu caranya dalah dengan mewawancarai karyawan terbaik yang berada di posisi tersebut. Selanjutnya, HR dapat menuliskannya dalam profil kompetensi.

    Profil kompetensi memiliki beberapa elemen yaitu:

    • Knowledge, yaitu terdiri dari pengetahuan umum dan spesifik yang diperlukan untuk dapat sukses melakukan suatu pekerjaan tertentu. Knowledge dibutuhkan agar karyawan dapat memahami konteks dan lingkungan pekerjaannya.
    • Skill, yaitu keahlian yang dibutuhkan untuk mendukung pengetahuan dasar.
    • Value/Attitude, yaitu susunan karakteristik atau perilaku yang dapat menghasilkan kinerja yang luar biasa.
  3. Menilai Kesiapan Strategis HC

    Untuk menilai kesiapan strategis HC secara keseluruhan, perusahaan perlu menilai semua strategic job families yang telah diidentifikasi. Perusahaan dapat melaksanakan beberapa pendekatan, seperti self-assessment, 360-degree feedback, dan lain sebagainya. Penilaian ini digunakan sebagai dasar dalam mendiskusikan kebutuhan pengembangan kemampuan karyawan. Karena berbeda dengan penilaian kinerja pada umumnya, menilai kesiapan strategis HC perlu dilakukan secara terpisah dari penilaian kinerja rutin.

  4. Membangun Laporan Kesiapan Strategis HC

    Setelah mendapat gambaran yang sesungguhnya dari keadaan sekarang, perusahaan dapat membandingkan penilaian tersebut dengan harapan yang dibutuhkan. Berikut contoh dokumen kesiapan strategis HC:

  1. Melaksanakan Program Pengembangan HC

    Jika ditemui gap antara kebutuhan strategic job families yang terkualifikasi dengan kenyataannya, perusahaan perlu memberikan pengembangan kompetensi yang sesuai dengan kebutuhan strategisnya. Tanpa strategy map, perusahaan pada umumnya hanya fokus pada pengembangan SDM secara umum, bukan pada posisi-posisi yang strategis. Di sisi lain, jika perusahaan menginvestasikan pengembangan kompetensi pada orang-orang yang tepat, perusahaan akan mendapatkan manfaat yang signifikan dalam pencapaian strategi.

    Human Capital harus selaras dengan strategi jika organisasi ingin mendapatkan nilai (value) dari kompetensi karyawannya. Dengan menggunakan strategy map, perusahaan dapat mengidentifikasi proses utama bisnis yang bersifat strategis (dalam perspektif internal business process) serta menemukan strategic job families yang memberikan diferensiasi strategis kepada organisasi. Setelah melalui tahap menilai kesiapan HC (HC Readinesss), perusahaan dapat menemukan gap yang harus dihilangkan dengan memberikan bentuk pengembangan HC yang tepat.

Referensi:
Kaplan, R. S., & Norton, D. P. (2004). Measuring the Strategic Readiness of Intangible Assets. Harvard Business Review.
https://agis93.wordpress.com/2011/07/05/strategic-job-families-by-robert-s-kaplan-and-david-p-norton/
Molina-Morejon, V., Vaquera-Hernández, J., & Molina-Romeo, V.P. (2017). Strategic Job Families of the Textile Industry. International Review of Management and Business Research, 6(3). 1083-1095

Employer Branding A to Z

Employer Brand merupakan reputasi perusahaan sebagai tempat kerja. Reputasi inilah yang menjadi salah satu pertimbangan kandidat melamar di perusahaan tersebut sehingga mengembangkan employer branding mulai menjadi salah satu fokus utama bagi sebagian besar perusahaan. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Career Arc, ditemukan setidaknya terdapat 96% perusahaan yang mempercayai bahwa employer brand dapat secara positif maupun negatif mempengaruhi kinerja perusahaan. Hal tersebut juga didukung oleh studi Aldousari, et. al. (2017) yang menemukan bahwa perusahaan yang memiliki strategi employer branding yang efektif memiliki kinerja yang lebih tinggi dibandingkan perusahaan sejenis yang tidak mengelola employer branding. Dengan membangun employer branding, perusahaan dapat membentuk persepsi bahwa mereka adalah tempat yang cocok untuk bekerja bagi target kandidat maupun karyawan.

Pada umumnya, perusahaan melakukan strategi employer branding dengan tujuan untuk:

1. Merekrut kandidat berkualitas

Perusahaan manapun menginginkan kandidat yang berkualitas, namun mereka juga harus bersaing dengan kompetitor. Di sisi lain, kandidat yang diinginkan tidak selalu tersedia di pasar tenaga kerja. Lebih lanjut, menurut studi TalentNow, 84% pencari kerja menyatakan bahwa reputasi perusahaan sebagai employer merupakan hal yang penting. Oleh karena itu, perusahaan membutuhkan strategi employer branding yang tepat untuk menciptakan citra perusahaan yang positif sehingga dapat menarik kandidat potensial untuk bergabung.

2. Meningkatkan retensi karyawan

Selain membangun citra secara eksternal, perusahaan juga perlu memastikan citranya sebagai employer juga positif di mata karyawan yang ada di perusahaan saat ini. Dengan membangun citra yang positif secara internal, karyawan juga akan lebih memilih untuk tinggal di perusahaan daripada pindah ke perusahaan lainnya karena mungkin akan terdapat switching cost yang cukup besar. Misalkan, perusahaan lain mungkin tidak memberikan fasilitas atau kenyamanan yang sama seperti perusahaannya saat ini.

3. Meningkatkan employee engagement

Komponen dalam membangun Employer Brand meliputi reputasi perusahaan, Employee Value Proposition (EVP), serta Employee Experience (EX) (Adams, 2022). Dari ketiga komponen tersebut, EX merupakan komponen yang secara langsung mempengaruhi tingkat employee engagement karena berkaitan dengan bagaimana perusahaan memberikan EVP pada karyawannya. Jika karyawan menunjukkan tingkat employee engagement yang tinggi, maka mereka akan menunjukkan perilaku-perilaku yang dapat berkontribusi pada peningkatan kinerja, seperti merekomendasikan perusahaannya, menjadi bagian dari organisasi, serta memberikan upaya dan waktu yang ekstra untuk bekerja bagi perusahaan (Markos, 2010).

Jadi, proses implementasi employer branding memiliki fokus secara eksternal dan internal. Secara eksternal, perusahaan fokus pada kegiatan promosi untuk meningkatkan citra perusahaan dan mendapatkan lebih banyak kandidat yang berkualitas. Secara internal, perusahaan fokus mengelola budaya dan ekspektasi karyawan agar dapat mempertahankan mereka. Kedua proses tersebut penting bagi perusahaan untuk mempertahankan sumber daya manusia yang berkualitas dan sesuai dengan misi, visi, dan values perusahaan.

Referensi

Referensi

Adams, B. (2022, Feb 8). Make Your Employer Brand Stand Out in the Talent Marketplace. Harvard Business Review from https://hbr.org/2022/02/make-your-employer-brand-stand-out-in-the-talent-marketplace
Aldousari, A. A., Robertson, A., Yajid, M. S. A., & Ahmed, Z. U. (2017). Impact of employer branding on organization’s performance. Journal of Transnational Management, 22(3), 153–170. doi: 10.1080/15475778.2017.1335125
Backhaus, K., & Tikoo, S. (2004). Conceptualizing and researching employer branding. Career Development International, 9(5), 501-517.
David, T. (2017, Nov 13). 29 Surprising Stats on Employer Branding – Infographic. From CareerArc: https://www.careerarc.com/blog/employer-branding-study-infographic/
Markos, S. (2010). Employee Engagement: The Key to Improving Performance. International Journal of Business and Management, 5(12), 89-96. From https://www.auxiliumadviesgroep.nl/files/visuals/onderzoek_marc_artikel_actueel.pdf

Transformasi OKR dengan Menggunakan Leading Indicators

Belakangan ini, banyak perusahaan startup menggunakan OKR dengan tujuan agar mereka menjadi lebih agile, sesuai dengan tuntutan ekosistemnya. Selain karena kerangka waktunya yang relatif pendek, perusahaan juga lebih fleksibel dalam mengganti indikator OKR jika dinilai kurang berkontribusi dalam pencapaian objective. Di sisi lain, sifat agile OKR tidak dapat dicapai jika indikator yang digunakan kurang responsif dan kaku. Oleh karena itu, OKR perlu menggunakan indikator yang tepat, yaitu fleksibel dan juga dapat memprediksi masa depan. Inilah yang dikenal dengan sebutan leading indicator, yaitu ukuran yang perlu dimonitor untuk mencapai sasaran masa depan yang terukur (lagging).

Leading Indicators vs Lagging Indicators

Selain leading indicators, terdapat indikator lainnya yang disebut sebagai lagging indicators, yaitu indikator yang menunjukkan keadaan bisnis saat ini. Sebagai contoh, pada umumnya perusahaan menggunakan ukuran seperti pendapatan dan profit untuk menggambarkan kemajuan bisnisnya. Metrik ini dikenal sebagai lagging indicators karena dapat menggambarkan dampak atau akibat dari aksi yang telah dilakukan dan sifatnya tidak langsung (lag). Selain menggunakan lagging indicators, perusahaab perlu ukuran lain yang dapat memastikan ukuran lagging ini tercapai. Inilah yang kita sebut leading indicator.

Lebih lanjut, perbedaan antara leading indicators dan lagging indicators dapat dilihat pada tabel berikut:

Leading Indicators Lagging Indicators
Prediktor atas kesuksesan masa depan Hasil yang sudah pasti dari masa lalu
Tidak mudah diidentifikasi Lebih mudah diidentifikasi
Responsif terhadap aksi tim Tidak responsif terhadap aksi tim
Lebih taktis untuk mengubah keadaan Sulit mengubah keadaan

Identifikasi Leading Indicators untuk Tim

Meski secara teori leading indicators dan lagging indicators terlihat mudah dibedakan, praktiknya indikator ini sangat tergantung pada konteks yang berada dalam organisasi. Misalkan, perusahaan mungkin menggunakan metrik Net Promotor Score (NPS) sebagai lagging indicators untuk sasaran inovasi produk, namun juga sebagai leading indicators untuk sasaran efektivitas pemasaran. Oleh karena itu, perusahaan perlu mengidentifikasi leading indicators yang tepat untuk timnya.

Jika, mengacu pada systemic flow analysis (SFA), leading indicators terdapat pada metrik input, process, serta sebagian output. Di sisi lain, sebagian metrik output dan outcome merupakan metrik yang pada umumnya digunakan untuk menggambarkan lagging indicators. Di sisi lain, perusahaan juga perlu berhati-hati dalam memilih leading indicators. Jangan sampai metrik dipilih secara asal hanya karena secara teknik metrik tersebut merupakan leading indicators, sebaliknya perusahaan perlu benar-benar menganalisa apakah metrik tersebut berkontribusi pada lagging indicators yang memiliki dampak lebih besar bagi bisnis.

Selain dengan SFA, perusahaan juga dapat menggunakan pertanyaan yang dapat menuntun mereka dalam mengidentifikasi leading indicators. Perusahaan perlu memperluas cara berpikirnya dan cari tahu melebihi apa yang ingin dicapai dari perubahan yang hendak dilaksanakan. Tanyakan “WHY” – mengapa mengejar outcome dari lagging indicators menjadi penting? Apa saja dampak-dampak yang hendak dicapai? Selanjutnya, tanyakan juga “WHAT” – tahap apa saja yang perlu dilakukan sebelum lagging indicators tercapai?

 Berikut merupakan contoh leading dan lagging indicators dari sasaran efektivitas pemasaran:

Leading Indicators yang Berguna

Setelah menggunakan SFA, perusahaan akan mendapatkan daftar serangkaian leading indicators yang berkontibusi bagi lagging indicators. Meski demikian, tidak semua leading indicators yang telah diidentifikasi dapat digunakan untuk OKR. Perusahan perlu memilih leading indicators yang benar-benar berguna bagi mereka. Agar dapat menentukan leading indicators yang berguna, perusahaan perlu memperhatikan apakah: (1) Leading indicators secara langsung terkait dengan aksi tim; (2) Secara jelas berkontribusi dan memprediksi kesuksesan di masa depan; serta (3) Dapat diubah secara terus menerus di sepanjang siklus OKR.

Menggunakan metrik outcome pada OKR memang memberikan manfaat, namun tidak dapat secara otomatis membawa tim untuk membuat dan mengukur kesuksesan. Tim secara sadar perlu mendiskusikan apakah metrik yang digunakan sudah tepat dan mewakili leading indicators untuk menjadi Key Results mereka. Jangan sampai OKR yang ada hanya mewakili lagging indicators, namun tidak dapat disesuaikan ketika keadaan memaksa untuk berubah. Dengan memprioritaskan penggunaan leading indicators, perusahaan dapat menghindari keputusan yang terhambat karena lagging indicators serta dapat meningkatkan pekerjaan yang dilakukan saat ini.

 

Referensi:

Herbig, T. (2022). Transforming OKRs with Leading Indicators. [Video]. From Youtube: https://www.youtube.com/watch?v=BG_UNMgzAkI
Watts, S. (2019). Leading vs Lagging Indicators: What’s the Differences? From BMC https://www.bmc.com/blogs/leading-vs-lagging-indicators/

MENGENAL INTEGRATED STRATEGY EXECUTION (ISE)

Strategic Initiatives merupakan serangkaian kegiatan atau tindakan khusus yang harus dilakukan oleh perusahaan dalam kurun waktu yang terukur, untuk mencapai sasaran strategis yang telah dicanangkan. Berbeda dengan aktivitas rutin operasional yang biasanya tercantum dalam job description, Strategic Initiatives lebih bersifat proyek-proyek kerja (ad-hoc) yang memberikan dampak yang signifikan terhadap pencapaian sasaran strategis perusahaan.

Namun pada kenyataannya, banyak perusahaan tidak dapat mengeksekusi Strategic Initiatives dengan optimal karena beberapa alasan seperti:

  1. Tidak adanya penanggung jawab kerja atau orang yang kompeten untuk memfasilitasi pembuatan strategi dan implementasinya
  2. Tidak ada proses penyelarasan
  3. Tidak ada visi dan arahan yang jelas
  4. Tidak ada reward system yang mendukung
  5. Tidak ada proses pembelajaran/ evaluasi

Selain itu, pemahaman atas tingkat keberhasilan serta hambatan-hambatan yang berpotensi untuk menghambat keberhasilan dari pelaksanaan Strategic Initiatives juga menjadi faktor yang penting dan harus diidentifikasi dengan baik, agar Perusahaan dapat menentukan tindak lanjut yang perlu diambil untuk mengoptimalkan keberhasilan pencapaian Strategic Initiatives.

Untuk itu, ketika Strategic Initiatives akan dieksekusi, diperlukan suatu kerangka kerja yang komprehensif, agar dapat menentukan prioritas kerja, rencana pelaksanaan, serta pengidentifikasian setiap potensi hambatan.  Dalam hal ini, kerangka kerja Integrated Strategy Execution (ISE), menjadi alat yang efektif untuk menjawab permasalahan-permasalahan tersebut di atas. Kerangka kerja ISE bekerja dengan metode:

  1. Mengidentifikasi sasaran kunci penentu keberhasilan (Success Factor) untuk mencapai sasaran strategis Perusahaan
  2. Membuat inisiatif yang harus dicapai untuk mencapai Success Factor, serta menentukan outcome dari inisiatif tersebut
  3. Mengembangkan rencana tindakan dan mengidentifikasi sumber daya yang diperlukan
  4. Mengidentifikasi risiko dan mengembangkan rencana kontingensi

Kunci dari keberhasilan ISE adalah spesifik dan terukur, oleh karenanya, kembangkan setiap bagian pada kerangka kerja ISE dengan terstruktur dan terukur. Langkah selanjutnya, lakukan peninjauan secara berkala untuk memantau progres rencana kerja pada ISE, sehingga Perusahaan dapat meningkatkan efisiensi dan efektivitas dalam upaya mencapai Sasaran Strategis yang ingin dicapai.

MENGENAL STRATEGIC INITIATIVE

Ketika mengeksekusi strategi, umumnya strategic initiative atau inisiatif strategislah yang dieksekusi oleh manajemen perusahaan. Inisiatif strategi (atau disebut dengan proyek) merupakan serangkaian aktivitas yang perlu dilakukan untuk memberikan dampak yang signifikan terkait pencapaian objective, yang diselesaikan dalam jangka waktu tertentu (biasanya maksimal satu tahun), baik di tingkat organisasi, divisi, maupun departemen. Meski terkait dengan tenggat waktu, inisiatif strategis bukan hanya tentang menyelesaikan pekerjaan dalam kurun waktu tertentu, melainkan juga melibatkan kolaborasi lintas fungsi atau organisasi bahkan, anggaran atau sumber daya lainnya, hasil yang diharapkan, serta terkait dengan penyusunan rencana aksi.

Tujuan Strategic Initiative

Pada umumnya, orang awam mengenal strategic initiative hanya sebagai proyek. Berbeda dengan proyek perbaikan berkelanjutan (continuous improvement), strategic initiative benar-benar didesain untuk mencapai sasaran yang hendak dicapai. Perusahaan menggunakan inisiatif strategis untuk beberapa tujuan, seperti:

1. Mencapai sasaran yang mulia (noble)

Inisiatif strategis dirumuskan dengan tujuan mencapai sasaran strategis. Oleh karena itu, inisiatif strategis didesain untuk mencapai sasaran di tingkat organisasi, bukan hanya untuk departemen tertentu.

2. Dijadikan sebagai solusi hipotesis untuk mencapai tujuan strategis

Keputusan dalam menentukan inisiatif strategis telah melalui diskusi, metodologi, dan pertimbangan manajerial. Oleh karena itu, dengan mencapai inisiatif strategis secara bertahap perusahaan dapat mencapai tujuan yang sudah ditetapkan sejak awal.

3. Menutup kesenjangan antara target dan kinerja saat ini

Ketika aktivitas operasional sudah tidak lagi memberikan target yang diharapkan, perusahaan dapat menggunakan inisiatif strategis untuk membantu karyawan mencapai dan meningkatkan target yang telah ditetapkan. Dengan melakukan suatu hal secara berbeda, harapannya juga memberikan hasil yang berbeda.

4. Membantu para pimpinan untuk membuat kerangka kerja yang baru

Terkait dengan sasaran strategis yang relevan dengan situasi internal dan eksternal organisasi, implementasi inisiatif strategis dapat memberikan kerangka kerja yang baru. Proses internal yang sudah usang dapat diganti dengan menggunakan inisiatif strategis yang lebih sesuai. Lebih lanjut, inisiatif strategis juga dapat memberikan kontribusi bagi inovasi perusahaan.

(BACA JUGA: STRATEGI SUKSES MENGGUNAKAN SWOT)

5. Fokus pada proyek-proyek yang agile dan terukur

Pada umumnya, di setiap rapat strategi tahunan perusahaan akan memiliki daftar proyek yang perlu dikerjakan. Dengan memiliki konsep inisiatif strategis yang benar, perusahaan dapat memprioritaskan proyek yang benar-benar berkontribusi pada pencapaian sasaran strategis. Dalam hal ini, perusahaan dapat memilih proyek yang agile agar dapat secara cepat dievaluasi dan memberikan hasil.

Elemen Strategic Initiative    

Jika hendak memahami strategic initiative lebih mendalam, perusahaan perlu mengetahui apa saja elemen yang terkandung di dalamnya. Secara berurutan, elemen tersebut antara lain:

1. Measurable Outcome

Melalui strategic initiative, tentunya perusahaan ingin mencapai sasaran-sasaran yang terukur, yaitu outcome. Untuk menetapkan outcome, perusahaan dapat menggunakan kerangka S.M.A.R.T., yaitu Specific, Measurable, Achievable, Relevant, dan Time-bound. Setelah menentukan outcome, perusahaan juga dapat memperoleh beberapa alternatif Key Performance Indicators (KPI).

2. Action Plan

Sama halnya seperti proyek, strategic initiative juga harus memiliki daftar aktivitas yang jelas. Rencana ini dituliskan secara berurutan sehingga dapat menggambarkan tahapan tindakan yang nyata untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan. Inilah tahapan eksekusi strategi yang akan terjadi!

3. Output

Di setiap akhir aktivitas, harus ada output yang bisa dimonitor sebagai ukuran kualitas pelaksanaan rencana tindakan tersebut.

4. Time Frame

Setiap aktivitas yang dilakukan harus dilaksanakan dalam kurun waktu tertentu. Saat menuliskan action plan, tim dapat mencantumkan tanggal berakhirnya masing-masing aktivitas. Penggunaan time frame dapat menjaga strategic initiative tetap konsisten terlaksana dan terselesaikan dalam waktu maksimal satu tahun.

5. Team

Strategic initiative dapat dikerjakan secara lintas departemen sehingga memungkinkan terjadinya kolaborasi antardepartemen. Oleh karena itu, untuk masing-masing aktivitas dapat ditunjuk siapa yang bertanggung jawab atas selesainya rencana tindakan (PIC / Person in Charge).

6. Budget

Setiap strategic initiative harus memiliki rencana dan perhitungan anggaran yang jelas untuk setiap aktivitas. Jika tidak membutuhkan anggaran, tim dapat memberikan angka “nol (0)” pada aktivitas yang bersangkutan.

Kesuksesan formulai dan eksekusi strategi terletak pada pembuatan dan pelaksanaan strategic initiative yang spesifik, terukur, serta berkontribusi pada tujuan secara keseluruhan. Setelah menentukan strategic initiative yang tepat, tim dapat lebih percaya diri menjalankan strategi yang telah disusun serta memonitor perkembangannya.